Entah sudah berapa hari berlalu sejak terakhir kali aku mandi. Rasanya tidak nyaman, memang. Tapi mandi bagiku terasa merepotkan, makanya sering kulewatkan. Lagipula aku tinggal sendiri. Tidak ada yang akan susah-susah mengomeliku karena merasa terganggu. Setidaknya begitulah pikirku sampai suara ketukan pintu terdengar.
Tok tok tok.
Aku terdiam. Memastikan benar tidaknya yang kudengar barusan. Jika memang ada orang yang berkepentingan denganku, dia pasti mengetuk lagi. Tapi sepertinya tidak ada. Karena sudah kutunggu beberapa saat yang terjadi hanya sunyi. Lebih baik kulanjutkan kegiatanku, melukis pada kanvas besar yang tergeletak di atas meja panjang.
Tok tok tok
Mendadak terdengar lagi.
Tok tok tok.
Suaranya terdengar lebih kuat. Ini sedikit menakutkan karena sekarang tengah malam. Bukan jam yang tepat untuk bertamu, setahuku. Anak kecil yang iseng pun tidak akan mengetuk pintu pada jam segini. Apa mungkin hantu? Kalau iya, bagiku itu lebih baik dibanding teror seorang psikopat.
Tok tok tok.
Suaranya masih terdengar. Akan langsung kubukakan pintu kalau saja pengetuk itu memanggil namaku dan kurasa aku mengenalnya. Nyatanya cuma ada suara ketukan tanpa panggilan. Tapi tunggu.
Tok tok tok.
Memang terdengar suara ketukan tanpa panggilan, hanya saja samar-sama kudengar terdapat suara lain yang sangat pelan. Bagaimana aku harus menjelaskannya? Itu seperti suara tangisan yang sedang ditahan mati-matian.
Kayuwangi.
Aku mengenali isakan itu. Milik temanku. Seorang laki-laki yang sudah lama sekali tidak berurusan denganku. Karena sudah mengenali suaranya cepat-cepat kutinggalkan lukisan setengah jadiku untuk membuka pintu.
Tebakanku benar. Suara barusan memang milik Kayu, lelaki bertubuh kurus dengan tinggi hanya mencapai daguku. Dia sedang menangis dan langsung memeluk begitu melihatku.
“Bukankah tubuhku bau?” tanyaku yang seketika itu juga mendapat cubitan pada kedua pinggang.
Sakit sekali, sumpah.
“Kau perlu belajar membaca situasi, Michael.” Gerutunya yang sudah melepaskan pelukan sekaligus cubitan.
Tidak perlu. Kemampuan membaca situasiku cukup bagus. Hanya saja aku lebih mengutamakan kenyataan. Sudah berhari-hari aku tidak mandi. Meski aku sendiri tahan dengan aroma tak enak yang mulai menempeliku, orang lain belum tentu. Dia pasti mencium bau busuk itu. Jadi aneh sekali kalau sampai dia tidak keberatan.
“Kau juga terlalu lama membuka pintu.” Dia masih menggerutu, “Bagaimana kalau aku mati kedinginan di luar? Kau bahkan tidak langsung mempersilahkanku masuk.”
Dia tidak akan mati, aku yakin sekali. Suhu di sini masih terlalu tinggi untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan alasan kedinginan.
“Apa kau sedang berusaha mengalihkan suasana hatimu?” tebakku, karena merasa aneh mendengarnya terus menggerutu.
Tanpa menjawab dia langsung menggeser kasar tubuhku. Lalu masuk melewatiku dengan wajah kesal yang masih basah bekas air mata. Sebenarnya dia ingin menunjukkan ekspresi marah atau sedih? Dia perlu memilih salah satu sebelum memperlihatkannya padaku. Lagipula, bukankah dulu dia tidak begitu? Dalam ingatanku dia sosok yang ceria. Selalu tersenyum jika tidak tertawa. Seolah sama sekali tidak mengenal masalah. Tapi memangnya orang mana yang tidak kenal masalah? Tidak ada.
“Aku tidak ingin menceritakan apapun. Tapi biarkan aku bermalam di sini.” Pintanya, terdengar memaksa.
Kututup dan kukunci pintu rumah sebelum kuhampiri dia yang berdiri di dekat sofa. Kenapa tidak duduk saja? Aku tidak perlu mempersilahkannya.
“Terserah kau saja.” Ucapku.
“Benar tidak apa-apa? Meski kita sudah lama tidak bertemu? Kau juga heran kenapa aku bisa tahu tempat tinggalmu kan, Michael? Ini bukan rumah orang tuamu yang dulu sering kudatangi semasa kita SMA.”
Panjang sekali ocehannya. Dia masih Kayu yang banyak bicara, walau tidak lagi terlihat ceria.
“Kau tahu dari Gabriel.” Tebakku, salah 1 sepupuku. Anak dari kakak perempuan ibu.
“Ya, memang dari Gabriel. Aku belagak sudah tahu tempat tinggalmu. Kupancing dia dengan menanyakan klinik mana yang paling dekat dari rumahmu. Tapi sebenarnya tidak masalah juga kan kalau aku langsung menanyakan alamatmu? Aku ini teman dekatmu.”
Teman dekat? Mungkin dulu begitu. Karena dia selalu membarengiku kemana pun semasa SMA. Setelahnya dia menghilang seenaknya. Begitu pun denganku. Menjadi dewasa membuat kami melakukan hal yang berbeda.
“Tidak masalah.” Jawabku.
Aku tidak keberatan dia tahu tempat tinggalku. Datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu tengah malam seperti sekarang juga tidak masalah. Sesukanya saja. Tapi benar Gabriel tidak akan langsung memberitahu alamatku pada siapapun yang bertanya. Karena sepupuku itu tahu sifatku. Sangat menjunjung tinggi privasi. Hanya orang tertentu yang boleh mengetahui informasi mengenaiku. Itu pun masih dengan sekian batasan.
“Kau pelit bicara dan badanmu bau.” Dia kembali menggerutu, “Aku tidak mau tidur seatap sebelum kau membersihkan diri.”
Ha? Ini rumahku kalau dia lupa. Aku bagaimana itu urusanku. Sebagai penumpang dia cukup diam atau pergi saja kalau tidak nyaman dengan kondisiku. Tapi,
“Aku akan mandi sekarang.”
kuturuti dia begitu saja tanpa perlawanan. Mau bagaimana lagi kan, aku juga butuh menenangkan diri dari feromon yang dia keluarkan. Biar bagaimana pun aku seorang alpha sementara dia omega. Kalau tidak mengalah di waktu sekarang, aku akan menyerang tanpa kendali dan pasti menyesal keesokan hari.
***
Kayu masih terlelap di ranjang saat aku selesai menyeduh kopi. Dia menangis berjam-jam sebelum kelelahan hingga tidur seperti sekarang. Lebih baik kubiarkan saja. Dibanding mengganggunya, yang harus kukerjakan sekarang adalah melanjutkan lukisan. Tentang sarapan itu urusan nanti. Yang penting aku sudah memiliki secangkir kopi.
Salah. Masih ada hal lain yang perlu kukerjakan. Melihat siapa yang datang. Karena barusan terdengar suara motor memasuki halaman depan.
Ternyata Gabriel.
“Mampir karena diminta ibuku, lagi?” tebakku begitu dia turun dari motor sementara aku berdiri di dekat pintu.
Dia tertawa, pelan.
“Salahmu karena tidak pernah pulang dan memberi kabar kan?”
Untuk apa pulang kalau tidak ada yang bisa kutemui di sana? Ayah dan ibu sama, selalu bekerja dan hampir tidak pernah muncul di rumah. Mengabari juga percuma. Pesanku tidak lebih penting dari sekian obrolan politik yang masuk ke ponsel mereka.
“Aku membawa titipan dari ibu. Ayam pop.”
Dia menyodorkannya padaku. Tentu saja kuterima. Masakan ibunya selalu enak. Rasanya juga mirip buatan ibuku. Mungkin karena keduanya bersaudara, dididik oleh orang yang sama.
“Terima kasih.” Ucapku.
“Ada orang lain di dalam kan?” Dia tahu, “Feromonnya sangat kuat. Apa yang harus kulaporkan pada ibumu? Kau membawa omegamu ke rumah? Lain kali bukan aku tapi tukang pukul yang akan dikirim kemari.”
“Kau punya pilihan untuk tidak melaporkan.”
Dia kembali tertawa, “Dasar sialan.”
“Aku merasa mendengar suaramu.” Sahut Kayu yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku dengan kepala menempel ke bahuku, “Ternyata benar kau, Gabriel.”
“Dan ternyata kalian lebih dari teman dekat.”
Kayu tertawa.
“Apa yang kau pikirkan tentang kami?” tanya Kayu sambil memeluk lengan kananku, “Serasi? Ah, ini makanan ya? Aku sangat lapar.”
“Kalau begitu kalian sarapan saja. Aku harus pergi kuliah.”
“Tidak ikut sarapan dulu?”
“Tidak-tidak. Terima kasih. Kalian harus melakukan sesuatu untuk membereskan feromon itu. Aku tidak ingin mengganggu. Lebih baik aku pergi secepatnya.”
“Hati-hati.”
“Ya.”
Dan Gabriel pun berlalu.
***
Seperti yang Gabriel katakan, titipan ibunya adalah ayam pop. Aku baru memindahkannya ke piring untuk dimakan bersama Kayu yang tampak antusias. Kami berdua duduk di sofa panjang yang sekiranya muat diduduki 3 pria dewasa. Makanan kuletakkan di antara kami karena tidak ada meja, kecuali yang tertutup kanvas di sudut lain. Perabotan di rumahku seminim itu. Di dalam rumah yang cuma berupa 1 ruang ini hanya terdapat sofa yang sedang kami duduki, ranjang king size yang semalam kami tiduri, lemari pakaian yang isinya tak penuh, meja besar tempat tergeletaknya peralatan dan lukisanku, juga sekian kanvas yang berserakan tidak jauh dari meja itu. Tidak ada lagi. Kompor dan mesin cuci di teras belakang, bukan di sini.
“Sudah lama kita tidak makan berdua kan, Michael?” Kayu membuka obrolan, “Dulu aku sering numpang makan di rumahmu.”
“Kau senang mengambil makanan dari piringku.”
Dia tertawa.
“Karena rasanya lebih enak.”
Mana mungkin. Makanan yang kami makan sama. Hanya tersaji di piring berbeda. Tidak mungkin ada yang terasa lebih enak. Dia cuma beralasan.
“Sekarang kau melakukannya lagi.”
Dia kembali tertawa. Lalu menyodorkan suapannya padaku. Aku sempat terdiam. Tapi akhirnya kuterima juga.
“Enak?”
Aku tidak akan menjawabnya.
“Makanan bisa terasa lebih nikmat jika dimakan dari piring yang sama. Sepiring berdua.” Gumamnya, “Atau diambil dari piring lain. Atau juga dari suapan orang lain.”
“Bukan dari suapan orang lain.” Sangkalku, “Melainkan dari tangan orang yang memberi kasih sayang.”
Orang tua, misalnya. Atau pacar juga bisa. Dan sepertinya omonganku sudah merusak suasana. Kayu yang semula ceria mendadak kembali pada ekspresi sedihnya.
“Pernikahanku batal.” Akunya, “Perempuan yang akan menikah denganku, tiba-tiba saja pergi setelah mengaku jatuh cinta pada pria lain. Kejadiannya kemarin di gereja.” Dia memaksakan diri untuk tertawa, “Aku cuma bisa membisu sampai akhirnya sesenggukan saat kemari. Dan begitu berada dalam pelukanmu aku tidak bisa berhenti menangis.
Bukankah aku berengsek, Michael? Aku tidak mengundangmu ke pernikahanku. Tapi begitu acara itu batal, aku justru mendatangimu. Seolah kau satu-satunya yang bisa menguatkanku.”
“Mungkin aku memang satu-satunya yang bisa menguatkanmu.”
Dia tertawa, walau sambil mengalirkan air mata.
“Bagaimana caranya?”
Cara menguatkannya?
“Apakah kau akan memelukku seperti semalam? Sebagai teman? Hanya begitu?”
“Memangnya apa yang kau mau?” tanyaku.
“Lebih dari itu.”
Apa yang lebih dari itu? Dan apakah ini murni omongan sesuai yang dia mau? Bukan karena pengaruh masa birahi? Dia sedang kesulitan mengontrol diri kan? Terlihat dari feromonnya yang menguar sangat kuat.
“Aku ingin memilikimu, Michael.” Jelasnya, “Aku akan kuat jika kau menjadi milikku. Aku mencintaimu.”
Dia bicara di luar kendali.
***
20:17 wib
21 November 2023
reo
KAMU SEDANG MEMBACA
Motive
Storie d'amoreMichael sudah lama tidak bertemu Kay. Tapi temannya itu tiba-tiba datang tengah malam sambil menangis. Pernikahannya batal. Calon pengantinnya pergi karena lelaki lain. Sejak itu, Michael membiarkannya tinggal di rumahnya. Membantu menguatkannya, me...