5. Kecanduan

28 3 4
                                    

Melihat Kayu duduk di sofa sambil memainkan ponselnya sudah menjadi kebiasaanku akhir-akhir ini. Kulakukan sambil melukis tidak jauh darinya. Makin hari sepertinya patah hati yang dia rasakan makin mereda. Kutebak dari tangisannya yang tidak separah sebelum-sebelumnya. Dia juga tidak lagi terlalu sering melakukannya.

“Michael.” Dia memanggilku, tanpa menoleh. Masih sibuk dengan ponselnya, “Semembosankan apa ngobrol denganku?”

Ha? Semembosankan apa?

“Belum ada yang menyebutku membosankan. Tapi aku mulai merasa begitu sejak pengakuan mantanku.”

“Apa maksudmu?” tanyaku.

Dia meletakkan ponsel di sampingnya

“Pernikahanku batal karena kemunculan laki-laki yang pintar bicara, kalau tidak salah.”

“Jangan diucapkan kalau kau masih ragu.”

“Bukan ragu. Aku hanya tidak tahu istilah yang cocok untuk menggambarkannya.” Oh, “Mantanku bilang dia enak diajak ngobrol. Jadi meski cuma sekali bertemu lalu berlanjut dengan saling mengirim pesan, dia putuskan untuk memilih laki-laki itu dibanding aku.”

“Karena itu kau pikir dia pintar bicara sementara kau membosankan?”

“Ya.”

Aku tidak akan pernah menyetujuinya. Kami saling mengenal sejak SMA. Kalau dia membosankan, pasti sudah sejak saat itu kurasakan. Bagiku dia orang yang menyenangkan. Begitu pun bagi orang-orang lain di sekitarnya. Karena nyatanya, dia selalu memiliki banyak teman.

“Memangnya orang membosankan itu yang seperti apa?” tanyaku.

“... Tidak enak diajak ngobrol.” Jawabnya, “Yang omongannya membuat orang lain tidak betah. Rutinitasnya itu-itu saja. Dan susah diajak bekerja sama.”

“Bukankah itu ciri-ciriku?”

“Eh?”

“Biasanya orang-orang kesal saat ngobrol denganku. Contoh termudahnya Naina, manajerku.”

Aku sering membuat perempuan itu protes tentang banyak hal yang berkaitan denganku. Entah itu aku yang tidak menyukai kunjungan tamu, tidak menghadiri pameran, dan lain sebagainya. Obrolan kami selalu berupa perdebatan yang didasari sifat egoisku.

“Omongan lugasku sering menyakitkan.” Lanjutku, “Kau sendiri pernah menendang dan melempar ponsel ke arahku gara-gara itu.”

“Kalau itu...”

“Rutinitasku tidak berubah. Aku terlalu banyak mengurung diri di rumah. Hanya keluar seperlunya saja. Dan sulit diajak bekerja sama.

Aku memenuhi semua kriteria yang kau sebutkan. Sementara kau justru kebalikanku. Berdasarkan itu artinya akulah orang yang membosankan sementara kau menyenangkan. Tentang mantanmu, kebetulan saja dia lebih berselera pada pria lain.”

Kayu terdiam. Menatapku. Dia sering menunjukkan reaksi semacam itu saat kami ngobrol. Entah apa maksudnya. Masih berusaha mencerna, atau mencari pilihan kata yang tepat untuk dilontarkan.

“Kau pintar bicara, Michael.” Akhirnya dia kembali bersuara.

“Yang benar saja.”

Dia menghampiriku.

“Kau memang pintar bicara. Aku sudah menyadarinya sejak kita SMA. Hanya saja kau lebih suka diam.”

“Aku cukup banyak bicara.”

“Hanya di waktu tertentu.”

Dia jongkok di sampingku.

“Hanya di waktu tertentu, situasi tertentu, juga pada orang tertentu. Ah, hanya untuk tujuan tertentu.”

“Aku cuma makhluk goa yang membosankan.” Tegasku.

“Kau tidak membosankan.”

“Kaulah yang tidak membosankan.”

“Bagiku kaulah yang tidak membosankan.”

“Dan bagiku juga kaulah yang tidak membosankan.”

Dia kembali terdiam. Menatapku. Hingga akhirnya menarik turun maskerku.

“Aku ingin dicium olehmu.”

Akhirnya cuma itu yang kami lakukan. Berciuman. Akhir dari tiap perdebatan akan diisi oleh kegiatan saling bersentuhan. Bibir dengan bibir. Lidah dengan lidah. Kebiasaan. Dan bagiku tidak membosankan. Justru membuat kecanduan.

***

Rasanya malas sekali. Naina menelfonku untuk yang kesekian kali. Tidak sekali pun kuangkat. Lalu dia mengirim pesan suara. Tidak kupedulikan. Akhirnya ganti pesan berupa tulisan. Baru aku mau membaca.

“Datanglah ke pameran. Ini penting. Setidaknya muncullah sekali saja. Kalau kau mau melakukannya aku tidak akan meributkan tawaran interview lagi.”

Sudah kubaca. Aku mengerti maksudnya. Selanjutnya, akan kudiamkan  saja. Apa gunanya berdebat kalau hasilnya sama saja. Biarkan Naina heboh sendiri.

Muncul pesan lagi.

“Tuan David Budiman mengusulkan tema Gemini untuk kolaborasi kalian. Luangkan waktu untuk diskusi. Kau bisa memilih tempatnya.”

Aku nyaris lupa tentang kolaborasi. Bagiku itu terlalu merepotkan. Aku masih harus menyelesaikan 2 lukisan lagi untuk pameran tahun depan. Jeda istirahatku hampir tidak ada dari karya-karya yang sekarang sedang dipamerkan. Tapi aku sudah terlanjur janji pada Kayu untuk berkolaborasi dengan pematung David Budiman. Bagaimana caranya aku mengatur waktu?

“Kau memikirkan sesuatu?” tanya Kayu.

Dia berbaring di sampingku. Di atas ranjang. Bersiap tidur karena sudah malam. Sementara aku masih sibuk menggenggam ponsel tanpa melakukan hal yang lebih berguna dari itu.

“Hidup sebagai orang dewasa itu merepotkan.” Jawabku.

“Kenapa?”

“Pekerjaan.”

“Ada masalah dengan pekerjaanmu?”

“Mungkin iya. Atau tidak juga.”

“Apa maksud jawaban itu?”

Aku tertawa, pelan.

“Dulu aku merasa sangat tersiksa di sekolah.”

“Eh?” Dia membulatkan kedua matanya, “Kupikir kau baik-baik saja.”

“Memang baik-baik saja.”

“Tapi barusan kau bilang...”

“Aku tidak suka keramaian. Sementara di sekolah terlalu banyak orang. Aku ingin cepat-cepat lulus agar bisa bekerja dan pilihan pekerjaanku adalah yang tidak mengharuskanku bertemu banyak orang.”

“Karena itu kau jadi pelukis?”

“Ya. Tapi nyatanya mustahil bagiku menghindar tiap hari. Ada diskusi yang harus kuhadiri. Interview yang suatu hari nanti pasti harus kujalani. Dan yang paling tidak kusukai muncul dalam pameran.”

“Maaf, aku tidak bisa melihat kesulitan dari semua itu. Apalagi setahuku kau tidak gagap atau susah bersikap di depan orang. Tapi aku sadar kau seorang introvert. Jadi meski tidak bisa melihat kesulitanmu, aku mempercayai kesulitan itu.”

Aku kembali tertawa. Kulanjutkan dengan memeluk tubuhnya.

“Aku akan berusaha berkompromi dengan diriku sendiri.” Janjiku.

“Tidak perlu memaksakan diri kan, Michael?”

“Tidak memaksakan diri. Aku hanya ingin melakukannya saja. Kalau mustahil aku juga akan menyerah.”

“Akan kudoakan yang terbaik untukmu.”

“Terima kasih.”

“Aku lebih suka diberi ciuman dibanding ucapan terima kasih.”

Kali ini aku tertawa lebih lepas dari sebelum-sebelumnya. Isi otak Kayu hanya ciuman. Bukan berarti aku tidak menyukainya. Justru aku senang melakukannya. Karena seperti yang pernah kubilang, membuat kecanduan.

***

14:23 wib
23 November 2023
reo

Makin kesini karakter Michael makin berubah. Aku benar-benar tidak bisa menunjukkan sifat pendiamnya. Seharusnya dia tidak banyak bicara. Jarang berekspresi. Tapi sering memberikan sesuatu yang manis. Harusnya begitu. Ini malah... Sudahlah. Versinya memang berbeda.











MotiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang