12. Tidak ada yang perlu dimaafkan [end]

24 2 5
                                    

Hidupku akan berakhir jika Kay tidak memaafkanku. Mungkin ini berlebihan bagi pandangan orang, tapi tidak bagiku. Karena Kay adalah segalanya bagiku. Jangan bicara tentang orang tua dan keluarga. Mereka memiliki arti yang berbeda. Tuhan pun bukan entitas yang bisa dibahas bersama. Ini mengenai cinta, mate yang merupakan satu-satunya pasangan untuk seorang alpha.

Kay menghidupkan mobilnya. Menyetir ke arah yang tidak kutahu kemana. Yang pasti bukan ke rumah yang kami tinggali bersama meski dia menyebut kata pulang sebelumnya. Aku benar-benar ketakutan dibuatnya. Terlebih karena dia tidak bersuara sepanjang perjalan.

Dan di sinilah kami sekarang. Di depan bangunan tua yang seingatku pernah ditempatinya bersama kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Rumah khas yang dibangun pada masa awal kemerdekaan. Tidak ada yang berubah dari pertama kali aku melihatnya, kecuali tentang cat yang sudah pudar dan jenis tanaman yang tersebar di halaman.

"Kita bicara di sini, Michael." Tegasnya yang akhirnya bersuara.

Aku semakin dibuat ketakutan olehnya. Sampai-sampai tangan dan kakiku terasa ngilu saking dinginnya yang kurasakan saat ini.

"Di dalam rumahku." Tambahnya bersamaan dengan membuka pintu.

"Aku mencitntaimu." Ucapku dengan cepat sebelum dia keluar dari mobil. Kulakukan sambil meraih lengannya dengan kedua tanganku yang bergetar. Aku tahu aku tampak buruk sekarang. Tapi mau bagaimana lagi, ketakutanku semakin menjadi-jadi, "Kulakukan semua itu karena aku mencintaimu."

Dia terdiam. Sekadar menatap. Dan itu sungguh menyiksa perasaan. Tidakkah dia mengerti ketakutanku?

"Memangnya apa yang kau lakukan, Michael?" Akhirnya dia tidak mendiamkanku, "Jelaskan padaku."

"Aku..." Dia menunggu, "Aku... menguntitmu."

"Menguntit?"

"Maafkan aku." Pintaku cepat-cepat. Tanganku semakin bergetar. Bahkan merambat ke sekujur tubuhku, "Aku menguntitmu sejak setahun lalu, setelah berhasil mencari tahu keberadaanmu. Kulakukan karena aku tidak bisa lagi diam merelakanmu."

Dia masih ingin mendengar lebih banyak dariku. Kuartikan begitu dari reaksinya yang lagi-lagi sekadar diam menatapku.

"Kau menghilang begitu saja setelah lulus SMA. Kabarnya kau melanjutkan pendidikan di luar negri. Tapi kabar tentangmu cuma sebatas itu. Aku berusaha merelakanmu. Kupikir akan berhasil karena selama SMA pun aku sanggup menekan rasa cintaku. Nyatanya tidak lagi.

Aku nyaris gila saking rindunya padamu, Kay." Itu terjadi beberapa tahun lalu, "Hingga akhirnya ada yang mengatakan kau sudah kembali. Aku menemukanmu. Tapi kau tidak sendiri. Ada wanita yang berstatus sebagai pacarmu. Rasanya hatiku sakit sekali. Terutama saat kuketahui rencana pernikahan kalian.

Aku tidak tahan, Kay. Aku ingin kau jadi milikku, bukan wanita itu. Dan lagi kau adalah mate-ku."

"Lalu kau membuat rencana untuk membatalkan pernikahanku?"

"Maafkan aku."

Dia menarik napas dalam-dalam. Menyingkirkan genggaman tanganku.

"Kau tahu, Michael? Sampai sekarang rasa sakit akibat batalnya pernikahan itu masih ada." Akunya, "Terbukti dari rasa tak nyaman saat tadi aku melihat Delima."

"Kumohon maafkan aku."

"Kau bilang kau pernah nyaris gila saking rindunya padaku."

"Maafkan aku, Kay."

"Aku juga nyaris gila gara-gara ulahmu."

"Maafkan a-" Dia menamparku.

"Ikut aku."

MotiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang