9. Mama Mertua Yang Baik Hati

80 8 0
                                    

Happy Reading, Happy Enjoy!

≪•◦ ❈ ◦•≫

Pagi yang cerah dengan udara yang menyegarkan, embun tipis pun tidak ketinggalan hadir dalam menyambut hari. Tersenyum aku melihat betapa segarnya tanaman-tanaman hias yang kini aku sirami menggunakan air selang. Terlihat berwarna-warni dengan warna yang cerah.

"Kamu tidak capek nak?"

Aku menoleh pada mama mertuaku yang kini sedang memberikan pupuk pada tanaman hiasnya, beliau sangat antusias dalam merawat bunga-bunganya.

"Capek ma, tapi kalau melihat tanaman-tanaman yang segar ini Jihan jadi kembali bersemangat gitu."

"Haha kamu benar, mama juga begitu. Tiap kali merasa capek pasti lihat mereka langsung hilang capeknya."

"Sejak kapan mama suka mengoleksi tanaman hias begini?"

"Umm.." mama menyentuh dagunya sambil mendongak melihat ke langit seolah jawaban pertanyaanku ada disana.

"..sepertinya setelah menikah dengan almarhum papamu."

"Setelah menikah dengan almarhum papa?" aku mengulang jawabannya dengan nada bertanya.

"Iya, mama memang dulu bekerja sebelum menikah dengan papa. Tapi setelahnya mama memilih fokus mengurus keluarga mama, karena bosan ketika ditinggal papa kerja jadi mama memilih untuk mencari hobi baru untuk mengusir rasa bosannya mama. Dan jengjeng ini hobi baru mama."

"Ah begitu rupanya. Tapi bagus kok hobi mama, benar-benar penghilang stress."

"Nanti kamu bawa beberapa tanaman disini ya, Jakarta kan panas."

"Tapi nanti jadi berkurang tanaman mama." ujarku sembari menghentikan kegiatan menyiramku.

"Nggak apa-apa, ini masih banyak kok tenang pokoknya." jawab mama dengan senyuman di wajah ayunya.

Hatiku menghangat menyadari betapa beruntungnya aku mendapatkan mama mertua sebaik bu Fitri. Beliau benar-benar memperlakukanku dengan baik dan lembut seperti anaknya sendiri. Senyumnya bukan senyum palsu, senyum tulus yang seperti umik berikan padaku.

Aku berjongkok di samping mama mertuaku kemudian bertanya, "Mama, Jihan boleh tanya sesuatu?"

"Boleh, Jihan mau tanya apa?"

"Kalau boleh tahu, almarhum papa itu bagaimana?"

Sejenak mama terdiam ketika aku bertanya demikian, mungkin mama merasa kurang nyaman dengan pertanyaanku.

"Ah maafkan Jihan ma, membuat mama tidak nyaman."

"Tidak tidak, mama hanya merasa sedikit terkejut saja. Setelah kematian papa, tidak ada yang menanyakan beliau lagi."

Raut wajah mama nampak sedih yang sangat kentara, namun tersirat raut senang yang entah karena apa.

"Papa itu orangnya keras. Cara mendidik anak-anaknya pun juga sangat tegas, sampai-sampai dulu itu Hilal dan Erin takut kalau mau belajar sama papa. Selalu manggil mama kalau belajar sama papa."

Kudengarkan baik-baik cerita mama, terkadang ikut tertawa ketika mama menertawakan apa yang beliau ceritakan.

"Mungkin beliau begitu karena terbawa profesinya sebagai polisi. Tapi sebenarnya papa itu orangnya penyayang. Ketika usai mengajari anak-anaknya, papa akan menceritakan bagaimana mereka berdua kepada mama, peningkatan dalam belajarnya bagaimana, seolah sedang lapor ke komandannya setelah tugasnya selesai."

"Ekspresi bangganya itu kentara sekali, nak. Apalagi ketika tahu Hilal masuk universitas di Mesir, masyaAllah papa langsung mengadakan acara syukuran di rumah ini."

Zauji Zaujati [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang