118. Windscreen

145 12 0
                                    

Munich, Germany
January 2027

"Ayah!"

Fabian datang sembari mendorong troli dengan tumpukkan dua koper besar. Andrian datang sendiri untuk menjemput Fabian karena jadwalnya lowong atau sengaja mengosongkan jadwalnya. Tak lupa, Andrian juga membawakan Fabian mantel musim dinginnya—Fabian tidak membawa miliknya saat pergi dari rumah menuju bandara sebelum kepergiannya menuju Jakarta. 

"Fabian! Great to see you again!" Andrian menyambut kedatangan putranya dan mereka langsung berjalan bersama menuju kendaraan yang diparkirnya. Tangannya langsung menyerahkan mantel berwarna hitam tersebut untuk dikenakan oleh Fabian."Schnell!"

"Danke, Ayah!" Dengan cepat Fabian menghentikan trolinya dan mengenakan mantel tersebut.

Andrian terpikir bahwa seharusnya apartment-nya Fabian sudah dibersihkan, namun Andrian terpikir untuk membawa anak lelakinya pulang terlebih dahulu. "Kamu langsung ikut Ayah pulang ke rumah, ya. Apartment-mu belum dibersihkan." 

Lelaki muda tersebut hanya menganggukkan kepalanya. "Boleh saja."

Setelah sampai di parkiran, Fabian langsung memasukkan semua koper berwarna hitam menuju bagasi dan langsung masuk ke mobil. Tampaknya Andrian sudah siap untuk menyetir menuju rumah. Sama seperti dirinya, Andrian sangatlah disiplin saat membawa kendaraanya dengan memperhatikan kecepatan mobilnya dan rambu lalu lintas. Perjalanan yang direncanakan akan memakan waktu lima puluh tiga menit itu pun diawali dengan perasaan hening sembari melihat salju yang mendominasi di kota tersebut.

"Sejauh mana persiapan pernikahanmu?"

"Kurasa tujuh puluh lima atau delapan puluh persen," jawab Fabian dengan tatapan yang tetap lurus ke depan, "karena untuk acaranya lebih banyak dibantu oleh Bunda Sabine dan Tante Ingrid. Hanya saja untuk pengurusan dokumennya belum kulakukan. Kurasa akan tertunda beberapa minggu."

Andrian mengangguk mengerti sembari tetap memfokuskan dirinya pada pandangannya. "Ya, kurasa kamu bisa minta tolong sama seseorang atau cari saja agen."

"Alright, thank you Ayah." 

Fabian menghentikan percakapan soal persiapan pernikahannya. Sebenarnya ia merasa bahwa dirinya tidak berbuat banyak karena kesibukannya sebagai residen bedah anak. Ia dan Sura memang mempersiapkan banyak referensi yang dimasukkan ke dalam moodboard, namun yang membantu merealisasikannya adalah para bunda dan Sura—yang bahkan masih mengurus hal-hal tersebut dari Jakarta.

"Kamu beruntung memiliki bunda memperhatikanmu." Andrian berkata sembari mengendarai kendaraannya, "mutti-ku meninggal, ayahku menikah dengan ibu tiri terkutuk itu. Sehingga ia membuat ayahku dan orang tua Sabine mempersiapkan pernikahan. Bahkan jika ayahku tidak mendengarkan permintaanku untuk dijodohkan dengan bunda, mungkin ibu tiriku akan menjodohkanku dengan perempuan yang tidak kusuka."

"Dari semua perempuan, kenapa bunda?"

"Sama sepertimu—dari semua perempuan, kenapa Sura?"

"Aku tidak menyukai perempuan yang menjalin hubungan dengan pria lain."

"Meskipun terdengar jelek, bundamu adalah cinta pertamaku."

"Bagaimana kalian bertemu?"

"Ayahku berkawan dengan banyak high profile. Percetakan Amari di Frankfurt itu terkenal sejak dahulu, tahu. Makanya mudah untuk meminta ayahku menjodohkanku dan bundamu menerima—meskipun awalnya kita memang berteman baik dan tidak memungkinkan untuk bunda dan mantannya melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius."

"Pernahkah Ayah merasa bersalah dengan permintaanmu sendiri?"

"Ya," jawab Andrian dengan singkat disertai dengan jeda, "namun, Alexander mengatakan bahwa aku tidak perlu merasa bersalah dengan apa yang aku lakukan. Alexander juga mengatakan bahwa aku menjaga Sabine dengan baik dan memilikimu."

The Great Chances [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang