120. Morning Call #6

236 11 1
                                    

Percakapan telepon pukul 10 pagi di Munich dan 4 sore di Yogyakarta antara Fabian Hafiyyan dan Rayan Pradana.

RP: Yaaa, Bi. Ada apa?

FH: Sedang apa? Apakah aku menganggumu?

RP: Tentu saja tidak. Aku baru saja sampai di rumahku di Yogyakarta.

(Fabian menarik nafas)

RP: Ada apa? Suaramu tampak berbeda.

FH: Aku bermimpi buruk.

RP: Maaf aku mengecewakanmu, tapi jangan ceritakan.

FH: Kenapa?

RP: Yang boleh diceritakan itu hanyalah mimpi yang baik.

FH: Baiklah. Tampaknya aku harus menahan diri.

(Jeda sebentar)

FH: Yan.

RP: Kenapa?

FH: Kalau kamu ada waktu, boleh minta tolong cek keadaan Sura, enggak? Kamu enggak perlu ke Jakarta, tapi mungkin kamu bisa meneleponnya sesekali atau mengirimkannya pesan.

RP: Emang kenapa? Bukannya Sura ada teman-temannya? Malah teman-temannya Sura lebih banyak daripada kita?

(Suara nafas Fabian)

RP: Apa kamu baik-baik saja, Bi?

FH: Mau temannya banyak sampai satu gedung, pasti Sura tetap sungkan kalau mau minta pertolongan. Terutama keadaan darurat.

FH: Aku tidak apa-apa, Yan, hanya saja awal tahun di Jakarta pasti akan lebih sering hujan. Aku harap kamu mengerti maksudku. Kumohon sekali ini saja.

RP: Akan aku usahakan.

FH: Terima kasih!

RP: Terima kasih juga!

FH: Yan

RP: Kenapaaa?

FH: Menurutmu Sura gimana?

RP: Loh, kok kamu tiba-tiba nanya kayak gitu ke aku?

FH: 'Kan kamu sudah ketemu sama Sura?

RP: Kalau kamu nanya soal kakaknya, Mas Nicky, oke aku bisa menjawab. Kalau Sura aku enggak.

FH: Sepenglihatan kamu aja, Yan.

RP: Ini sepenglihatan aku sebagai lelaki lain, ya. Karena aku bukan temannya Sura.

FH: Ya, go ahead.

(Jeda dulu sebentar)

RP: Nayantara Sura Ramadhanty Wiradikarta

(Suara nafas Rayan)

RP: Wah, dari namanya saja, aku yakin orang tuanya begitu mencintai anaknya hingga memberikan nama yang bagus dan berkesan. Tak hanya Sura, namun Mba Hanneli sama Mas Nicky juga. Meskipun selama ini aku hanya tahu dari kamu, dari orang tuaku, atau dari orang lain yang membicatakannya, namun aku merasakan bahwa Sura ini hidup sebagai seseorang yang positive vibes. Ayahku bilang bahwa anaknya Pak Remus paling kecil itu cantik—postur tubuh tingginya seperti Pak Remus dan senyuman lebarnya seperti Bu Ingrid. Perempuan yang akan baik-baik saja jika dia tidak disukai dan kehadirannya di kehidupan orang lain bagaikan sebuah berkat. Aku yakin ada banyak lelaki di hidupnya yang telah menaruh hati pada Sura dan Sura menaruh hati pada salah satu lelaki yang datang ke dunianya. Biasanya perempuan seperti itu hanya jatuh cinta sekali, lalu cintanya habis di orang tersebut. Jadi aku selalu sadar bahwa aku tidak memiliki kesempatan.

FH: Maksudmu?

RP: Sejak aku melihatmu bersama Sura di UGM, aku melihat matanya menatapmu dengan penuh cinta yang dalam. Ia tidak akan mengabaikan apa yang kamu katakan. Ia menyukaimu, namun aku tidak bisa melangkah jauh. Well, aku pernah menaruh hati padanya dan Sura menjadi alasanku untuk menjadi pribadi yang...setidaknya lebih baik. Bahkan untuk lelaki lain sepertiku, Sura menginspirasiku tanpa ia sadari.

(Suara Rayan gemetar)

RP: Aku minta maaf, Fabian, dan kamu tidak perlu memaafkanku.

FH: Tidak, kamu tidak perlu minta maaf, Yan. Perasaanmu tulus, halus, dan realistis. Aku pun berpikir bahwa aku hanya memanfaatkannya saja.

RP: Maksudmu?

FH: Sura akan hidup seperti bundaku, Yan, dan Sura akan mengundurkan diri dari kehidupan kariernya yang menyenangkan untuk terbang ke benua yang sama denganku. 

TBC

nas's notes: terima kasih sudah menyimak cerita ini dan selanjutnya akan dipost dalam bentuk format twitter/x dan chat yang akan aku post di akun twitter/x aku (at) gemeinschweft. ayo jangan lupa dipantengin, ya!

The Great Chances [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang