Orang baru

53 9 12
                                    

Langit biru awan menggumpal, puluhan remaja yang berjalan keluar dari kampus dengan tangan yang memeluk kitab. Wajah mereka terlihat lelah namun kesenangan mereka tidak bisa di pungkiri setelah mereka mendapatkan ilmu baru. Mendapatkan ilmu ilmu baru dari guru-guru mereka tentu saja menambah pengetahuan mereka. Lalu lalang mahasiswa-mahasiswi yang berjalan saling menyapa ketika berpapasan. Tidak peduli mereka dari negara yang berdeda dengan adat dan kebudayaan yang berbeda pula.
Terlihat seorang gadis cantik dengan kerudung warna hijau yang menutupi dadanya. Di tangannya mencangklong tas hitam dan di tangannya membawa paper bag warna coklat. Tidak jauh dari gerbang universitas dia duduk di kursi halte bersebelahan dengan gadis lainnya. Wajahnya terlihat tidak tenang sambil memegang tali paper bag dengan erat.
Kulitnya yang berwarna kuning langsat, mata beloknya dengan bulu mata yang panjang alami, bibir merah dan alis yang tebal menambah kecantikan dan keunikan gadis ini. Jika di lihat dari postur wajah dan tubuhnya semua sepakat jika dia adalah pendatang.
Aleyna sadiyah, gadis berusia 21 tahun yang berkuliah di Universitas of Baghdad. Dia harus berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri setelah usaha keluarganya yang di Indonesia mengalami penurunan. Biaya hidup yang biasanya sudah dicukupi oleh Ayahnya kini dia harus menanggungnya sendiri. Bahkan dia harus mencari beasiswa mandiri agar dia bisa terus melanjutkan kuliahnya.
“Pulanglah, Nak. Ayah sudah tidak sanggup membiayai kuliahmu di sana.” Ucap Saiful yang terus terngiang di telinga Aleyna.
“Assalamualaikum..” Sapa gadis muda berjilbab merah.
“Waalaikum salam, Kak.” Jawab Aleyna dengan senyum sumringahnya. Sedari tadi raut wajahnya nampak cemas dan kuatir mungkin karena dia mengira gadis muda yang di sapa Kak itu tidak akan datang.
“Maaf ye saye terlambat. Tadi ada urusan sikit.” Jawab gadis itu dengan raut wajah yang tidak enak hati karena sudah membuat Aleyna menunggunya lumayan lama.
“Tidak apa-apa, Kak.” Jawab Aleyna. Baginya pelanggannya ini sudah datang saja dia sudah merasa lega. “Ini pesanan cake, Kakak.” Kata Aleyna lagi sambil menyerahkan paper bag yang sedari tadi dia jaga itu.
“Terima kasih ye, saye suka sangat dengan cake buatan kau ni. Macam saye makan buatan umi saye.” Cerita gadis itu sambil mengenang Ibunya yang ada di Negeri Jiran.
“Alhamdulillah jika, Kakak suka. Sering-sering beli lagi ya.” Kata Aleyna yang terus mempromosikan dagangannya. Bagi Aleyna ini adalah salah satu cara agar dia bisa bertahan hidup di negeri orang ini. Tidak ada satupun keluarga yang dia kenal. Hanya teman sejawatnya yang sama-sama merantau dan tidak punya siapa-siapa.
“Pasti saye pesan di kau terus. Saye duluan ye, ade perlu di perpustakaan kote.” Pamit gadis itu setelah dia memberikan beberapa lembar uang kepada Aleyna.
Aleyna menganggukkan kepalanya sambil melambaikan tangannya. Ada sedikit rasa iri yang menyelinap di hatinya. Hal itu karena dia melihat pelanggannya yang masuk ke mobil sedan berwarna hitam. “Pasti nyaman.” Gumam Aleyna pelan. Tidak seperti dirinya yang kemana-mana menggunakan angkutan umum.
Aleyna melambaikan tangannya untuk menghentikan bus yang lewat. Dia masuk ke dalam bus itu sambil berdesak-desakan dengan mahasiswa lainnya. Seorang lelaki tampan nampak berdiri dan mempersilakannya duduk. Aleyna menganggukkan kepalanya pelan dan duduk di kusi lelaki itu. Dia menghela napas dengan cukup keras hingga membuat lelaki tadi yang berdiri di sampingnya menoleh.
Lelaki itu nampak mencuri-curi pandang ke arah Aleyna. Dia menggumi wajah cantik Aleyna yang seperti dipahat dengan sempurna. Kulitnya memang tidak seputih dan sebersih dia namun kulit kuning langsat itu nampak cocok untuk Aleyna dan membuatnya tertarik. Namun dia memilih untuk diam dan tidak mau banyak bertingkah di Negeri orang.

***
Aleyna berjalan menyusuri taman kota. Dia melihat di sekelilingnya banyak anak kecil yang sedang asik dengan kegiatannya. Ada yang bermain dan ada pula yang duduk tenang di atas rumput hijau sambil menghafal kitab yang ada di pangkuannya.
Aleyna tersenyum. Dia jadi teringat dengan kejadian ketika pertama kali menginjakkan kaki di Baghdad. Saat itu dia merasa heran dengan kegiatan anak-anak di Baghdad yang tidak sama dengan anak-anak di kotanya. Anak-anak di kotanya ketika sore hari lebih sering menghabiskan waktu untuk nongkrong di kafe daripada menghafal kitab Allah. Pemandangan ini seperti hal baru untuk Aleyna. Dan ketika dia memasuki semester pertama dia mulai melakukan hal yang sama seperti yang di lakukan oleh anak-anak Baghdad. Sore hari setelah sholat di masjid dia selalu datang ke taman kota untuk mengulangi pelajarannya di kampus. Dan itu cukup efektif untuk Aleyna, terbukti dia selalu mendapatkan nilai bagus.
Namun setelah keadaan keluarganya yang mulai berantakan membuat waktu belajarnya sangat berkurang. Sore hari yang biasanya dia bisa bersantai sambil menghafal kitab, kini dia harus belanja bahan kue untuk dia jual esok hari. Dan dia juga harus memotong waktu tidurnya untuk dia gunakan belajar agar nilainya tidak turun.
Hingga akhirnya matanya menangkap sosok yang menurutnya tidak asing. Lelaki tampan berpostur tinggi dan berkulit putih, matanya sipit dengan hidung bangir khas orang Cina. Di lehernya ada kamera DSLR yang menggantung, lensa kamera yang menempel pada sebelah matanya yang memicing, dan tangannya sibuk memotret objek di depannya yang menurutnya menarik untuk di abadikan. Hingga crek. Suara yang keluar dari kamera milik lelaki itu.
Lelaki itu menurunkan kameranya dan kini berganti matanya yang mengabadikan objek yang sangat menarik itu.
Aleyna gelagapan ketika lelaki yang dia perhatikan kini juga memperhatikannya. Dia buru-buru menundukkan pandangannya, hal yang selalu dia lakukan ketika matanya bertabrakan dengan mata seorang lelaki.
Lambat namun pasti, lelaki itu mendekat ke arah Aleyna. Aleyna yang nampak ragu dan takut segera melangkah mundur dan menjauh dari tempatnya berdiri semula. Hingga akhirnya Aleyna memilih untuk duduk di atas rumput hijau yang ada di taman kota. Dia membuka salah satu buku yang tadi dia bawa dan berpura-pura membaca. Padahal ujung matanya selalu melirik ke sekitar untuk mencari tahu apakah laki-laki itu mengikutinya atau tidak.
Wangi parfum mahal yang masuk ke hidung Aleyna dan tentunya parfum khas yang dipakai oleh laki-laki. Aleyna memejamkan matanya dan menghela nafas dengan berat.
"Kamu selalu menghela nafas ketika kita bertemu." Kata laki-laki sambil tertawa kecil.
Aleyna terkejut dia menoleh ke samping kirinya dan matanya langsung bertabrakan dengan pandangan laki-laki itu. Sontak dia menggeser tubuhnya agar lebih berjarak dengan laki-laki itu.
"Tidak perlu takut, aku tidak akan macam-macam." Kata laki-laki itu yang menyadari jika Aleyna menjauh darinya.
Aleyna menghela nafas lagi dan lagi-lagi laki-laki itu tersenyum kecil. Aleyna mencoba untuk menetralkan sikapnya yang terlihat panik. Hingga beberapa detik dia berhasil bersikap santai.
"Dari Indonesia?" tanya Aleyna pelan. Dia tidak menyangka jika laki-laki yang dia kira seorang Chinese berasal dari negara yang sama seperti dirinya.
Lelaki itu mengangguk. “Steven.” Katanya dengan senyum yang menampilkan deretan giginya dan mengulurkan tangannya.
Aleyna menelangkupkan kedua tangannya di dada sambil mengangguk. “Saya Aleyna.” Jawab Aleyna dengan tersenyum.
Steven buru-buru menarik kembali tangannya dan tersenyum getir. Dia lupa dengan hijab panjang yang dikenakan oleh Aleyna yang artinya gadis itu sangat menjaga dirinya bahkan enggan bersentuhan dengan lelaki yang bukan muhrimnya.
“Kamu juga dari Indonesia?” tanya Steven mencoba mencairkan suasana yang sempat beku beberapa saat.
Aleyna menganggukkan kepalanya pelan. “Ya, saya dari Jawa Timur.” Jawab Aleyna lembut.
“Jawa Timur? Oh saya pernah ke Jawa Timur, saat itu ke Ponorogo.” Jawab Steven lagi dengan bangga karena dia merasa tahu Jawa Timur. Dan dia berpikir itu awal perkenalan yang baik karena akan ada banyak hal yang bisa dibicarakan.
"Saya dari Surabaya." Jawab Aleyna singkat.
Steven hanya menganggukkan kepalanya. Dia belum pernah ke Surabaya namun dia tahu jika Surabaya adalah kota besar di Jawa Timur, bahkan dia menjadi Ibu Kota Jawa Timur.
"Saya belum pernah ke Surabaya." Kata Steven sambil tertawa kecil. Dia mencoba mencari obrolan agar percakapannya dengan Aleyna tidak terputus.
Aleyna hanya diam saja. Dia tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Bahkan ini adalah pertama kalinya dia ngobrol dengan laki-laki asing. Karena selama ini dia selalu menjaga dirinya dari seorang lelaki yang bukan dari keluarganya.
Steven nampak bingung. Dia menggaruk kepala belakangnya. Dia bingung harus mencari obrolan apalagi.
Hembusan angin yang menerpa hijab panjang Aleyna membuat Steven terpukau. Dia sering melihat wanita berhijab dan menundukkan pandangan dengan malu-malu namun melihat Aleyna dia merasa beda. Aleyna seperti wanita yang memiliki daya tarik sendiri hingga bisa membuatnya terpikat. Terlalu cepat memang untuk memutuskan, namun rasanya Steven sudah mulai jatuh cinta dengan paras ayu Aleyna.
"Eh kamu inget nggak sih kalau ini pertemuan kedua kita?" tanya Steven lagi dengan nada ceria. Dia ingin ada obrolan panjang dengan Aleyna. Karena dia tidak yakin jika esok hari mereka bisa bertemu lagi dan duduk di atas rumput yang sama.
Aleyna menganggukkan kepalanya pelan. "Ya, setelah di bus beberapa hari yang lalu. Kamu memberikan kursimu untukku." Jawab Aleyna sambil mengingat kejadian beberapa hari lalu. Ya, Steven adalah laki-laki yang memberinya kursi ketika bus penuh. Saat itu dia habis bertemu dengan pelanggannya.
"Iya. Ahh aku kira kamu sudah lupa denganku. Saat itu kita hanya bertemu sekilas bahkan kamu tidak memandang wajahku." Kata Steven dan juga mengingat-ingat kejadian itu.
Aleyna kembali tersenyum. Mustahil jika dia memperhatikan wajah seorang laki-laki yang belum halal baginya. "Bagaimana mungkin aku memandang dan memperhatikan wajah pria asing yang bukan muhrim ku." Jawab Aleyna sambil matanya terus fokus pada buku bacaannya.
Steven terdiam. Dia kini tahu jika wanita yang membuatnya jatuh cinta ini sangat paham dengan aturan yang ada di agamanya. Hal itu membuat Steven semakin ingin mendekati Aleyna. Namun hanya ingin mendekati Aleyna saja bukan dengan agama Aleyna.
"Oh ya di agama mu tidak diperbolehkan memandang seseorang yang belum halal bagimu." Kata Steven seperti orang mencibir.
Aleyna menghentikan bacanya. Dia merasa ucapan Steven barusan seperti mengejek. "Aku rasa semua agama memiliki aturannya masing-masing. Dan itu aturan yang dianjurkan oleh agamaku dan aku tidak keberatan. Lalu mengapa kamu seolah keberatan?" tanya Aleyna dengan sarkas.
Steven melotot, dia merasa jika Aleyna tersinggung dengan ucapannya barusan.
"Oh maaf bukan maksudku menyinggung mu. Aku hanya berucap saja." Jawab Steven dengan cepat. Dia tidak ingin Aleyna tersinggung dan membuat suasana semakin tidak nyaman. Karena jika salah satu sudah merasa tidak nyaman maka obrolan itu akan terhenti.
"Duduk bersebelahan seperti ini saja juga membuatku tidak nyaman." Kata Aleyna lagi dengan ketus. Aleyna menutup bukunya dan memasukkannya ke dalam tas.
Steven yang melihat tingkah Aleyna merasa kuatir. Jika takut jika Aleyna segera meninggalkannya dan mereka tidak akan bertemu lagi.
"Al, kamu tersinggung dengan ucapanku sebelumnya?" tanya Steven dengan sangat hati-hati.
"Menurutmu?" tanya Aleyna balik.
Steven langsung menggeser tubuhnya lebih jauh dari Aleyna. "Apakah ini kurang jauh? Aku akan memberikan jarak lebih luas lagi agar kamu nyaman." Kata Steven kepada Aleyna. Dia terus menggeser tubuhnya memberikan jarak antara dia dan Aleyna.
Aleyna menghela napas dengan keras. Dia menyerah. Dia memilih untuk tetap tinggal. Lagi pula dia juga masih ingin menikmati suasana sore di kota Baghdad. Kegiatan yang sudah lama tidak dia lakukan setelah dia sibuk berjualan.
Steven terus mencuri pandang ke arah Aleyna. Sedangkan Aleyna fokus pada objek yang ada di depannya. Memperhatikan anak-anak kecil yang berlarian, memperhatikan remaja yang sedang menghafal, memperhatikan lansia yang hanya sekadar duduk dan menikmati senja seperti yang dia lakukan. Dia seperti tidak menganggap keberadaan Steven. Dia menganggap Steven orang asing yang bahkan dia tidak kenal namanya padahal mereka baru saja berkenalan.
"Kamu sudah lama tinggal di sini?" tanya Steven lagi pelan. Kali ini dia memilih untuk membahas hal yang ringan yang tidak menyangkut tentang agama mereka masing-masing.
Aleyna mengangguk kecil.
"Sudah berapa lama?" tanya Steven lagi.
"3." Jawab Aleyna singkat.
"3 hari? 3 minggu?" tanya Steven lagi dengan pelan.
Aleyna menggelengkan kepalanya. Entah mengapa dia menjadi enggan berbicara dengan Steven. Baginya laki-laki seperti Steven adalah laki-laki yang banyak bicara dan itu mengganggunya ketika ingin menikmati suasana alam seperti ini.
"3 bulan?" tanya Steven lagi menebak. Entah mengapa dia sangat ingin tahu tentang Aleyna. Ingin tahu yang lebih dalam bukan hanya sekadar nama. Mungkin setelah ini dia akan bertanya lebih banyak hal tentang Aleyna.
"3 tahun." Jawab Aleyna singkat. Dia berpikir setelah dia menjawab ini akan membuat Steven berhenti bertanya.
"Ohh sudah lama ya. Aku baru satu minggu di sini." Kata Steven sambil menganggukkan kepalanya. Bahkan ketika dia tidak ditanya balik dia sudah memberi tahu Aleyna.
"Aku tidak bertanya." Jawab Aleyna ketus.
"Ya siapa tau kamu ingin tau tapi malu untuk bertanya." Jawab Steven bercanda.
Aleyna melirik sedikit ke arah Steven. Dia menggelengkan kepalanya dan memutuskan untuk pergi dari hadapan Steven. Karena semakin lama dia bersama Steven dia merasa semakin pusing dan lelah.

Kembalinya Iman di hati AleynaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang