Terlempar

16 8 13
                                    

Aleyna mengerjapkan matanya. Kepalanya terasa pusing bahkan lebih pusing dari yang dia rasakan sebelumnya. Ruangan yang cukup gelap hanya ada api kecil yang menyala menjadi alat penerangan. Aleyna berusaha untuk bangun, namun dia tidak bisa melihat apa-apa dengan jelas.
“Hey, seseorang di sana tolong nyalakan lampunya!” Teriak Aleyna berharap ada seseorang yang mendengarnya.
Ruangan yang sangat asing, penerangan yang minim membuat Aleyna tidak tahu dimana dia berada saat ini. Jilbab merah yang tadi dia kenakan kini berubah menjadi hitam. Pakaian yang dia kenakan tadi juga berubah menjadi gamis lusuh. Aleyna benar-benar tidak tahu dimana dia berada saat ini.
“Umma sudah bangun.” Kata seorang gadis seumurannya masuk ke dalam ruangan dengan membawa segelas air.
Aleyna menengok ke sekelilingnya. Dia tidak tahu siapa yang dipanggil Umma oleh gadis muda itu. Terlebih Aleyna menjadi semakin bingung dan takut dimana dia berada sekarang.
“Umma minum dulu airnya.” Kata gadis itu sambil menyodorkan segelas air yang dia pegang.
Aleyna menerima gelas itu dengan takut. Dia memperhatikan wajah asing di depannya itu dengan penerangan yang minim. Gadis yang dia perhatikan sejak tadi hanya tersenyum ke arahnya. Terdapat rasa lega karena dia melihat Ummanya sudah sadar.
Aleyna melihat gelas yang diberikan gadis itu dengan teliti. Dia takut jika di dalam gelas itu berisi ramuan aneh. Dia saja hingga kini masih kebingungan dimana dia berada sekarang, akan bahaya jika dia meminum atau bertingkah aneh yang malah akan membahayakan dirinya sendiri.
Aleyna meminum air putih itu setelah dia yakin jika di dalam gelas itu aman. Setelah itu dia mengembalikan gelasnya kepada gadis itu. “Terima kasih.” Kata Aleyna lirih.
“Umma istirahat saja jika masih merasa tidak enak badan. Biar aku dan Baba yang melanjutkan berdagang.” Kata gadis itu lagi.
Aleyna semakin bingung. “Berdagang apa? Bukannya tadi aku baru saja belanja dan belum membuat cake. Lalu apa yang dijual?” Aleyna semakin bertanya-tanya. Dia semakin tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini.
Aleyna bangkit dari duduknya. Dia memperhatikan seluruh ruangan. Ruangan ini nampak kuno, tidak banyak perabot di dalam ruangan itu. Bahkan saluran listrik pun tidak ada. Dia mencoba mengingat kembali apa yang sebelumnya terjadi. Dan yang dia ingat hanya panggilan Zura memperlihat sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka.
“Oh iya, aku pingsan setelah mendengar bunyi alarm jam peninggalan zaman Khalifah.” Kata Aleyna sambil menggetok kepalanya sendiri.
“Adduhh.. sakit.” Keluh Aleyna lagi setelah dia menggetok kepalanya.
Bangunan kuno berjajar di sepanjang rumah yang ditempati oleh Aleyna. Aleyna memilih untuk keluar rumah untuk melihat keadaan sekitar. Aleyna menyadari jika dia tidak berada di tempat yang biasanya dia pijak. Entah di tahun berapa dia hidup saat ini dan entah di daerah mana dia tinggal sekarang.
“Dimana aku sekarang?” tanya Aleyna. Dia berharap ada seseorang yang bisa memberikan jawaban untuk pertanyaan dan kebingungannya itu.
Aleyna hanya bisa melihat di sekitarnya. Tidak ada satupun orang yang dia kenal. Semua asing dimatanya. Suasana yang terjadi juga sangat asing untuk dia.

***

Sudah dua hari berlalu namun Aleyna masih belum menemukan cara untuk kembali. Setiap hari dia hanya bengong di ruangan yang menjadi tempat istirahatnya. Dia juga tidak tahu berada di diri siapa dia sekarang. Yang Aleyna tahu gadis bernama Hayfa memanggilnya “Umma”.
“Umma, lihatlah aku membawa buku bacaan baru.” Kata Hayfa begitu masuk ke ruangan yang biasa di tempati oleh Aleyna.
Aleyna menoleh ke sumber suara. Seperti biasa gadis itu selalu membawa buku bacaan baru ketika dia pulang bekerja. Dan dari sekian banyak buku yang di bawa oleh Hayfa adalah semua buku tentang Khalifah Harun Ar-Rasyid. Hingga akhirnya satu pertanyaan Aleyna terjawab jika dia terlempar ke zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid.
“Bawa buku apalagi kali ini?” tanya Aleyna lirih.
“Ini kumpulan syair yang di tulis Abu Nawas khusus untuk Khalifah Harun Ar-Rasyid.” Jawab Hayfa dengan ceria sambil menunjukkan buku yang dia bawa dari tempatnya bekerja.
Aleyna mengerutkan dahinya. Mendengar nama Abu Nawas membuatnya mengingat kembali buku yang pernah dia baca. Ya, dia ingat jika Abu Nawas adalah penyair terkenal di zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid. Selain penyair Abu Nawas juga seorang sufi. Dia sering melontarkan kritikan-kritikan yang dibalut humor. Tentu saja segala kritikannya itu bisa di terima oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dan tidak membuat Khalifah tersinggung.
“Huufftt.. aku benar-benar terlempar di zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid.” Keluh Aleyna dengan suara pelan. Sebenarnya dia ingin menyangkal hal itu namun semakin dia mencari tahu semakin banyak bukti jika saat ini dia berada di Zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Aleyna mendengarkan Hayfa membaca setiap bait dari syair yang ditulis Abu Nawas. Syair yang berisi pujian-pujian untuk Khalifah. Terdengar begitu romantis.
"Apakah Khalifah begitu mulia hingga Abu Nawas memujinya seperti itu?" tanya Aleyna tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan Ummanya membuat Hayfa langsung terdiam. Perasaan bungah ketika membaca syair-syair itu langsung sirna. Bagaimana mungkin Ummanya bertanya hal konyol seperti itu. Padahal dulu Ummanya yang mengajarkan tentang kebaikan Khalifah.
"Umma lupa dengan semua kebaikan Khalifah kepada rakyat?" kini Hayfa kembali bertanya.
"Halah setiap manusia bisa berubah. Bisa jadi dulu memang benar baik tapi sekarang haus akan pujian dari rakyat. Artinya kebaikannya sekarang ini hanya pura-pura saja." Kata Aleyna yang terang-terangan tidak menyukai Khalifah.
Hayfa terkejut. Mengapa sekarang Ummanya seolah-olah membenci Khalifah. Padahal anaknya bekerja di tempat yang menjadi kebanggan rakyat Baghdad tentang ilmu pengetahuan, yang artinya tempat ini lahir dari pemikiran Khalifah.
"Khalifah tidak seburuk yang Umma pikirkan. Kebaikan dan ketulusan Khalifah benar-benar nyata, dia benar-benar memikirkan kesejahteraan rakyatnya bukan hanya untuk dia pribadi." Kata Hayfa yang seakan-akan ingin menyadarkan Ummanya.
"Hayfa isi hati seseorang tidak ada yang tahu. Kelihatannya memang baik tapi dalam hatinya yang haus akan pujian kita tidak tahu, 'kan". Jawab Aleyna lagi yang masih menyangkal.
"Astaghfirullah, Umma.. jika memang Khalifah sejahat itu pasti dia sudah dapat teguran dari Allah." Kata Hayfa yang semakin tidak mengerti dengan pemikiran Ummanya. "Tapi buktinya sampai detik ini Khalifah masih baik-baik saja dan rakyat semakin makmur. Islam juga semakin berada di masa kejayaan. Fasilitas semakin baik, pendidikan, tempat peribadatan juga bagus. Apalagi yang membuat Umma tidak yakin dengan ketulusan Khalifah?" Hayfa menerangkan semua yang sudah di lakukan oleh Khalifah. Memang benar tidak ada kemiskinan yang dirasakan oleh rakyat. Tidak ada seorang anak yang tidak merasakan pendidikan. Ilmu pengetahuan semakin canggih. Bahkan Baitul Hikmah menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan.
"Semua hal yang dia lakukan pasti dia mendapat keuntungan juga bahkan lebih besar dari yang dia korbankan." Aleyna tetap ngotot tidak mau mengakui kebaikan Khalifah.
"Ya memang dia mendapatkan hal yang lebih besar. Yaitu kemuliaan dari Allah." Kata Hayfa yang langsung memotong ucapan Aleyna.
Hayfa lantas bangkit dari duduknya. Rasanya dia sudah tidak sanggup berdebat dengan Ummanya. Entah apa yang membuat Ummanya sekarang menjadi orang yang membenci Khalifah. Padahal dulu Ummanya adalah termasuk orang yang mengagumi pemerintahan Khalifah.

Kembalinya Iman di hati AleynaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang