Mulai menerima

9 8 26
                                    

Langit meredup suara adzan berkumandang. Perempuan paruh baya dengan menenteng keranjang kosong berjalan tertatih di pinggiran. Matanya terus menatap ke depan tanpa menghiraukan seseorang yang memanggilnya sejak tadi.
"Umma, kenapa tidak berhenti aku panggil." Keluh Hayfa kepada Aleyna begitu dia bisa berjalan sejajar dengan langkah kaki Aleyna.
"Tidak dengar." Jawab Aleyna singkat. Wanita itu terus melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh ke samping kanan.
"Umma, aku membawa buku baru untuk dibaca malam ini. Umma, dengarkan aku baca ya." Kata Hayfa dengan manja. Tangannya bergelanyut dilengan Aleyna.
"Umma tidak akan dengar jika itu bukan tentang jam raksasa milik Khalifah." Kata Aleyna dengan tegas.
Hayfa mendengus, entah sampai kapan dia harus mendengar perkataan Ummanya tentang jam itu. Dia sama sekali belum pernah melihat jadi dia tidak tahu apa yang membuat jam itu menjadi istimewa hingga membuat Ummanya merengek meminta diperlihatkan jam raksasa itu.
"Maaf, Umma, Hayfa belum bisa membawa informasi apapun tentang jam itu." Kata Hayfa lirih.
"Ya sudah kamu tidak perlu lagi membawa buku-buku itu ke rumah." Kata Aleyna dengan cukup keras.
Hayfa tidak bisa berkutik. Dia hanya bisa mengikuti langkah kaki kecil Ummanya dari belakang. Dalam hati dia masih bertanya-tanya mengapa Ummanya bisa berubah seperti itu. Hingga tanpa terasa dia sudah sampai di rumah.
"Assalamualaikum.." Salam Hayfa yang memenuhi ruangan depan.
Tidak ada sahutan sama sekali, padahal biasanya Ayahnya sudah ada di rumah ketika sore hari.
"Dimana, Baba?" tanya Hayfa pada Ummanya.
"Umma, juga baru pulang bareng kamu. Mengapa kamu tanyakan pada, Umma?" jawab Aleyna ketus.
Hayfa diam saja, dia lantas memasuki ruangan yang lebih dalam. Dia ingin melihat dimana Ayahnya berada. Tujuan pertama yang dia tuju adalah kamar milik Ayahnya namun kamar itu kosong tak ada penghuninya. Hayfa semakin panik karena tidak menemukan Ayahnya dan tidak mendengar sahutan Ayahnya ketika dia panggil.
"Umma, kenapa Ayah tidak ada di kamarnya?" tanya Hayfa yang sudah panik.
"Mungkin belum pulang dari ladang." Jawab Aleyna seperlunya. Wanita itu lantas meninggalkan Hayfa sendirian yang masih panik. Dia menuju ke kamar mandi berniat membersihkan dirinya.
Baru sampai di depan kamar mandi dia melihat kaki yang selonjoran. Tentu saja hal itu membuat Aleyna terkejut. Belum selesai keterkejutannya itu dia melihat Abdul yang tergeletak dengan lemas. Di tangannya ada sebercak darah yang belum kering.
"Aaaa... Hayfa, Hayfa." Teriak Aleyna yang membuat Hayfa terkejut apalagi namanya dipanggil dengan begitu keras.
"Ada apa, Umma?" tanya Hayfa yang semakin panik melihat Ummanya ketakutan.
"Babamu." Kata Aleyna sambil menunjuk ke arah kamar mandi. " Dia pingsan." Lanjut Aleyna dengan napas tersenggal.
Hayfa yang mendengar itu tanpa berpikir panjang langsung melihat ke arah kamar mandi. Dan benar saja laki-laki yang sedari tadi dia cari tergeletak lemas di sana. Bahkan sebercak darah ada di telapak tangannya.
"Baba.." Teriak Hayfa yang sudah tidak bisa lagi menahan air matanya.
Aleyna yang melihat hal itu semakin kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Ditambah dia takut jika terjadi sesuatu buruk dengan laki-laki tersebut.
"Umma, bantu, Hayfa, angkat Baba." Kata Hayfa memohon bantuan.
Aleyna yang sejak tadi terpaku di tempat kini mulai sadar. Walaupun dia masih takut namun dia berusaha untuk tetap tenang. Perlahan dia maju mendekati Hayfa dan Abdul hingga akhirnya dia mulai membantu Hayfa mengangkat tubuh Abdul.
"Astagfirullah berat sekali." Keluh Aleyna.
"Umma, angkat kepalanya." Kata Hayfa memberi instruksi.
"Udah Umma angkat tapi berat banget." Jawab Aleyna sedikit kesal. Hayfa mengira sedari tadi dia hanya memegang kepala Abdul tanpa mengangkatnya.
"Ya sudah, Umma sebelah sini. Biar Hayfa yang mengangkat kepala Baba." Kata Hayfa mengalah.
Aleyna menuruti ucapan Hayfa. Dia bertukar posisi dengan Hayfa. Kini dia kebagihan untuk mengangkat kaki Abdul sedangkan Hayfa mengangkat kepala Abdul. Terasa sedikit lebih ringan walaupun dia masih merasa tertatih. Tubuh lelaki itu yang tinggi dan besar, walaupun usianya sudah tidak lagi muda namun tidak mengurangi kegagahannya.
"Pelan-pelan, Hayfa." Ucap Aleyna kepada Hayfa yang berjalan lebih cepat darinya. Tentu saja dia kesulitan karena dia berjalan mundur sedangkan Hayfa berjalan maju.
Hayfa memelankan langkah kakinya. Dia menuruti ucapan Ummanya itu. Walaupun raut wajahnya masih tetap gelisah melihat Babanya yang sudah lemas tidak berdaya.
Hingga akhirnya mereka sampai di kamar tempat Babanya beristirahat. Hayfa menidurkan kepala Abdul dengan sangat pelan, dia takut menyakiti ayahnya itu. Setelah itu Aleyna juga meletakkan kaki Abdul dengan pelan.
"Umma, jaga Baba, Hayfa mau memanggil tabib dulu." Kata Hayfa masih panik. Bahkan suaranya terdengar tersenggal setelah mengangkat tubuh Ayahnya.
"Iya." Jawab Aleyna lirih. Dia juga ikut panik melihat Abdul yang masih tidak sadarkan diri. Juga dia tak tahu harus berbuat apa karena dia awam dengan dunia kesehatan. Lagi pula ini di zaman Khalifah yang pastinya tidak ada ambulan untuk membawa suaminya ke rumah sakit.
"Bagaimana ini? Aku tidak tahu harus berbuat apa." Keluh Aleyna dengan menggigit ujung jempol kanannya. Dia terlihat mondar-mandir di samping ranjang Abdul. Sesekali ujung matanya melirik ke arah Abdul yang masih menutup matanya dengan rapat.
Aleyna berjalan keluar. Dia berniat menunggu Hayfa di depan rumah. Namun sudah cukup lama dan langit sudah benar-benar gelap gadis itu belum juga pulang.
"Ya, Habibah apa yang membuatmu gelisah?" tanya Uzza yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
Aleyna yang sedari tadi fokus melihat jalan nampak terkejut dengan pertanyaan Uzza.
"Astaghfirullah.. Uzza, kamu mengagetkan saja." Kata Aleyna cukup keras. Tangannya sambil menekan dadanya yang berdegup cepat.
Uzza yang mendengar teriakan Aleyna juga nampak sedikit terkejut. "Ya, Habibah bisakah kamu tidak berteriak?" tanya Uzza yang protes setelah mendengar suara cempreng milik Aleyna.
"Ya, Uzza bisakah kamu tidak mengagetkan aku?" kini Aleyna yang balik bertanya.
Uzza hanya mengangguk-angguk saja. Dia kembali fokus pada pertanyaannya yang belum dijawab oleh Aleyna. Melihat wajah panik Aleyna membuat Uzza ikut panik dan penasaran.
"Mengapa engkau panik?" tanya Uzza mengulangi pertanyaannya.
Aleyna menatap ke dalam rumah seakan-akan dia memberi tahu jika di dalam rumah itu sedang terjadi sesuatu. "Suamiku pingsan." Kata Aleyna terdengar kaku ketika mengatakan suamiku.
Uzza yang mendengar hal itu nampak terkejut. Bukan rasa iba namun rasa penasaran yang lebih dominan. "Sakit apa?" tanya Uzza pelan.
"Tidak tau. Aku dan Hayfa baru saja pulang dan dia sudah pingsan di kamar mandi." Jawab Aleyna dengan mata berkaca-kaca. Dia jadi teringat dengan ayahnya yang ada di Indonesia, mungkin usia Abdul tidak terlalu jauh dengan usia ayahnya. Hal yang dipikirkan Aleyna adalah bagaimana jadinya jika ayahnya berada di posisi Abdul sekarang dan mereka sedang berjauhan. Rasanya Aleyna tidak akan sanggup tersenyum lagi.
"Apakah sudah dipanggilkan tabib?" tanya Uzza pelan.
"Hayfa tadi pamit akan memanggil tabib tapi belum juga pulang hingga sekarang." Jawab Aleyna yang kini sudah tak lagi bisa menahan air matanya.
"Sabar semua akan baik-baik saja." Kata Uzza sambil mengelus pundak Aleyna.
"Insyaallah." Hanya itu kata yang mampu diucapkan Aleyna. Dia kembali fokus ke jalanan sambil menunggu Hayfa pulang. Rasanya dia ingin menyusul Hayfa dan menyeret tabib itu agar segera datang ke rumahnya dan memeriksa keadaan Abdul. Namun nyatanya dia tidak tahu keberadaan Hayfa dan dia juga tidak kenal satupun tabib di sini. Yang bisa Aleyna hanya menunggu Hayfa dan sesekali menengok Abdul yang terbaring lemah di kamar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kembalinya Iman di hati AleynaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang