Bab. 1

36 6 3
                                    

Tsabina tergopoh-gopoh membuka pintu ruang kerjanya dengan tangan gemetar. Dengan kondisi wajahnya yang merah dan nafas yang masih tersengal-sengal, ia melihat beberapa orang menatapnya dengan datar lalu kembali kepada pekerjaannya masing-masing. Namun, ada pula yang menatapnya sinis sembari berbisik-bisik dengan orang yang berada di sebelahnya.

Ia berusaha menetralkan degup jantungnya yang semula berpacu dengan cepat dan berjalan menghampiri Alisa—koordinator divisi staf administrasi di kantornya—yang sedang mengoperasikan komputer dengan posisi membelakangi pegawai lain.

“Mbak, maaf saya datang terlambat, tadi kejebak macet di jalan Sudirman karena ada kecelakaan,” ujar Bina dengan hati-hati, sembari meremas ujung kemejanya.

Alisa memutar kursi dengan tangan yang sudah tersilang di dada. Jangan ditanya lagi bagaimana raut wajahnya, yang jelas perempuan itu menatap Bina dengan tatapan tajam. “Memang kamu berangkat jam berapa?”

Melihat sorot mata Alisa, Bina tak bisa menahan kontraksi pada perutnya. Berhadapan dengan perempuan itu selalu membuatnya gugup. “Jam ... enam lebih tiga lima, Mbak. Lima menit lebih siang dari biasanya.”

Alisa mulai naik darah. “Terus kenapa berangkat jam segitu?”

“Ma-maaf, Mbak. Saya bangun kesiangan, semalam enggak bisa tidur,” jawab Bina jujur.

“Tidak bisa tidur atau memang sengaja tidak tidur, hah!” Alisa membentaknya diiringi dengan gebrakan di atas permukaan meja, membuat semua orang terperanjat.

Bina hanya bisa membisikkan kata maaf. Hatinya terasa pedih menyebabkan air matanya tak lagi bisa ditahan. Ia tahu kalau ia salah, tapi tidak seharusnya Alisa memakinya di hadapan semua orang, bukan? Toh ini juga baru pertama kalinya ia datang terlambat karena selama ini dirinya selalu berusaha disiplin waktu, tapi apalah daya, hari di mana ia akan terkena apes tidak pernah ada dalam kalender.

“Lain kali itu jangan begadang! Sudah  tau besoknya kerja. Kalo ada apa-apa di jalan jadinya ganggu ke pekerjaan, kan?”

Lagi-lagi Bina hanya bisa meminta maaf dalam posisi menunduk.

“Tidak ada kata lain apa selain maaf?” tanya Alisa ketus, sedangkan Bina menyembunyikan tangis. “Kenapa masih di situ, Tsabina? Sudah tau terlambat malah bengong!” Alisa menekan nada pada bagian namanya.

Bina menghela nafas lega, setidaknya Alisa memberhentikan acara mengomelinya. “Kalau begitu saya pamit kerja, Mbak.” Alisa tidak menjawab, ia memilih untuk berbalik menghadap monitor.

Bina meninggalkan Alisa sembari mengusap air mata di pipinya. Setelah mendudukkan diri di kursi, Jena yang berada di samping kiri Bina berbisik dengan logat Jawanya yang medok, “Seng sabar, Bin. Mbak Alisa lagi bad mood.”

Bina mengangguk sambil menarik ujung bibirnya sedikit lalu menyalakan monitor yang berada di hadapannya. Suasana kembali hening dan dingin mencekam saat mereka fokus kepada pekerjaan masing-masing.

Tak lama kemudian, suara telepon di samping meja Alisa berdering memecahkan keheningan di ruangan itu. Perempuan itu pun segera mengangkatnya. “Halo selamat pagi, Pak. Baik saya ke sana sekarang.” Setelah menutup telepon, Alisa memanggil Bina.

Denyut jantung Bina kembali berdegup kencang. “Ada apa, Mbak?”

“Ikut saya ke ruangan Pak Alex.” Bina terkesiap, bertanya-tanya dalam hati kenapa ia dipanggil oleh Pak Alex.

Melihat Bina yang masih duduk, Alisa kembali berseru untuk cepat mengikutinya ke ruang Pak Alex yang berada tak jauh dari ruangannya.  Alisa mengetuk pintu tiga kali, seseorang pun menyahut dari dalam. Di ruangan yang lumayan luas itu terlihat seorang pria berkumis dan rambut pendek sudah beruban sedang berkutat dengan berkas-berkas di meja. Pak Alex tersenyum ramah dan mempersilakan keduanya untuk duduk.

To Bloom Again [NEW VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang