Bab. 8

12 3 0
                                    

Matahari sedang tinggi, Bina dan kedua teman barunya—Sahara dan Dahlia—sampai di mes setelah membeli makan siang. Mereka memilih untuk tak makan di tempat karena kantin sedang penuh. Di meja makan, Imel sedang memakan semangkuk mi ayam sambil menonton televisi. Baru di suapan kedua, ponsel Bina berdering. Ia menyimpan sendok lalu pergi menuju tempat jemuran yang terletak di paling belakang.

"Udah pulang dari rumah sakit, Kan? Bunda mana?" Bina bertanya sambil berdiri dekat pagar.

"Iya baru pulang, Bunda lagi salat heula sebentar."

Bina menganggukkan kepala, menyandarkan tubuh di tembok dekat mesin cuci. "Gimana kata dokter? Kondisi Bunda gak bermasalah, kan?"

Alkan terdiam sesaat. Ia bingung bagaimana cara memberitahu Bina tanpa membuatnya khawatir. Ia menghela nafas dan menyandarkan bahunya di sofa. "Kondisi Bunda teh sebenerna turun karena jarang makan, Bin. Sekalinya makan Bunda langsung makan pedas sama gorengan. Bunda juga sering skip minum obat. Tapi kamu gak usah khawatir kok. Dokter udah kasih peringatan tegas dan juga kasih suplemen makan juga biar nafsu makannya bertambah."

Wajah Bina berubah tegang. Tangannya gemetar tak kuasa menahan gejolak dalam dadanya. Ia merasa dikhianati karena Bunda tak menuruti perkataannya sama sekali. Meskipun Alkan menyuruhnya agar tidak khawatir, Bina tetap tidak bisa menyembunyikannya. "Mana Bundanya? Aku mau ngomong."

Ketika Alkan hendak berucap, Bunda muncul dari arah belakang. "Ini Bina mau ngobrol, Bun." Alkan menyerahkan ponselnya kepada Bunda. Ia kembali duduk.

"Eh si geulis, anak Bunda sudah makan belum? Temen-temen nya pada kemana?" tanya Bunda sembari melambaikan tangannya dengan wajah yang tersenyum. Mendengar pertanyaan Bunda, Bina menyeringaikan bibir. Ia melihat betapa palsunya senyuman yang ditunjukkan Bunda kepadanya.

"Jangan ditanya kalo Bina mah, di sini Bina makan terus. Kondisi Bunda kok bisa turun? Kan Bina sering ingatin buat jaga kesehatan, kenapa Bunda gak dengerin Bina?" Karena kelewat khawatir, Bina menginterogasi Bunda yang hanya terdiam menganga. Siapa yang tidak marah ketika orang yang mati-matian kita jaga malah berbuat seenaknya kepada diri sendiri?

"Maafin Bunda, Nak. Bukannya Bunda gak mau dengar peringatan kamu, tapi Bunda malas makan sendiri. Gak enak," ujar Bunda beriringan dengan senyum yang getir. Hatinya sesak karena lagi-lagi ia membuat anaknya khawatir.

"Kenapa gak bilang ke Bina biar setiap makan Bina temenin? Pokoknya nanti setiap Bunda mau makan, Bunda harus video call Bina. Awas aja kalau Bunda gitu lagi, aku bakal bener-bener marah dan gak mau ngomong sama Bunda." Mendengar percakapan keduanya, Alkan hanya diam. Ia tahu bagaimana jadi Bina yang bekerja untuk membiayai pengobatan Bunda sampai rela berpisah. Namun, ia juga bisa memahami bagaimana kesepiannya Bunda tanpa anak semata wayangnya sehingga membuatnya tak nafsu makan.

"Iya jangan marah-marah atuh. Bunda janji gak bakal kaya gitu lagi."

"Jangan cuma janji ya, tapi ditepati." Lagi-lagi Bina tak memberikan kelonggaran. Ia memasang raut kesal. "Sekarang Bunda udah makan belum?"

"Sudah, Nak. Ditemani Alkan. Ya sudah kamu lanjut istirahat aja ya, Nak. Jangan lupa salat." Bina mengangguk dan tak lupa meminta maaf karena telah memarahi Bunda. Setelah telepon terputus, Bina kembali ke dalam dan berpapasan dengan Dahlia yang sedang mencuci piring di dapur.

"Siapa, Bin? Serius pisan sampai kita gak dibolehin dengar," tanya Dahlia sambil memasang wajah yang terlihat curiga. Biasanya Bina tidak akan pergi menghindar jika sedang mengangkat telepon.

Bina tersenyum canggung, "Bunda, Li. Lagi bahas privasi tadi," jawabnya sebelum ia berlalu meninggalkan Dahlia.

✧⁠✧

Selepas pulang kerja, Bina tampak duduk sembari memainkan ponsel di tepi ranjangnya menunggu giliran untuk mandi. Dahlia juga terlihat sedang mengambil baju di lemari.

"Bina, sebenernya kamu teh ada masalah kan?" tanya Dahlia sembari menyimpan baju di kasur. Bina mengernyitkan dahinya, kebingungan karena Dahlia tiba-tiba bertanya seperti itu.

Dahlia mendudukkan diri di samping Bina. "Maaf pisan aku udah lancang. Tadi waktu nyuci piring aku teh teu sengaja dengar obrolan kamu sama Bunda."

Bina terhenyak tak percaya. Ternyata serapat apapun menyembunyikan sesuatu, lambat laun pasti akan terungkap dengan sendirinya. Akhirnya ia menghela nafas dan menjelaskan semuanya kepada Dahlia, dimulai dari ayahnya yang meninggal di waktu dirinya masih ei bangku SMA, sampai bunda yang terkena sakit jantung setelahnya.

Mendengar penuturan itu Dahlia membelalakkan matanya. Ia tidak percaya jika kehidupan Bina ternyata tidak jauh darinya. Ia tak pernah melihat Bina sedih, tak pernah juga mendengar Bina mengeluh. Baginya Bina adalah perempuan yang selalu memancarkan aura positif dan sering menjadi sandaran untuknya. "Aku iri karena kamu kuat pisan, Bin," ujar Dahlia sedikit bergetar, matanya yang memanas hingga air mata menetes ke pipi. Entah kenapa, perempuan itu menjadi lebih sensitif bila bersangkutan dengan orang tua.

Bina menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lebar. Ia sebenarnya sudah lelah dengan semua masalah yang menderanya. Namun, ucapan Ayah yang sudah menjadi jimat lah yang bisa membuatnya jauh lebih kuat. "Udah jangan nangis dong. Aku gapapa kok." Bina terkekeh sedangkan Dahlia merengek. "Aku yang lagi kena masalah kok kamu yang nangis sih. Liat tuh, idung kamu kaya tomat ceri." Bina tertawa sembari menunjuk hidung Dahlia.

Detik itu Sahara yang baru saja selesai mandi membuka pintu dengan keras. "Hayo ... Aya naon siah ketawa sampe kedenger keluar? Kamu juga li kenapa kaya habis nangis?"

"Itu, kita lagi cerita pengalaman Dahlia waktu SMA. Dia pernah suka sama ketua OSIS. Dan dengan beraninya dia minta tolong temen kakaknya buat nyampein perasaan dia. Dan kamu tau apa? Ternyata temen kakaknya itu pacar si ketua dan udah hubungan selama dua tahun secara diam-diam," jawab Bina spontan karena tidak ingin masalahnya diketahui oleh Sahara. Dahlia membelalakkan mata sedangkan Bina menertawakan ide konyolnya.

"Matakna sebelum bertindak tuh di-research heula, Li." Sahara tertawa lantang lalu menyadari sesuatu. "Eh, ngomongin cowok nih, kok aku gak pernah liat Bina posting cowok di stori-nya yah? Kita juga gak pernah denger tuh dia teleponan sama cowok." Sahara melihat Bina dengan ujung mata dan Bina hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia sudah terjebak dalam situasi yang ia buat sendiri.

"Di sembunyikeun meureun." Dahlia mengompori.

"Eh enggak, ya. Orang aku gak punya pacar."

Sahara yang sedang memakai baju berdecak. "Ah, aku gak percaya. Masa Bina yang cantiknya ciga Karina Aespa gak punya pacar?"

"Kalau gebetan mah punya dong? Kebangetan sih kalo gak punya mah."

Bina mendesah pelan. "Percaya gak percaya gebetan juga aku gak punya." Bina terdiam sejenak, ia berpikir tidak ada salahnya jika ia lebih terbuka kepada mereka sekarang. "Tapi, dulu banget, aku pernah suka sama temenku sendiri. Dan sialnya aku cuma bisa diam aja karena aku takut kalo misal putus, aku bakalan sedikit jaga jarak atau bahkan ngejauh karena canggung. Aku gak mau pertemanan kami rusak gara-gara itu."

Sahara duduk di sampingnya lalu menatapnya penasaran. "Sampai sekarang kamu masih suka?"

Bina menggelengkan kepala tapi raut wajahnya menunjukkan keraguan. "Dia udah punya pacar, jadi ya aku berusaha buat berhenti."

"Deudeuh teuing, Anaking." Dahlia mengusap kepala Bina sembari mengerucutkan bibirnya.

"Gapapa, Bin! Kalo emang nanti jodoh, pasti bakal bersatu gimana caranya juga. Tapi kalo enggak ya semoga nanti Tuhan kasih Lee Jeno sebagai gantinya." Mereka bertiga pun tertawa.

To Bloom Again [NEW VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang