Bab. 3

15 5 0
                                    

Setelah makan ronde, Bina dan Alkan keluar sejenak untuk jalan-jalan menyusuri Jalan Braga. Berbagai jenis aksesoris, oleh-oleh, kafe dan restoran khas Bandung tersedia di sini. Selain wisata belanja, Jalan Braga juga dihiasi oleh arsitektur Bangunan-bangunan peninggalan zaman penjajahan Belanda, maka dari itu tak heran jika banyak orang yang sengaja datang ke sini di siang atau malam hari hanya untuk sekadar cuci mata atau berswafoto.

Di sela-sela perjalanannya Alkan sesekali menunjuk pemandangan lucu di sana, mereka berdua juga menertawakan salah satu orang yang mengenakan kostum valak, tapi riasannya malah terlihat seperti riasan ibu-ibu pengajian di lingkungannya. Berjalan lebih jauh lagi, mereka memandangi dinding yang dipenuhi oleh lukisan-lukisan indah karya seniman jalanan, mata Alkan pun akhirnya tak sengaja tertuju pada seorang pria paruh baya yang berjualan aksesoris di sampingnya.

Wajah pria itu terlihat begitu murung, tidak ada satu orang pun yang sedang ia layani. Karena hati kecil Alkan merasa terketuk, ia pun mengajak Bina menghampiri pria itu. Membeli dagangan satu atau dua buah tidak akan membuatnya rugi, malah akan membuat pria itu kembali bersemangat, begitu pikir Alkan. Benar saja, Ketika keduanya datang, pria tersebut menyambutnya dengan antusias. Matanya berbinar-binar dan senyumnya terbentuk sempurna.

"Bapak ieu teh gelangna bikin nyalira?" Alkan bertanya —apakah gelang itu buatan sendiri—sembari menunjuk beberapa kotak kecil berisi berbagai macam gelang, di mulai dari gelang senar, gelang manik-manik, gelang kayu dan banyak lagi. Pria itu menjelaskan jika gelangnya itu diambil dari orang lain. Ia mengangguk paham. "Kamu mau yang mana?"

Bina mengetuk-ngetuk telunjuk di dagunya dengan mata yang tidak berhenti mencari. "Mana ya aku bingung, di rumah juga udah banyak sih."

"Gapapa, pilih we. Aku yang bayarin." Mendengar itu Bina tertarik mengambil dua buah gelang manik-manik putih yang terdapat ornamen bunga berwarna merah jambu.

"Kalo yang ini cocok gak yah buat Arsha?" Alkan menunjukkan gelang imitasi perak dengan gantungan huruf A di sana. Bina melihat sebentar lalu mengangguk sebagai jawaban. Begitu gelang pilihan keduanya terkumpul, Alkan akhirnya merogoh dompet dari saku celana dan mengeluarkan satu lembar uang lima puluh ribu.

Pria itu memberikan gelang-gelang yang sudah dibungkus kantong plastik kecil dan juga uang kembaliannya.

"Buat bapak aja."

Cepat-cepat pria itu menggelengkan kepala dan memberikan uang itu untuk Alkan. "Gak boleh, Jang, ah. Hatur nuhun pisan." Ia berterima kasih.

"Eh, teu nanaon kanggo jajan si adek di rumah, Pak." Alkan menggelengkan kepala dan berkata—tidak apa-apa, untuk jajan si Adek di rumah.

Bapak itu terdiam sejenak. Ia mengingat jika anaknya tadi merengek minta dibelikan ayam krispi sepulang jualan. "Tapi, Jang. Ieu teh seueur teuing," elaknya dengan alasan kebanyakan.

Karena geram pemberiannya ditolak, Alkan pun menaruh uang di saku baju pria itu lalu berlari menjauh. Hal itu jelas membuat pria itu kebingungan dan Bina terkikik geli sekaligus tidak menyangka Alkan akan seperti itu.

"Neng atuh ...." pria itu memelas.

Bina tersenyum. "Gak boleh nolak, Pak. Mungkin itu rezeki Bapak meskipun dikasih lewat orang yang agak gelo dikit." Bina menyilangkan telunjuknya di dahi membuat pria itu tertawa renyah. "Yaudah saya duluan ya, Pak."

"Nuhun pisan atuh nya, Neng. Mugia Neng sareng si Ujangnya langgeng terus," Pria itu berterima kasih lalu mendoakan Bina dan Alkan agar langgeng selalu.

Bina mengangguk sambil tersenyum hangat lalu meninggalkan laki-laki itu dengan berlari kecil ke arah Alkan. Ia mendesis dan menggerutu sudah ditinggalkan ketika berhasil menyusul Alkan.

To Bloom Again [NEW VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang