Bab. 5

15 2 0
                                    

Setelah berpamitan dengan Bunda yang penuh derai air mata, saat ini Bina sudah sampai di kota Garut. Ia melihat sekeliling, membau, dan merasakan suasana yang amat asing. Kemudian di teras kantor, ia mendapati seorang perempuan berpenampilan anggun, berbalut rok merah jambu bermotif bunga dan kemeja putih, serta pasmina berwarna senada yang terlilit di kepala sedang berdiri sembari memainkan ponselnya. Perempuan itu diperkirakan berumur 26 tahun tapi masih terlihat gemas dengan pembawaannya yang ramah. Bina menghampirinya bersama Pak Arman yang membantu membawakan tas kecilnya. Ia menyapa dengan ramah.

“Eh. Kamu teh Bina yang dari Bandung yah?” sambut wanita itu semringah sambil menjabat tangannya. Bina menjawab sambil tersenyum kecil kendati jantungnya berdegup kencang. Ia sungguh tidak terbiasa dengan orang dan lingkungan baru seperti ini.

“Kenalkeun, Aku Nadia, koordinator staf di sini. Eh iyah jangan panggil aku Ibu nya, panggil Teh Nad wae.” Nadia terkekeh sejenak dan Bina tersenyum canggung. “Ya udah yuk, kita ke mes heula buat simpan barang-barang kamu.”

Bina mengalihkan pandangannya kepada Pak Arman dan laki-laki itu mengangguk paham. “Terima kasih ya Pak udah antar saya.”

Pak Arman tersenyum lebar. “Kalau begitu saya langsung pulang ya, Neng. Semoga betah dan dapat jodoh di sini,” candanya mencoba menenangkan Bina yang sorot matanya masih tampak gugup. Bina terkekeh pelan, jangankan mendapat jodoh di sini. Dirinya saja masih ragu apakah bisa bertahan di tempat yang asing ini atau tidak. Namun, semoga saja bisa.

Setelah Pak Arman menjauh, Nadia mengambil alih tas kecil Bina yang ada di lantai. Melihat aksi Nadia, Bina terbelalak lalu berusaha meraih tasnya. “Eh, Teh gak usah. Aku aja.” Nadia berkata tidak apa-apa dan bersikeras membawakan tas Bina. Akhirnya Bina hanya pasrah tapi tetap merasa tidak enak karena tidak biasa diperlakukan seperti itu di kantor lamanya.

Sesampainya di mes, Nadia memberitahunya kalau mes ini terdapat dua kamar tidur yang masing-masingnya cukup untuk tiga orang, di bagian belakang terdapat tiga kamar mandi berjejer, dapur kecil serta fasilitasnya, dan juga tempat jemur baju di bagian paling belakang. Tak lupa juga Nadia memberitahu tentang peraturan-peraturan yang harus Bina patuhi di sini.

“Nah ieu kamar kamu bertiga sama Sahara dan Dahlia. Sekarang kita langsung ka atas we nya, tasnya simpen di dalam we.” Nadia membukakan salah satu pintu kamar mempersilakan Bina masuk. Bina menaruh kedua tasnya di samping lemari lalu ke lantai atas di mana kantor itu berada. Lagi-lagi Bina gugup ketika hendak memasuki ruang staf, tangannya mendadak dingin dan basah, serta jantungnya yang kembali berdetak cepat hingga terasa ngilu di dadanya.

“Hallo ... Daks, Minta waktunya bentar boleh yah.” Nadia berseru membuat semua orang menatap keduanya. Bina menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokannya yang tercekat.

“Euleuh masyaallahh si Teh Nad dikawal sama bidadari.” Pemuda berambut ikal dan berbadan gempal berdecak kagum, sontak membuat orang-orang riuh menyorakinya. Bina memang secantik itu sampai-sampai orang kerap menganggapnya sebagai tokoh anime yang keluar dari film.

“Caper siah kanu geulis mah!” cibir Dahlia—perempuan berambut panjang berwarna cokelat. Ia menyebutkan jika pemuda itu mencari perhatian kepada perempuan cantik.

“Ya iyah atuh, bosan liat kamu terus. Eh kenalin bisa meureun, Teh,” pinta Ojan sambil mengedipkan matanya sebelah. Mendengar permintaan Ojan, Nadia terkekeh geli lalu menyuruh Bina untuk memperkenalkan dirinya.

Bina menegak ludah dan menatap ragu orang-orang yang sekarang menunggunya. “Ha-hai semuanya, aku Tsabina Mahyra. Mohon bimbingannya, ya.”

“Ah, jangankan bimbing kamu, Neng. Jadi imam keluarga kecil kamu wae ku Aa mah disanggupan.” Lagi-lagi Ojan menggodanya secara terang-terangan membuat wajahnya kembali bersemu merah. Orang-orang kembali menyoraki Ojan, sedangkan Nadia hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Namun, di tengah kegaduhan itu, Bina menyadari ada satu orang laki-laki berkulit tan dengan kemeja hitam yang lengannya tergulung sesiku tidak bereaksi apa pun. Laki-laki itu hanya diam, menyilangkan tangan di dada, dan memandangnya dengan wajah yang datar. Buru-buru ia mengalihkan pandangan.

“Selamat gabung nya, Bina. Semoga betah kerja didieu. Si Ojan mah anggap we si Bagas gunung Cikuray,” celetuk Sahara— perempuan tomboi berambut pendek ala-ala Korea disambut tawa lainnya. Bagaimana tidak, Bagas Cikuray adalah seekor babi yang terkenal sekali di kalangan pendaki gunung.

“Nah, ayeuna mah urang lanjut kerja nya. Kalo ada yang mau ditanyain atau mau kenalan lagi nanti abis istirahat. Bina sok gera duduk di tengah-tengah Dahlia sama Sahara nya.” Bina melihat kedua perempuan yang Nadia sebut sedang melambaikan tangannya dengan antusias dan ...  laki-laki berwajah datar di seberangnya. Bina menggerutu dalam hati, Kenapa aku harus berhadapan dengannya, Ya Allah? tapi karena tak ingin merusak suasana, Bina menarik nafas panjang dan berjalan ke arah Dahlia dan Sahara sambil tersenyum. Mereka pun menyempatkan diri untuk saling bersalaman.

Baik, ini adalah sebuah awalan yang cukup menyenangkan. Menurut Bina suasana di sini berbeda jauh dengan di Bandung. Rekan-rekannya di sini terlihat suka bercanda dan harmonis. Sahara dan Dahlia pun sepertinya akan cocok berteman dengannya, kecuali laki-laki tembok itu. Namun meskipun begitu, ia amat bersyukur dapat bergabung bersama mereka.

✧✧

Setelah memasuki waktu istirahat, Ojan menghampiri Bina dan merangkul bahunya. “Neng, makan siang bareng Aa yuk, sekalian kita kenalan lagi,” katanya nada yang centil mendayu-dayu membuat Bina tersentak.

“Eh Otan, tangannya tuh! Teu sopan!” Dahlia menegur sambil berkacak pinggang. Ia malu karena baru sehari saha Ojan sudah memlerlakukan Bina seperti itu.

“Ye, naon sih Li orang ajak makan siang hungkul. Iyah kan, Neng?” Ojan melirik Bina sembari melepaskan rangkulannya lalu mengedipkan sebelah mata. Bina tersenyum sumir melihat Ojan yang seperti itu. Meskipun Bina tahu alasan Ojan itu hanya sekadar ingin berteman, tapi ia tetap saja merasa risi karena notabenenya mereka baru saja kenal.

“Enya makan siang hungkul, tapi pulang makan si Bina jadi sawan gara-gara kamu,” ujar Sahara membuat Dahlia tertawa dan Ojan hanya mendengus kesal.

Enggeus kaditu ah, ngaganggu wae!” usir Dahlia dengan sinis. Ia mendorong tubuh Ojan agar menjauh dari Bina.

“Yah anjir bener-bener diusir. Neng Bina wae gak keberatan." Ojan terlihat tersinggung. Matanya terlihat sayu namun tatapannya tajam.

“Bu-bukan gitu, aku cuma gak biasa aja bergaul sama cowok baru.” Bina terbata-bata takut jika penolakannya tak sengaja menyakiti Ojan.

“Gapapa, Neng. Waktu masih panjang, Ojan bakal cari cara buat deketin Neng biar gak takut. Ya udah, Ra, Li, pangjagakeun Ayangnya Ojan yah. Ulah sampai lecet apalagi sampai minta pulang deui ke Bandung.” Ojan pergi berlalu menghampiri seorang laki-laki di seberang Bina. Sahara dan Dahlia berdecap. Memangnya mereka akan merundung Bina sampai-sampai Ojan memberikan wejangan seperti itu?

Di perjalanan menuju kantin, mereka berjalan sembari mengobrol ringan. Dahlia dan Sahara pun tak lupa memperkenalkan lingkungan di sana. “Ra, yang disamperi Ojan tadi namanya siapa?” tanya Bina dengan ragu-ragu.

Sahara menoleh ke arahnya sejenak. “Dia teh Kak Naufal, keponakan Pak Agung, kepala cabang di sini. Dia udah tiga tahun kerja tapi hampir semua perempuan gak suka gara-gara mukanya judes pisan. Dia teh angkuh terus ngerasa pang-okena sendiri. Matakna, temennya teh cuma si Ojan.”

Kunaon emang? Kamu suka nya, Bin? Duh, ulah sampe deh,” selidik Dahlia sambil mengibaskan tangan.

Bina menggelengkan kepala dengan cepat. “Eh, bukan, aku cuma aneh aja, soalnya dia kaya gak suka sama aku.”

Sahara menghela nafas, ia juga jengah mengingat setiap tatapan yang sering diterima dari laki-laki itu. “Anggap aja dia si Bagas penunggu gunung Cikuray yang asli, si Ojan mah kawe duana,” sarannya sambil tertawa.

To Bloom Again [NEW VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang