Bab. 9,5

18 2 0
                                    


Halooo apa kabar?
Kali ini aku menyampaikan kalau di bab 9.5 mengandung trigger warning. Untuk yang enggan membaca, boleh tidak membaca, ya.

Enjoy your day

✧⁠◝⁠(⁠⁰⁠▿⁠⁰⁠)⁠◜⁠✧

Keesokan harinya di jam enam pagi, Bina mendadak dapat kabar bahwa ia telah diizinkan untuk mengundurkan diri, ia pun segera mengemas pakaian dengan asal dan pamit sekadarnya saja. Tidak peduli di luar sedang mendung, ia berangkat meninggalkan kota Garut dengan hati yang tak berhenti gelisah.

Ketika sampai di terminal tujuan, seperti biasa Bina membuka ponsel dan memesan ojek Online. Meminta Alkan untuk menjemput rasanya akan merepotkan karena Alkan sedang bimbingan di kampusnya.

Berselang lima menit, seorang pria berusia sekitar 35 tahun datang memakai setelan khas dengan helm berwarna hijau. Wajahnya terlihat kusam dan matanya sedikit merah sayu. Mungkin akibat terpapar angin saat berkendara, pikir Bina.

“Neng, Bina, ya? Ayo naik.” Ia menyodorkan helm dan menunggu Bina memakainya.

Setelah beberapa menit perjalanan, awan di langit Bandung yang sama kelabunya dengan Garut tiba-tiba menurunkan beban dengan lebatnya. Driver itu meminta izin kepada Bina untuk menepi karena tidak membawa jas hujan. Bina pun menyetujui dan akhirnya mereka berhenti di salah satu ruko terdekat.

Bina yang selalu peduli dengan kebersihan meringis ngeri saat melihat sekeliling. Ruko itu kumuh tidak terawat, banyak coretan-coretan tidak jelas di dinding, sebagian langit-langit sudah bolong, bahkan beberapa toko juga sudah terbuka karena rolling doornya rusak. Lingkungan di sekitarnya pun terasa sepi karena jarak antar rumah warga berjauhan. Bina berpikir mungkin itu salah satu alasan kenapa ruko itu terbengkalai meskipun letaknya berada di pinggir jalan raya.

Pegal karena berdiri, Bina menyandarkan dirinya di pilar sembari memandang jalanan yang kian menggelap karena rinai hujan. Kilatan cahaya juga beberapa kali menyambar di langit membuatnya sedikit merasa tersentak. Ia memeluk tubuhnya sendiri dan berkali-kali mengusap-usap lengannya meskipun sudah memakai sweter besar dan tebal karena angin berembus dan menusuk kulitnya dengan tajam.

Laki-laki itu memandang Bina. “Neng, dingin ya? Kita masuk aja yuk, kayanya toko di belakang bisa ditempati. Lumayan biar gak terlalu kena angin.” Ia menunjuk salah satu toko terbuka, tapi Bina menolaknya dengan senyuman.

“Gapapa, Pak. Saya di sini aja. Kalau Bapak mau ke dalam, silakan aja.” 

“Eh, ayo, Neng. Kasihan nanti masuk angin.” Laki-laki itu berusaha menggenggam tangan Bina sambil tersenyum, tapi Bina menghindar. Entah kenapa, ia mulai memiliki prasangka buruk terhadap laki-laki itu.

“Ayolah, Neng. Bantu saya menghangatkan badan.”

Bina tersentak. Kali ini laki-laki itu mulai kurang ajar. Perkataannya yang mendayu-dayu mulai terdengar melecehkan. “Tolong dijaga ya, Pak ucapannya,” ujar Bina dengan nada yang berat sembari mundur perlahan.

“Dijaga apanya sih, Neng? Saya Cuma minta kamu buat menghangatkan badan saya.” laki-laki itu mendekati Bina kembali dan mulai berani mencolek dagunya dengan tangannya yang dingin.

Bina menepis dan menatap nyalang. “Tolong jangan macem-macem ya, Pak. Atau saya akan teriak,” ancam Bina dengan nafas yang tersengal-sengal.

“Gak usah khawatir, Neng. Satu macem aja kok. Habisan kamu cantik banget sih. Sayang kalau gak dipakai.” Laki-laki itu tersenyum sembari menggerakkan alisnya naik turun.

“Apa sih, Pak. Jangan dekat-dekat saya.” Bina berjalan mundur dengan degup jantung yang kencang, tapi laki-laki itu mencekal pergelangan tangan Bina dengan cepat. Bina merintih sembari memberontak karena pergelangan tangannya terasa sakit.

“Tolong lepas!” Bina menahan bobot tubuhnya agar tidak terseret, tapi karena tenaganya tidak sebanding dengan laki-laki itu, sangat sulit untuknya untuk lepas. Saat Bina ditarik, refleks ia menggigit tangan laki-laki itu hingga berteriak lalu berlari secepat mungkin meskipun langkahnya terasa berat dengan tangan yang sibuk mencari kontak Alkan di ponselnya. Nahas, ia malah terpeleset karena menginjak genangan air di lantai. Ketika Bina hendak mengambil ponselnya yang tergeletak di lantai, ia terkejut karena ponselnya tiba-tiba terlempar akibat tendangan laki-laki itu.

“Udah bisa kabur sekarang ya?” laki-laki itu menjambak rambut Bina dan menyeretnya ke arah toko yang terbuka. Bina berteriak sekaligus menangis memegangi rambutnya yang terasa akan lepas dari kulit kepala.

“Sakit, Pak ... Tolong lepasin saya!”

“Diam kamu!” Laki-laki itu menarik Bina lebih kuat.

“Tolong ....” Bina berteriak kencang melihat ada orang melintas menggunakan motor dengan lambat. Namun, ternyata Tuhan belum berbelas kasih. Suaranya teredam oleh bisingnya hujan hingga orang tadi bablas menerjang hujan.

“Gak usah teriak! Ga ada yang bisa nolongin kamu!” Laki-laki itu mendorong Bina hingga tersungkur di lantai yang dingin nan kotor.

“Kamu mau apa? Jangan sentuh saya.” Bina beringsut mundur sambil menatapnya tajam. Sekujur tubuhnya gemetar hebat dengan keringat bercucuran di segala bagian. Namun, semakin jauh ia mundur, punggungnya malah terantup dinding membuat laki-laki itu tertawa.

“Gak usah capek-capek menghindar, hari ini kamu cuma milik saya,” ucap laki-laki itu dengan nada melunak sembari berjongkok dan membelai wajah Bina yang lembut.

Karena merasa jijik wajahnya disentuh, Bina meludahi wajah laki-laki dengan mata yang menyiratkan kebencian. Namun nahas, laki-laki itu malah semakin murka. Wajah Bina dipukul habis-habisan hingga pipinya terasa nyeri dan mulutnya asin karena darah yang keluar dari sudut bibir.

“Ampun. Hentikan! Jangan sakiti saya lagi,” rintih Bina dengan tangis yang terdengar sangat nelangsa. Laki-laki itu tidak peduli. Ia terus mendekat ke wajah Bina dan tangannya berbuat semakin jauh dengan kasarnya.

Tidak lagi kuasa melawan, Bina hanya bisa memalingkan kepalanya karena tidak tahan dengan bau alkohol dan rokok yang terembus dari mulut laki-laki itu. Ia pasrah. Baginya bertemu dengan Bunda dalam keadaan hidup adalah hal terpenting. Persetan dengan tubuhnya yang saat ini sudah kotor dan penuh luka akibat peristiwa ini. Luka yang entah akan ia terima atau ia tolak, bahkan luka yang entah akan sembuh atau selamanya membuatnya merasa rendah diri.

Di sisa kesadarannya yang mulai menipis dan tenaganya sudah melemah, Bina mencoba merangkak keluar sembari menatap laki-laki biadab itu melempar tas miliknya ke halaman toko dan pergi semakin menjauh. Batinnya tak berhenti menyumpahinya agar hidup laki-laki itu tidak tenang dan hancur lebih dari ini.

To Bloom Again [NEW VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang