Pagi harinya, Sena berangkat sekolah seperti biasa. Bahkan, ia sudah melupakan kejadian semalam dimana dirinya membentak Arkan. Sebenarnya, bukan itu kemauannya. Tetapi, ia hanya sedang berusaha untuk melindungi dirinya sendiri.
Tak jarang teman-temannya dulu berteman dengannya karena penasaran dengan kehidupan Sena yang sesungguhnya. Memang benar jika ayahnya meninggalkan ia dan ibunya lalu menikah dengan orang lain. Tapi bagi Sena, itu bukanlah cerita yang menarik untuk diceritakan kepada orang lain. Jadi, ia cenderung menutup diri menjadi seorang yang pendiam.
"Bu, ada yang mau Sena ceritakan", ucap Sena setibanya di meja makan.
"Ada apa nak?", tanya Bu Amara sambil menyendok kan nasi untuk putrinya.
"Tapi ibu janji jangan marah ya", peringat Sena. Ibunya hanya mengangguk dengan wajah penasaran.
"Sebenernya....aku kerja paruh waktu di cafe-nya kak Dewa Bu", Sena mengawali ceritanya.
"Aku udah kerja paruh waktu disana dari kelas 9 semester ganjil Bu. Maaf nggak izin sama ibu, pasti nanti ibu marah kalau aku bilang kerja paruh waktu. Dan juga, pas malem-malem aku dianter Arkan pulang, itu karena kebetulan Arkan lihat aku dihadang preman. Jadi, Arkan nolongin aku sekalian nganter ke rumah", lanjut Sena panjang lebar.
Bu Amara hanya diam memperhatikan putrinya yang menjelaskan tentang keadaannya. Ia merasa gagal menjadi seorang ibu. Tanpa terasa, air matanya menetes perlahan.
"Ibu kok nangis? Ibu kecewa banget ya sama aku?", tanya Sena sambil beranjak memeluk ibunya.
"Ya ampun Sena..maafin ibu ya nak. Gara-gara ibu kamu jadi harus kerja paruh waktu. Dari kamu SMP pula. Ibu gagal jadi ibu yang baik nak, maafin ibu ya", tangis ibu Sena sesenggukan.
"Nggak Bu. Ini semua bukan salah ibu, ini keputusan Sena dari awal buat bisa bantu-bantu ibu. Jadi, ibu nggak perlu ngerasa bersalah ya", ujar Sena mencoba menenangkan ibunya.
"Tapi, waktu belajar kamu nggak terganggu kan, Na?", tanya Bu Amara.
"Enggak kok Bu. Sekolah aku aman-aman aja", sahut Sena tersenyum menenangkan.
Setelah ibunya tenang, Sena melepaskan pelukannya. Menatap ibunya sambil mengusap jejak air mata di wajah beliau.
"Apa kamu nggak resign aja, Na? Ibu bisa kok memenuhi kebutuhan kamu", Bu amara masih menanyakan tentang kerja paruh waktunya.
Sena menggelengkan kepalanya.
"Nggak usah Bu. Kan aku udah gede, harus bisa memenuhi kebutuhan aku dong. Gapapa ya Bu aku kerja paruh waktu?", bujuk Sena mencoba agar ibunya mengerti.
Bu Amara yang tahu kalau Sena sangat keras kepala, akhirnya mengizinkan putri semata wayangnya untuk kerja paruh waktu. Tentu saja dengan syarat tidak boleh pulang terlalu malam. Toh dipikir Sena ini bekerja di tempat keponakan jauhnya juga. Pastinya Sena akan aman-aman saja.
"Yaudah, aku berangkat ya Bu. Nanti pulangnya agak malam soalnya ada kumpul musik dulu", pamit Sena sekaligus meminta izin.
"Iya nak, hati-hati di jalan ya", pesan Bu Amara.
Sena mengangguk mengerti. Menyalimi tangan ibunya dan berangkat menuju sekolah. Untuk hari ini, sepertinya ia beruntung. Baru keluar dari gang, sudah ada angkot yang menunggunya. Langsung saja Sena menaiki angkot tersebut.
Perjalanan hanya memakan waktu 15 menit. Sena tidak terlambat dan masih ada kelonggaran waktu. Sena menapaki tangga koridor kelasnya dan berjalan santai memakai seragam olahraganya. Hari ini jam pertama kelas XI MIPA 2 adalah olahraga. Gurunya laki-laki bernama pak Handoyo. Galak? Tidak juga. Tapi, beliau memang tegas. Tidak pelit dalam memberi nilai namun anak-anak harus menuruti apa perintah yang beliau sampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA SENA [END]
Teen FictionSena Putri Renjana, gadis pendiam dari SMA Garuda. Takdir menggariskan ia untuk bertemu dengan laki-laki Badung dan freak bernama Arkan Eliano Hartas, cucu pemilik sekolah mereka. "Lagi ngintip apa lo?", tanya Arkan dari arah belakang. Bagai adega...