"Cinta itu seperti kue, kita temui rasa pahit yang menguatkan dan manis yang menghibur. Setiap gigitan adalah bagian dari cerita unik yang kita bangun."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.○Bitter sweet○
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Jam menunjukkan pukul enam pagi. Setelah mencium punggung tangan ayah, aku berjalan memasuki gerbang sekolah. Aku tidak bisa berhenti tersenyum saat mengingat mimpi tadi pagi. Andai mimpi tu menjadi kenyataan, pasti akan sangat membahagiakan. Sayangnya itu hanya mimpi; ketika aku terbangun, semua sirna.
Di dunia nyata, jangankan menyapa, berhadapan langsung dengan Dimas saja, tak pernah. Padahal kita hampir lulus, namun aku sama sekali tidak pernah berusaha mendekat pada Dimas.
Sebenarnya Dimas bukanlah siswa yang populer di sekolah sampai dikagumi oleh banyak gadis. Ia hanya siswa biasa, kelewat biasa malah. Teman-temanku selalu mengatakan otakku bermasalah hingga menyukai laki-laki seperti Dimas. Bagi mereka mungkin Dimas terlihat biasa saja, tapi bagiku, dia sangat istimewa.
Aku menyukai Dimas, karena ia orang yang ramah. Aku melihatnya dari caranya berbicara dengan guru dan teman-temannya. Dimas juga punya rasa peduli tinggi; sering kulihatnya memberi makan kucing-kucing liar di sekitar sekolah. Bagiku, Dimas sudah hampir mendekati sempurna, dari sifat dan parasnya.
Aku terlarut dalam pikiran tentang Dimas dan baru menyadari bahwa aku berjalan ke arah gazebo, tempat Dimas duduk setiap pagi. Segera kuhentikan langkahku saat melihat Dimas yang duduk di gazebo. Seperti biasa, pasti dia sedang menggunakan WiFi sekolah. Ya, Dimas adalah murid yang rajin datang pagi hanya untuk menikmati WiFi sekolah. Entah untuk apa ia menggunakan WiFi sepagi ini, tapi aku memang selalu melihatnya di sana setiap pagi. Kadang aku berfikir, mungkin saja itu tidak memiliki kuota internet. Mungkin saja kan?
Sebenarnya jarak gazebo dan tempatku berdiri cukup jauh, tapi mataku sangat hafal pada tubuh pemuda itu, jadi sangat muda mengenalinya, meski keramaian sekalipun.
Aku kembali melangkah dan memilih jalan memutar supaya tidak lewat di depan Dimas. Padahal jika ia tetap lurus, aku akan cepat sampai di kelas. Aku masih mengasihani jantungku, bisa-bisa aku pingsan saat terlalu dekat dengan pemuda itu. Ah, tidak, aku hanya bercanda. Aku hanya takut salah tingkah saja di depan Dimas.
Kelasku sudah sangat dekat, tinggal beberapa langkah lagi. Namun, aku kembali terhenti saat mendengar suara Dimas yang memanggilku. Aku memutar balik tubuhku dan melihat Dimas sudah mendekat ke arahku. Sepertinya pemuda itu tadi ada gazebo, cepat sekali ia sampai di sini. Apa aku terlalu lambat? Sepertinya tidak, langkahnya saja yang cepat.
"Hei, kamu 12 IPA 1 kan?" Dimas mengulangi pertanyaannya saat ia berhenti di hadapanku.
Aku mengangguk. Berusaha menghindari pandangannya. Di saat seperti ini jantungku berpacu dengan cepat, aku harap Dimas tidak mendengar suara detak jantungku.
Kulihat ia menyodorkan sebuah surat padaku. Surat apa itu? Pernyataan perasaannya? Tanganku gemetar saat mengambil surat itu. Yaampun, kenapa tubuhku ini? Aku harus tenang. Aku tidak ingin membuat kesalahan di depan Dimas.
"Kau sakit?"
Aku menggeleng pelan. Sepertinya Dimas menyadari tanganku yang gemetar. Aku benar-benar harus tenang sekarang.
"Aku harap kau tidak sakit seperti Deni. Oh, iya, itu surat sakit milik Deni. Dia dari kelasmu bukan?"
Aku kembali mengangguk pelan. Rasanya kecewa sekaligus malu saat mengetahui surat itu bukan surat cinta, tapi surat sakit milik teman sekelasku. Astaga, aku ini selalu saja berharap terlalu tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter Sweet [END]
Humor[Lanjutan dari KUTUKAN] Peristiwa tidak terduga membawa Lia dan Dimas bersama di antara sentuhan manis dan pahit cinta. Toko kue menjadi saksi bisu perasaan tumbuh di antara mereka, keputusan tragis dan rahasia yang terungkap membentuk jalan yang ti...