4

15 1 0
                                    

Langkah kakiku terasa ringan saat berjalan di koridor sekolah. Pikiran tentang pulang bersama Dimas semalam, melayang-layang di kepalaku. Saat Dimas mengantarku pulang gerimis membasahi tubuh kami. Rasanya romantis, setidaknya menurutku. Jika saja moment itu di isi dengan pembicaraan yang membahagiakan, pasti akan terasa lebih manis, sayangnya Dimas berbicara hanya untuk menanyakan arah.

Aku masih tidak menyangkah bisa sedekat ini. Padahal beberapa hari sebelumnya tidak ada perkembangan sama sekali, seperti tidak ada harapan jika aku tidak maju. Mungkin nanti aku bisa sedikit sombong pada Tasya karena ia sering meremehkanku.

Berbicara tentang Dimas, aku masih belum berani menyapanya saat melihatnya di gazebo tadi. Akupun masih mengambil jalan memutar. Tak apa, semua harus dilakukan dengan perlahan. Tidak perlu buru-buru.

"Hai Lia, masih mengambil jalan memutar?" Tasya tiba-tiba datang dan merangkulku. Dia pasti mau mengejekku lagi. Apa aku harus mengatakan semuanya padanya? Ah, tunggu dulu, aku ingin membuatnya benar-benar terkejut.

"Ya, mau bagaimana lagi."

Tasya tertawa. Seperti hari-hari biasanya, ia mengejekku sebelum akhirnya memberi petunjuk tentang cara dekat dengan Dimas. Andaikan dia tahu, aku sudah dekat dengan Dimas tanpa saran darinya. Dia pasti tidak akan percaya dengan ini.

Sepanjang perjalanan aku terus mendengarkan Tasya. Gadis itu seperti tidak pernah kehabisan energi untuk berbicara. Tak hanya tentang Dimas, banyak topik lain yang ia bahas. Kucing tetangganya yang baru saja melahirkan pun ia bahas.

"Jadinya siapa namanya?" tanyaku saat kami sudah sampai di depan pintu kelas. Kami masih dalam pembahasan nama kucing tetangga Tasya.

Dia melangkah masuk terlebih dahulu dan sempat menyapa beberapa siswa yang sudah datang. Ia kemudian baru menjawabku. "Awalnya di beri nama Kajol dan Khan, tapi anak tetanggaku menangis tidak setuju, akhirnya kucing itu di beri nama..." Tasya tiba-tiba tertawa, ia memang seperti itu jika menceritakan hal yang lucu. Tawanya baru reda setelah beberapa saat. Ia mengusap air mata di sudut matanya. Ia berusaha melanjutkan ceritanya sambil menahan tawa. "Namanya Bakso dan Cilok." Tawa Tasya kembali pecah.

Aku hanya tersenyum kecil. Ceritanya tidak lagi lucu bagiku, karena Tasya telah tertawa lebih dulu. Seperti ada yang berbeda saja, atau mungkin aku yang tidak memiliki selera humor?

"Ada cerita lucu apa?" Alina yang baru saja datang, langsung bergabung dengan kami.

"Kucing tetangganya diberi nama Bakso dan Cilok."

Alina langsung tertawa dan Tasya juga kembali tertawa, bahkan sampai memukul meja. Selucu itukah? Hanya Bakso dan Cilok, apa mereka tidak tahu ada kucing bernama Oreo di aplikasi Tiktik.

"Ada murid baru ya?" Aku mencoba mengalihkan topik dari Bakso Cilok. Kulihat mereka menatapku dengan sisa tawa mereka.

"Murid baru?" Alina terlihat penasaran.

"Kemarin aku melihatnya seperti sedang kehilangan sesuatu saat akan pulang." Kali ini aku tidak mengada-ada hanya untuk mengalihkan topik. Aku memang benar melihatnya saat akan pulang kemarin. Wajahnya memang tidak asing, tapi aku yakin pemuda itu bukan murid sekolahku.

"Oh, mungkin maksudmu Chandra. Dia sudah hampir seminggu bersekolah di sini. Dia sekelas dengan sepupumu, Khanza....Eh, sebentar." Tasya menatapku dengan tajam. "Jadi kau tidak mendengarkan penjelasanku waktu itu? Aku sudah menceritakan padamu sampai rahangku hampir lepas, tapi kau melupakannya begitu saja?!" Tasya terlihat menyeramkan saat seperti ini.

Seingatku dia tidak menceritakan tentang anak baru. Ah, tidak, ia sepertinya memang menceritakannya beberapa hari yang lalu. Dia benar, dia tidak berhenti menceritakan anak itu, pagi, istirahat, pulang sekolah, bahkan saat mampir ke toko ibu ia masih sempat membicarakannya. Pantas jika rahangnya hampir lepas.

Bitter Sweet [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang