"Yang ini mbak, tokonya?"
Aku menoleh ke luar dan melihat toko ibu yang hampir tutup, beberapa pegawainya sudah menunggu di luar. "Iya pak." Aku keluar dari mobil dan mengucapkan terimakasih. Tadi aku memang meminta di antarkan ke toko ibu yang jaraknya lebih dekat dari rumah Aksa. Melihat masih ada pegawai, pasti ibu juga masih ada di dalam.
Aku berjalan mendekat ke arah tokoh. Mbak Ana, mas Riski, dan mas Angga memperhatikanku.
"Kamu di antar siapa Li, kok naik mobil?" tanya mbak Ana.
"Supir temanku," jawabku seadanya. "Ibu masih di dalam mbak?"
"Ibu sudah pulang tadi, ada saudaramu yang datang katanya. Ibu menyuruhku membawa kuncinya, karena ada kamu, jadi kuncinya aku serahkan ke kamu saja ya."
Aku mengangguk. "Kenapa belum di kunci?"
"Ah, Dimas masih di dalam katanya ada yang ketinggalan, tapi sejak tadi belum juga keluar," jawab mas Angga.
"Jangan-jangan dia bertemu dengan penunggu toko," timpal mas Riski sambil tertawa.
"Hush." Aku berjalan masuk setelah memperingatkan mereka. Karena perkataan mas Angga, aku jadi teringat kalau aku meninggalkan beberapa barangku di toko. Aku harus segera mengambilnya.
Suasana toko tampak sepi, mas Angga bilang Dimas di dalam, tapi kenapa tidak ada suara. Aku terus berjalan perlahan, langkahku yang terdengar seperti gema di ruangan yang lengang. Rasanya tidak nyaman saat berjalan di toko ibu yang sepi saat malam hari.
Aku berhenti saat sampai di ruangan karyawan dan melihat Dimas berdiri membelakangiku. Entah mengapa aku tiba-tiba merasa takut, takut kalau pemuda di hadapanku bukan Dimas. "Dim," panggilku mencoba memastikan. Aku mencoba melangkah mendekatinya.
Aku terkejut saat Dimas berbalik dan menatapku dingin. Dia kenapa?
"Dim?" Aku merasa ketakutan dengan tatapan Dimas, apalagi di kondisi sepergi ini.
Aku mundur beberapa langkah. Saat Dimas mendekat. Ia menggerakkan tangannya, aku reflek menutup mataku, takut ia melakukan sesuatu.
Aku membuka mata saat merasakan sesuatu menyentuh lenganku. Kulihat benda itu. Aku langsung melebarkan mataku saat mengetahui kalau itu adalah buku harianku. Aku langsung menerimanya. Aku sungguh merasa malu, takut Dimas membacanya.
"Jangan menyukaiku Li." Nadanya terdengar dingin.
Kata-kata Dimas terasa seperti pisau yang melukai hatiku. Aku kira setelah beberapa hari bersamanya, ia akan menaruh rasa padaku. Namun, sepertinya lagi-lagi aku harus menelan kenyataan yang pahit, itu semua hanya harapanku.
"Kenapa?" tanyaku. Tanpa sadar air mataku kembali mengalir.
Dimas hanya diam. Aku memberanikan untuk menatap matanya, aku melihat luka di sana. Luka apa itu? Apa yang dia sembunyikan?
"Woy, masih lama gak, pegel nih!" Aku segera mengusap air mataku saat mendengar teriakan mas Riski. Dengan langkah cepat aku meninggalkan Dimas sembari memasukkan buku harianku ke dalam tas.
Dimas ternyata mengikuti di belakangku. Kami akhirnya keluar bersama-sama dan bersikap seolah tidak ada yang terjadi.
Kulihat mas Angga dan mas Riski menutup toko lalu memberikan kuncinya padaku. Tak lama mas Angga dan mbak Ana pulang di susul dengan mas Riski. Kejadiannya sama seperti hari pertama Dimas bekerja di sini, tapi bedanya, setelah mas Riski pergi tiba-tiba turun hujan deras. Aku dan Dimas merapatkan tubuh kami pada toko. Selama beberapa menit tidak ada percakapan antara kami, sampai tangannya menarikku untuk mengikutinya. Ia membawaku ke kafe sebelah yang masih buka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter Sweet [END]
Humor[Lanjutan dari KUTUKAN] Peristiwa tidak terduga membawa Lia dan Dimas bersama di antara sentuhan manis dan pahit cinta. Toko kue menjadi saksi bisu perasaan tumbuh di antara mereka, keputusan tragis dan rahasia yang terungkap membentuk jalan yang ti...