"Toko kita dirampok?"
"Bukan Li, tadi ada pelanggan kita yang berkelahi-"
"Berkelahi di sini? Un–aduh." Ibu memukul pelan kepalaku saat aku menyela kalimatnya. Aku hanya khawatir, apalagi melihat kondisi ibu seperti ini. "Maaf ibu, tapi ibu tidak berkelahi juga kan? Tangan ibu terluka."
Ibu kembali memukulku, matanya menatap kesal. "Tadi ibu berusaha melerai mereka, tapi ibu terkena pecahan kaca." Ibu menjelaskan sembari kembali berjalan masuk. Aku mengikutinya.
Ternyata tak hanya ada kami berdua di sana, beberapa pegawai masih terlihat membereskan bagian dalam toko. "Kamu bantu beres-beres juga. Itu di depan belum di bereskan."
Aku mengangguk. Setelah menaruh tas ku, aku langsung membantu pegawai yang membereskan kue-kue yang berceceran.
"Hati-hati mbak, itu ada pecahan kaca," ucapku saat salah seorang pegawai hampir menginjak pecahan kaca.
Aku tidak tahu sebrutal apa perkelahian itu sampai membuat satu etalase kue pecah. Apa mereka saling memukul dengan balok kayu, karena setahuku kaca etalase itu sangat tebal.
"Tadi parah sekali mbak?" tanyaku pada salah satu pegawai. Namanya mbak Ana.
Mbak Ana mengangguk, sambil terus membereskan toko, Mbak Ana memulai ceritanya. "Iya Li, satu orang melawan tiga orang. Awalnya aku melihat dua orang berdebat di depan toko. Perdebatan itu terhenti karena salah satu dari mereka masuk. Orang itu memang pelanggan tetap kita Li. Sering datang ke sini untuk membeli kue. Saat orang tersebut hendak membayar, tiba-tiba ada dua orang datang, mereka membawa linggis. Tiba-tiba orang yang bersama dua orang itu-"
"Sebentar mbak, Lia bingung. Bisa beri nama saja? Jangan menyebutnya orang-orang." Aku tidak bisa mencerna perkataan mbak Ana. Terlalu membingungkan.
Mbak Ana terlihat berpikir, kemudian dia mengangguk dan melanjutkan ceritanya. "Begini, awalnya Mail sama Jarjit berdebat di-"
Tawaku langsung meledak saat mbak Ana menggunakan nama karakter kartun yang biasa adikku tonton. Aku berusaha menghentikan tawaku saat mbak Ana menatapku kesal. "Lanjutkan mbak."
"Mereka berdebat di depan toko. Perdebatan itu berhenti karena Mail masuk dan sepertinya sudah tidak peduli lagi saat Jarjit terus berteriak memanggilnya. Saat sedang membayar kue, tiba-tiba Upin dan Ipin datang membawa linggis."
Aku kembali tertawa membayangkan dua anak botak itu benar-benar membawa linggis.
Namun, seperti tidak terganggu dengan tawaku, mbak Ana terus melanjutkan ceritanya. "Akhirnya Jarjit, Upin, dan Ipin masuk dan menyerang si Mail. Suasana menjadi tegang, tapi akhirnya si Mail bisa menangani itu dan ibu sempat telepon polisi. Jadi mereka di bawa ke kantor. Beruntung tidak ada korban. Hanya ibu tadi yang terkena pecahan kaca karena mencoba mengusir tiga berandal itu. Aku sempat takut ibu terkena linggis tadi, tapi syukurlah, itu tidak terjadi. Mail juga berusaha melindungi ibu."
Aku mengangguk-angguk. Beruntung ibu masih diberi keselamatan.
"Anak sekolahan mbak?" tanyaku lagi. Masih penasaran.
"Iya, sepertinya si Mail dari sekolahmu, seragam yang ia pakai sama dengan milikmu."
Mendengar itu, aku tiba-tiba penasaran pada Mail. Siapa dia? Setahuku yang sering ke sini adalah Aksa, Tasya, dan Alina, terkadang juga Khanza dan Rain. Hanya Aksa yang merupakan laki-laki, mbak Ana sudah mengenalnya.
"Siap-"
"Sudah beres-beresnya? Kalau sudah kalian boleh pulang, kue yang masih bisa di makan, kalian bawa saja. Mungkin besok kita buka lebih siang ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter Sweet [END]
Humor[Lanjutan dari KUTUKAN] Peristiwa tidak terduga membawa Lia dan Dimas bersama di antara sentuhan manis dan pahit cinta. Toko kue menjadi saksi bisu perasaan tumbuh di antara mereka, keputusan tragis dan rahasia yang terungkap membentuk jalan yang ti...