Mataku melirik ke arah jam yang menunjukkan pukul 7 malam. Ibu baru saja tiba dari toko. Meski sempat memeriksa keadaanku tadi, ia kemudian melanjutkan urusannya ketika melihatku sudah pulih.
Sekarang, jika ibu sudah pulang, pasti Dimas juga sudah berada di rumah. Otakku bertanya-tanya tentang apa yang ia lakukan saat ini.
Oh ya, aku lupa bahwa sudah beberapa hari ini aku belum menulis catatan untuknya. Mungkin aku terlalu sibuk dengan kehadirannya dalam dunia nyata.
Dengan langkah perlahan, aku turun dari tempat tidur dan menuju tas sekolahku. Mengambil buku harian yang selalu kusimpan, aku duduk di meja belajar dan memulai menulis.
Selamat malam manusia baik. Apa kabarmu malam ini? Hari ini terasa berbeda. Pagi tadi aku masih terbaring di tempat tidur dengan tubuh yalng lemas karena sakit. Sekarang aku sudah lebih baik. Ah, iya, terimakasih untuk waktumu.
Aku mungkin terlihat bodoh, meminta agar sambungan telepon tidak dimatikan, tapi rasanya menyenangkan karena aku tidak sendirian.
Semoga besok kita bisa bertemu lagi. Sampai jumpa, Dimas.
Aku menutup buku harianku dan merasa lega setelah menuliskan sesuatu untuk Dimas. Aku harap ia selalu baik-baik saja dimanapun dia.
Suara ketukan pintu kamar membuatku tersentak. Aku berpikir untuk membukanya, namun Zahra yang lebih cepat merespons, "Kak, ada kak Aksa," katanya sebelum segera meninggalkan ruangan.
Aksa? Tumben dia datang malam-malam. Mungkin dia bersama Tasya dan Alina. Pasti mereka ingin menjengukku. Padahal sudah aku katakan kalau aku baik-baik saja. Mereka memang keras kepala.
Aku merapikan rambutku yang acak-acakan dan menyempurnakan penampilanku sebelum keluar kamar. Mungkin lebih baik aku tidak keluar dengan baju tidur. Meski sebenarnya aku merasa agak malas untuk mengganti pakaian.
Sebelum melangkah ke luar, aku mencium bau badanku. Ah, tak apa, meski tidak sempat mandi, setidaknya aku masih wangi.
Dengan langkah perlahan, aku menuju ruang tamu. Aku terkejut melihat Aksa tengah berbincang bersama ayah. Ternyata, dugaanku salah; Aksa tidak datang bersama Alina dan Tasya.
Aku mendekat dan bergabung dengan mereka. Ayah tersenyum dan menyuruhku untuk duduk.
"Karena Lia sudah datang, kalian bisa mengobrol. Om akan pergi ke dapur sebentar." Ayah beranjak pergi, meninggalkan kami berdua.
"Tasya bilang kau sakit, bagaimana keadaanmu? Maaf aku baru bisa menjengukmu sekarang," ucap Aksa dengan simpati.
"Aku sudah membaik. Kamu tidak perlu repot ke sini."
Aksa tersenyum. "Tidak apa-apa. Oh, iya, ini ada coklat untukmu. Mama yang memberikannya. Mama sudah kembali ke Belanda karena ada urusan mendadak, jadi tidak bisa memberikannya langsung."
Aku menerima coklat itu dengan senang hati. Ah, coklat, kesukaanku. "Terima kasih, Sa."
Setelah ayah kembali dari dapur, kami bertiga duduk bersama di ruang tamu. Suasana menjadi hangat dengan obrolan yang terus mengalir. Ayah dan Aksa lebih banyak berbicara, sedangkan aku hanya menjadi pendengar mereka dan sesekali menimpali. Tak apa, aku bisa menghemat energi karena mereka.
Ibu datang menyajikan teh dan beberapa kue kecil untuk kami. Aksa memuji kue-kue tersebut, dan kami pun saling berbagi cerita sambil menikmati camilan yang lezat. Rasanya senang saat melihat ibu dan ayah akrab dengan Aksa, andai itu Dimas. Ah, Dimas ya, sepertinya tidak mustahil mengingat Dimas juga orang yang ramah. Aku mungkin bisa mencoba membawa Dimas ke rumah suatu hari nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter Sweet [END]
Humor[Lanjutan dari KUTUKAN] Peristiwa tidak terduga membawa Lia dan Dimas bersama di antara sentuhan manis dan pahit cinta. Toko kue menjadi saksi bisu perasaan tumbuh di antara mereka, keputusan tragis dan rahasia yang terungkap membentuk jalan yang ti...