Junada Kairo, si sulung yang mendapat banyak kasih sayang dari seluruh anggota keluarganya. Meskipun dengan sikapnya yang sedikit ketus dan terlihat tidak peduli tetapi ia tidak pernah sungguh-sungguh mengabaikan apapun yang terjadi di sekitarnya. Pemuda tersebut hanya bermain dengan pandangan tanpa membuka mulut. Namun, jika sudah bertindak, akan mirip seperti ayahnya. Sifat anak itu merupakan gabungan dari kedua orang tua. Dhania bersyukur masih memiliki anak yang waras meski digempur dengan copycat suaminya semua.
Berbicara tentang sang kepala keluarga, Pancaka Melviano memang terlihat sosok ayah yang konyol, bisa berlagak persis seperti tingkah anak-anaknya. Akan tetapi, ia juga bisa bersikap layaknya seorang panutan bagi putra-putrinya — meski tidak pernah mendapat pujian langsung dari mereka, takut besar kepala. Oleh karena itu, pria Soehardjo generasi ke tiga ini bisa terlampau protektif terhadap buah hati sendiri terutama pada si sulung.
Anak emas dari keluarga Melviano tersebut seakan tidak boleh membagi fokusnya selain untuk keluarga dan pendidikan. Bagi Junada, memang bukanlah hal yang menyiksanya. Si sulung dari Pancaka itu juga dengan hati tulus menjalankan keinginan sang ayah, apalagi mengalir DNA Soehardjo yang memiliki latar belakang sedikit berbeda dari keluarga lainnya.
Sampai di usianya duapuluh tahun lebih, ia bertemu dengan seseorang.
Ponsel yang berada di lantai tanpa alas itu bergetar membangunkan Junada dari lelapnya tidur. Kening anak itu berkerut dalam, sedikit linglung melihat sekitar, lalu terdengar suara dengkuran halus dari arah bawah kakinya dan menemukan sosok Geo yang juga menikmati dunia mimpi. Kedua anak itu tertidur di dalam ruang kamar kos-kosan setelah bermain game.
Tangan anak itu terulur mengambil gawai, kemudian pelan-pelan keluar dari kamar petak tersebut supaya tidak mengganggu lelapnya sang sahabat.
"Assalamualaikum, Mas."
"Waalaikumsalam, Nda. Kenapa?" tanyanya seraya mengusak surainya yang sudah acak-acakan tersebut.
"Lagi di mana, Nak? Sibuk gak?"
Duduk lesehan di latar, Junada melihat jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul tiga sore lebih dua menit. "Enggak, Nda. Mas ketiduran di kosan Geo."
"Bisa jemput kembar gak, Mas? Pak Gus izin pulang, anaknya sakit."
Masih ada waktu satu jam sampai Jove dan Jihan pulang sekolah.
"Bisa kok, Nda."
"Makasih, Sayang. Sama minta tolong satu lagi ya," Bunda tertawa pelan di sana bahkan suara mengecil tiba-tiba seakan tidak boleh ada yang mendengarnya.
Rasa mengantuk Junada juga sudah sedikit berkurang, ia terlampau hapal kebiasaan ibunya yang diam-diam suka menitip jajan kepada anak-anaknya. Sekarang, ia tahu di mana napsu makan Jeeves yang menyukai makanan luar dari siapa. Terutama jajanan khas anak sekolah, si bungsu yang sering kali membawa pulang juga terkadang berbagi dengan sang ibu.
"Emang Bunda mau jajan apa? Ayah gak pulang ya?"
Sang ibu berdeham. "Ayah ada project. Pulang malam katanya. Nitip bakso goreng yang pakai telur ya, Mas? Dulu Jojo pernah beli deh."
Pada akhirnya juga, Junada tidak hanya akan membelikan makanan tersebut untuk sang ibu saja. Ketiga adiknya pasti merengek meminta, jadi sudah pasti ia harus membeli empat porsi untuk orang-orang tersayangnya. Meski nanti akan mendapat ceramah dari sang ayah yang sudah jelas melarang untuk membelikan jajanan luar bagi istrinya, karena setiap kali mengonsumsi makanan berminyak membuat tubuh wanita itu sakit di beberapa titik terutama kakinya.