Lowongan pekerjaan setiap tahun semakin membebankan bagi orang-orang. Syarat yang tidak masuk akal, tuntutan kerja yang berlebihan, tetapi gaji masih kurang memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sampai rasanya, mimpi bekerja di sebuah kantor ternama tidak lagi menjadi tujuan. Bagi Juwita Qinanthi, sekarang apapun pekerjaannya ia ingin menerima. Setidaknya, bisa untuk bertahan hidup.
Helaan napas panjang keluar dari belah bibirnya yang sudah memucat akibat terik matahari di tengah kota. Maniknya mengedar dan menemukan sebuah coffeshop, di atas pintu berkaca itu terdapat tulisan yang menyatakan bahwa kafe ini baru saja dibuka pertama kali.
Coffemind, namanya.
Kaki gadis itu bergerak mendekat ke arah bangunan dua lantai tersebut. Masih terlihat sederhana, tetapi sesaat memasukinya ia merasa sedang pulang ke rumah sendiri. Harum aroma aneka kopi dan dessert yang terpajang begitu menarik perhatian. Dominan warna putih tulang serta cokelat, tetapi bagian kasir memiliki nuansa merah yang berani.
Ada seorang lelaki yang sedang duduk serta tiga cangkir kopi di hadapannya. Kala pintu kaca didorong oleh Juwita, menimbulkan sebuah suara membuat sosok tersebut mendongakkan kepala.
Tidak menunggu disambut, gadis itu menyunggingkan senyum yang ramah sembari berjalan. Namun, lelaki di depannya ini masih setia dengan ekspresi datar. Nampaknya, sedikit tidak menyangka atas kehadiran pelanggan pertama.
"Sudah buka ya?"
"Iya," maniknya mengerjap kemudian segera berdiri di depan alat mesin kasir. "Mau pesan apa ya, Kak?"
Tidak ada seragam yang dikenakan, Juwita hanya menyimpulkan bahwa lelaki di hadapannya ini mungkin pemilik kafe yang belum mempunyai karyawan.
Juwita menggigit bibir bawahnya, tiba-tiba merasa menyesal karena memasuki tempat sepert ini. Bahkan, ia tidak memiliki pengalaman menikmati minuman aneka kopi selain sachet-an.
"Baru pertama kali ya?"
Maniknya mengerjap kala pertanyaan lelaki itu membuyarkan lamunan Juwita. Tidak ada ekspresi merendahkan di sana, ia nampak ingin membantu dirinya yang sedang kebingunan. Sehingga, anggukan kecil menjadi jawaban.
"Kamu lebih suka kopi atau cokelat?"
"Cokelat."
"Milkshake?"
Senyum gadis itu mengembang. "Boleh, itu aja."
Jemari lelaki itu bergerak pada layar di depannya. "Lebih enak sambil makan donat sih, Kak," tetap memasang wajah serius tetapi dengan intonasi yang begitu ramah.
Taktik tersebut membuat Juwita tertawa, ia menganggukkan kepala setuju. "Iya, sama donat juga."
Dengan begitu, pesanan Juwita berhasil dibuat kemudian dibayarkannya. Gadis itu bergerak mundur untuk mencari tempat duduk, bersandar pada kaca dinding, Juwita menghela napas panjang. Amplop cokelat yang dibawanya ke sana kemari sudah nampak lecek. Tangannya terangkat menyisir surai panjang yang dimiliki kemudian diikat menggunakan sebuah karet rambut.
Tak berapa lama, sebuah langkah sepatu membuatnya menoleh. Si pemilik kafe datang dengan nampan berbentuk lingkaran serta membawa pesanan Juwita dengan lihainya.
"Terima kasih," sahut gadis tersebut.
Lelaki itu mengangguk dengan senyuman ramah. "Dua hari buka, kamu jadi pelanggan pertama."
Informasi tersebut membuat Juwita melongo tak percaya. "Dua hari? Saya kira hari ini pertama kali baru buka."
Tawa kecil mengudara, lelaki bersurai hitam dengan highlight merah itu mengambil kursi. Juwita baru menyadari ada sebuah tindik di hidung mancung tersebut. Sebagai pemilik yang ramah dan supaya terlihat baik, mungkin obrolan mereka untuk menarik kesempatan supaya bisa membuat ramai kafe ini.
