Hidup sebagai ibu rumah tangga itu tidak ada jam istirahat rasanya. Dari mulai membuka mata, otak dan tenaga sudah harus digunakan dengan cepat serta tepat. Meski berada dalam lingkungan keluarga yang lebih dari cukup, tetap saja tak membuat pekerjaan seorang istri dan ibu berkurang. Akan lebih menyenangkan, jika mereka melihat suami dan anak-anak makan dengan lahap dari masakan yang dibuat dan dipikirkan dari semalam.
Bersama dengan suami dan empat orang anak, sangat membuat kehidupan Dhania yang dulu penuh ketenangan berubah dratis. Bukan ke arah yang lebih buruk, justru menambah warna dalam hidup monokromnya.
Dan, ternyata bukan hanya mereka yang berhasil memberi perubahan dratis dalam hidup Dhania. Ia juga memiliki warna-warna lainnya dari pihak keluarga sang suami. Teman sekaligus saudara sepupu anak-anaknya. Wanita itu berasal dari keluarga sederhana, tetapi pernah merasakan juga konflik internal dalam antar saudara. Di Soehardjo mungkin pernah mengalami, tetapi fokusnya tetap keakraban empat anaknya dan sepupu yang lain. Mereka bisa menjalin hubungan yang sangat indah satu sama lain.
"Ndaaa! Adek Lili boleh buat minuman sendiri?"
"Jangan pakai kata adek! Kamu bukan adek!"
"Kan aku lebih muda dari Kakak Je!"
"Ya tapi jangan ngomong adek ke Nda! Gak boleh! Cabut kata-kata kamu tadi!"
Lalu terdengar decakan kesal. "Coba kalian tuh berantemnya nanti waktu rebutan warisan Uyut. Elit dikit dong. Cuman panggilan gitu doang."
"Diem kamu!"
"Ih, jangan bentak adek meng!"
Seulas senyum terukir di bibir Dhania yang baru saja selesai menuangkan tiga porsi Bakmi Jawa sesuai request-an tiga anak paling muda di Soehardjo tersebut. Daripada ia menuruti keinginan mereka untuk membuat mie instan.
Tanpa menggunakan nampan, Dhania membawa dua piring terlebih dahulu ke ruang tengah di mana tiga bocah SMP di sana sedang mengerjakan tugas masing-masing. Jeeves yang melihat sang ibu datang, bergegas berdiri kemudian membantu menerima piring tersebut. Setelahnya, ia juga kembali membawa piring terakhir.
"Makasih, Bunda!" seru El dan Lili bersama.
Dhania mengangguk seraya menyunggingkan senyum. Tangannya terulur mengusak surai putra bungsunya. Tiga anak tersebut duduk mengelilingi meja kaca, selain itu ada buku-buku berserakan juga di sana.
"Dirapiin dulu, Nak. Nanti malah kotor kena makanan lho," ucap wanita dewasa tersebut.
"Iya, siap, Bunda!" jawab Lili mewakili dua sepupunya.
Selepas itu, Dhania kembali ke dapur. Sejenak menghela napas panjang seraya merapikan surai yang dijepit menggunakan jedai. Meski nanti ada tambahan piring kotor, tetapi wanita itu tetap membersihkan area masaknya. Samar-sama ia mendengar kericuhan di depan, tetapi hanya menanggapinya dengan senyuman karena Dhania benar-benar sudah terbiasa akan tingkah laku para Soehardjo paling muda itu.
Kepalanya menoleh untuk melihat jam di dinding. Tadi pagi, Pancaka mengatakan bahwa ia akan pulang lebih awal dari biasanya. Jam sudah menunjukkan hampir pukul empat sore. Selesai mencuci peralatan masaknya, Dhania menyiapkan minuman teh herbal kesukaan sang suami.
Indera pendengarnya menangkap suara mobil, jauh lebih cepat dari perkiraan Pancaka sudah sampai di rumah. Namun, suara ricuh anak-anak pun tidak kalah. Dhania mendengar suara Je yang cukup keras kemudian berpadu dengan omelan Lili serta Eleanor. Jika sudah begitu, hanya menunggu momentum besar akan terjadi.
