What If (3)

53 2 71
                                    

Hidup di dalam keluarga besar sudah terbiasa bagi seorang Junada Kairo. Bertemu dengan saudara-saudari pihak keluarga ayah yang lumayan cukup banyak, belum lagi para sepupu ricuhnya bagaikan satu angkatan sekolah STM. Meskipun sifat mereka berbeda-beda, begitupula sikap, tetapi si sulung Melviano ini bisa beradaptasi dengan baik. Terlebih, memiliki adik kembar yang bisa membuat kehebohan hanya dengan ide iseng mereka saja.

Berbicara tentang adik, Junada kembali diberkahi seorang adik kecil yang jarak usianya sekitar 21 tahun. Tidak masalah sih, dia hanya berharap bahwa sifat si bungsu ini semoga mirip dengannya. Tenang, si sulung hanya membutuhkan suasana seperti itu.

Helaan napas panjang berhembus dari belah bibirnya, Junada mematikan mesin mobil yang sudah berhenti di pekarangan rumah. Entah mengapa ia mulai memperhatikan sekitar sembari mengukir senyuman. Kehidupannya saat ini sangat disyukuri.

Kedua alisnya terangkat kala mendengar sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah. Si sulung melihat ketiga adiknya turun dari kendaraan tersebut. Senyum Junada terukir lebar seraya melambaikan tangan pada Alethea, Eleanor dan Abisatya yang mengantar pulang.

"Mampir, Pi!" serunya.

"Langsung pulang aja, Ju. Mami sendiri sama Nucil," sahut beliau.

Dengan begitu, Junada mengucapkan terima kasih karena telah berkenan mengantar adik-adiknya sampai ke rumah. Yang pertama berlari masuk ialah Jeeves kemudian disusul oleh Jove. Kening si sulung berkerut, ia menoleh ke belakang dan melihat Jihan masih berdiri di ambang gerbang sembari memperhatikan jalanan.

Kakinya bergerak mendekat kemudian merangkul adik perempuannya tersebut, ikut memperhatikan jalanan depan rumah.

"Kenapa, Ji?"

"Tadi ada mobil ngikutin, Mas."

Pernyataan tersebut membuat Junada merubah ekspresinya menjadi was-was. Maniknya awas mengamati sekitar termasuk mobil Abisatya yang sudah menjauh, tetapi tidak ada kendaraan lain mengikuti.

"Apa perasaanku aja ya?"

Semoga.

Tangan Junada terulur merangkul sang adik seraya mengusap surainya. "Mungkin. Nanti Mas pantau sama Ayah, masuk dulu yuk."

Jihan mengangguk dengan senyuman. Kemudian, mereka masuk ke dalam dan sudah disuguhi oleh suara chaos yang ditimbulkan oleh dua adiknya. Begitupula sosok yang disampingnya berlari menyusul saudara-saudaranya.

"Eits! Cuci tangan, kaki, ganti baju, baru main sama Chiki," perintah sang ibu yang sedang duduk bersantai di sofa dengan bayi berusia dua tahun di pangkuannya.

Terdengar keluhan di sana, tetapi mereka tetap patuh pada beliau. Bergegas memasuki kamar masing-masing, termasuk Junada.

Keluar urutan terakhir, ia melihat keempat adiknya sudah meramaikan suasana ruang tamu. Tawa khas bayi dari Janice Chiquita Dayu membuat si sulung ikut tertawa juga. Maniknya mencari keberadaan sang ibu yang ternyata sedang menyantap makan siang yang terlambat.

"Mau es teh, Nda?"

Senyum wanita itu mengembang, meski nasi masih memenuhi mulut. Junada tertawa kecil kemudian membuatkan minuman favorit dari sang ibu. Hanya memasukkan dua butir es batu, walaupun Chiquita sudah jarang minum ASI, ia tetap patuh terhadap perintah Hika dan Pancaka supaya tidak memberikan es banyak-banyak terhadap Dhania yang maniak es teh tersebut.

Junada memilih untuk menemani sang ibu sembari menikmati camilan keripik, tetapi maniknya awas mengamati adik-adiknya di ruang tamu. Lalu, tiba-tiba ia teringat percakapannya bersama ayah tadi malam. Pemuda itu menoleh setelah melihat beliau selesai makan.

Storiesحيث تعيش القصص. اكتشف الآن