Launching Bontot

18 2 24
                                        

Terlambat dua minggu dari jadwal rutinnya menstruasi membuat Dhania cukup khawatir. Tidak ada tanda-tanda perutnya yang sakit atau badan pegal seperti biasa. Jika dugaannya benar, ia pun tidak mengalami mual-mual seperti pengalaman empat anak yang dimiliki. Memang beberapa orang bisa mengalami perbedaan untuk tanda-tanda kehamilan, tetapi tetap saja membuat wanita itu berpikir kemungkinan besar seperti itu. Apalagi di usia yang sudah tidak bisa dibilang aman untuk mengandung.

Biasanya, ia akan keluar bersama sopir untuk membeli testpack. Namun, tentu saja kabar tersebut akan langsung didengar oleh Pancaka. Situasi ini cukup membuat Dhania frustasi mengingat ucapan suami dan anak bungsunya supaya tidak ada tambahan anggota di keluarga mereka.



Maniknya menangkap penampilan sendiri di depan cermin. Dress panjang sampai betis, Dhania tidak pernah memakai make up jika berada di rumah, hanya rangkaian skincare saja. Beberapa kali, ia menarik napas. Bertekad melakukan sesuatu yang mungkin akan mendapat omelan dari suami dan adik/kakak ipar. Kakinya bergerak menuju ke lemari kemudian mengambil cardigan, setelahnya wanita itu mencari keberadaan dompet dan ponsel.


Sebelum pergi dari kamar, ia menatap gawai yang ada di tangan. Dengan diselimuti rasa gugup, Dhania melempar ponselnya ke ranjang kemudian berjalan keluar.


Langkah wanita itu harus tenang tanpa menimbulkan kecurigaan. Keberadaan Simbok mungkin berada di belakang, toh ia hanya akan pergi sebentar ke apotik, tidak usah berpamitan rasanya. Namun, keberuntungan Dhania memang tidak sedang berpihak padanya. Pintu utama terbuka menampilkan sosok putra sulung, manik Junada membulat kala mendapati sang ibu yang meski berpakaian sederhana, tetapi tak pernah menenteng dompet seperti itu.


"Bunda mau ke mana?" tanyanya.


Bahkan keterkejutannya belum pulih kala si sulung melontarkan pertanyaan. Manik Dhania mengerjap beberapa kali dengan ekspresi bibir bergerak gugup.

"Mmm... HP kamu mana, Mas?"

Tanpa menunggu lama, putranya mengeluarkan ponsel dari saku hoodie yang dipakai. Dhania lupa kalau si sulung tidak ada jadwal kelas dan hanya berpamitan keluar sebentar ke rumah Geo.


Kala ponsel itu sudah ditangan Dhania, wanita itu meletakkannya di dalam nakas yang tak jauh dari mereka berdiri. Raut wajah Junada berubah keheranan.

"Anterin Bunda yuk."


Permintaan tersebut mengalihkan perhatian Junada, ia mengangguk seraya mengeluarkan kunci mobil. Namun, Dhania segera mengambilnya kemudian menyimpan di tempat yang sama dengan ponsel sang buah hati.

"Jangan pakai mobil, Mas. Pinjem motornya Pak Budi aja."

"Loh, ngapain pinjem ke Pak Budi, Nda? Ada motornya ayah, kan?"

Dhania menggeleng ribut. Ia dengan segera menarik lengan putranya kemudian keluar dari rumah. Tanpa memberi jawaban pasti, wanita itu berjalan menuju ke pos satpam rumahnya. Berbincang sejenak kepada pria paruh baya yang bernama Budi tersebut, beliau pun tanpa ragu memberikan kunci motornya melihat ada Junada yang merupakan putra sulung.


Dengan senyum tipis, Dhania memberikan kunci motor pada sang buah hati. Keduanya pun pergi menggunakan kendaraan scoopy tersebut. Di belakang, Dhania menghela napas panjang. Berharap bahwa suaminya tidak akan menghubunginya.

"Dianter ke mana, Nda?" tanya Junada sedikit lebih keras karena sudah berhasil keluar dari perumahan.


Beberapa saat, Dhania sempat berpikir. Untuk hasil lebih akurat, mungkin ia akan mengunjungi rumah sakit saja?

StoriesWhere stories live. Discover now