What If (2)

34 2 84
                                    

Usianya sepuluh tahun kala Juwita harus pindah ke rumah baru dari kampung halamannya yang berada di pinggir kota. Berdiri di depan bangunan berlantai dua, anak perempuan itu mengamati area komplek perumahannya. Senyum si kecil mengembang melihat ternyata juga masih ada anak-anak yang menikmati waktu sore hari dengan bermain bersama.

Kedua tangannya mendekap boneka anjing dalmation, kening anak itu berkerut kala menyadari sebelah mata teman tidurnya telah hilang.

"OM JODAN!"

"KENAPA CANTIKKU?!"

Seorang laki-laki pendek berlari heboh setelah mendengar pekikan dari Juwita, kardus yang berisikan pakaian itu dijatuhkan. Rambutnya yang acak-acakan serta kantung mata yang berlipat-lipat menandakan bahwa ia begitu lelah tetapi tetap sigap menghadap pada si kecil yang merengek tersebut. Tanpa berbicara, anak gadis itu menunjukkan boneka yang hanya memiliki satu mata tersebut.

"Waduh, ya ampun, astaga. Si Damang kenapa jadi mata satu gini? Dia bukan bajak laut yah."

Bibir Juwita mengerucut kesal. "Dalma! Bukan Damang, Om!"

Lelaki itu menghela napas panjang, mengacak rambutnya yang sudah berantakan. Di depan pintu rumah, sudah ada seorang wanita mungil juga dengan penampilan tomboy. Kedua tangannya berkacak pinggang. "JODAN, JUWI, MASUK!"

"TANTEEEE!"

"NANTI DIGANTI MATA SAPI AJALAH, BURUAN MASUK!"

Jodan merunduk kemudian menggendong tubuh Juwita, keduanya saling menatap sembari menutup kedua mulut mereka. "Kumat dia, ntik."

"Istrinya om itu!"

Keduanya tertawa kecil, sebelum mendapat bentakan lagi mereka masuk ke dalam rumah yang masih belum memiliki properti banyak tersebut. Setelah menurunkan gadis kecil itu, Jodan disodorkan sebuah telepon rumah oleh sang istri yang memberikan gerakan mata. Lelaki itu menggelengkan kepala dengan heboh sementara Juwita yang sudah duduk di anak tangga sedang memperhatikan kedua pasangan tersebut.

Bosan dengan pemandangan di depannya, Juwita memilih untuk menaiki tangga dengan rasa penasaran melihat kamar barunya.

"Juwi, Sayang."

Langkahnya terhenti mendengar panggilan dari sang bibi yang lembut, tubuh anak itu berbalik masih mendekap boneka kesayangan.

"Mas Bi telpon. Mau ngobrol sama adik kecil katanya," ucap Yumna, wanita yang dipanggil Tante tersebut.

Raut wajah Juwita berubah menjadi datar, bonekanya sudah tidak didekap. Anak perempuan itu menggelengkan kepala. "Nggak mau."

Jawaban tersebut tidak membuat kedua orang dewasa itu terkejut. Mereka tentu sudah menduganya, Jodan melangkah dengan senyuman tipis di bibir. "Mas Abi loh, cantik. Masa nggak mau ngobrol sih? Ayo sini, turun turun, utututu."

"Nggak mau!" pekiknya. "Mas Bi nggak sayang sama Juwi kok."

Yumna dan Jodan membulatkan mata terkejut, keduanya kompak mendekat pada anak perempuan tersebut. "Kok ngomong gitu? Mas Abi paling sayang sama Juwita loh!"

"Kalau sayang pasti ikut Juwi ke sini," sahutnya dengan telak.

Untuk pernyataan tersebut, mereka bungkam tidak bisa membela sosok yang bernama Abisatya — kakak kandung dari Juwita.

●●●

Sebelum mendaftar sekolah, Juwita selalu belajar di rumah. Belum ada niat untuk bermain di luar dan berkenalan dengan tetangga. Jodan dan Yumna pun sibuk dengan pekerjaan yang dikontrol dari rumah, setiap jam duduk di depan komputer lalu menerima telepon.

StoriesOnde histórias criam vida. Descubra agora