🐦‍⬛ :: Bab 1 :: 🐦‍⬛

15 2 0
                                    

Sial, sial!

Lebih dari satu dekade aku hidup, lagi-lagi yang seperti ini menghantamku.

Setelah pengumuman pemenang, lagi-lagi aku tak menjadi juara. Jelas aku bisa menerima kekalahanku yang kesepuluh kalinya sebelum kompetisi ini, tapi yang ini aku benar-benar enggan menerimanya. Rasanya muak sekali. Muak saat dihantam realita yang seakan berkata kesuksesanmu dipengaruhi oleh adanya 'orang dalam'.

"Khai, apa kita harus 'rujak' akun Instagramnya?"

Teman-temanku menawarkan solusi yang sama sekali tak menyelesaikan masalah, justru menambah masalah. Pemenang kompetisi baca puisi yang diadakan untuk memeringati bulan bahasa ini ternyata anak rektor universitas penyelenggara kompetisi. Padahal, anak yang juara itu sama sekali tak menghayati puisi yang dibacanya. Intonasinya datar, matanya terus menatap kertas bertuliskan bait-bait puisinya.

Intinya, dia tak pantas juara.

Bukan hanya aku yang bilang begitu, hampir semua orang juga bertanya-tanya mengapa dia juara. Namun setelah tahu bahwa anak yang juara itu adalah anak rektor, mereka langsung bersikap seolah hal semacam itu biasa terjadi.

"Nggak usah," kataku pada teman-temanku.

Meninggalkan komentar buruk seperti, "hei, dasar juara modal anak rektor" pasti akan menambah masalah. Anak itu pasti akan mengadu ke ayahnya yang rektor itu, lalu ayahnya akan melapor ke aparat menggunakan landasan hukum UU ITE dan membayar tim pengacara mahal ke persidangan. Mereka yang kaya hidup enak, hukum pun bisa dibeli. Sementara itu kau yang miskin mati mendingin di dalam penjara karena kelakuan bodohmu.

Aku bahkan sudah membayangkan hal semacam itu.

Saat pulang ke rumah, aku pun dimarahi. Dimarahi karena nilai-nilaiku turun drastis di kelas. Bahkan aku nyaris didepak dari kelas unggulan karenanya.

"Ibu kira, kecerdasan nurun dari ibu. Tapi kenapa punya anak kok goblok banget, sih? Padahal ibunya langganan juara kelas di kelas unggulan!"

Ibu melemparkan hasil ujianku dengan murka ke arahku. Kertas itu kini mengenai wajahku dan jatuh ke lantai dengan menyedihkan. Sementara itu, Ayah datang menghampiri kami untuk membela.

"Bu, kok anak sendiri dikatain goblok, sih?"

"Ini bukan masalah dia anak aku atau bukan, tapi faktanya dia emang goblok! Nih, kalau nggak percaya coba liat hasil ujiannya." Ibu mengambil hasil ujianku yang ada di atas lantai dan memberikannya pada Ayah. Tentu sambil mengoceh dengan urat yang nyaris menonjol keluar.

"Ini cuman lagi turun aja, kok, nilainya," ucap Ayah kalem sambil mengembalikan hasil ujianku pada Ibu. "Bukan berarti dia goblok."

Murka yang tak terbendung membuat ibuku melemparkan hasil ujian terkutuk itu ke arah Ayah. Sama sepertiku tadi, kertasnya mengenai wajah Ayah dan jatuh ke lantai untuk yang kedua kalinya.

"Bela aja terus anak lo nyampe nggak punya otak kayak si Sarah!"

Setelah mengatakan hal tersebut, Ibu pergi ke kamar dan mengunci pintu. Tak lama waktu berselang, kamar orang tuaku kembali terbuka. Tentu Ibu yang membukakan pintu. Tangannya dikibas-kibaskannya entah ke arah siapa, akan tetapi setelah itu aku sadar bahwa Ibu baru saja memberi isyarat padaku untuk masuk ke kamarnya. Wajahnya tak terlihat semurka sebelumnya.

Ibu cepat-cepat menutup dan mengunci pintu kamar setelah aku masuk. Setelahnya dia duduk di pinggiran kasur dan menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Aku pun duduk di sebelahnya itu.

"Tadi, Ibu keceplosan nyebut nama si jalang itu," ucap Ibu padaku. Wajahnya tertunduk.

Si jalang? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sebegitu bencinya kah Ibu pada orang bernama Sarah itu hingga lisannya bisa menyebut kata 'si jalang' dengan sebegitu ringan?

Pikiranku sampai kemana-mana. Bahkan aku sudah membuat dugaan bahwa Sarah adalah pelakor dalam rumah tangga Ibu dan Ayah.

"Bukan kayak yang kamu pikirin. Ibu, 'kan, cantik. Masa' iya Ayah selingkuh?" Ibu seperti bisa membaca pikiranku. "Sarah itu adeknya Ayah."

Aku spontan menoleh ke arah Ibu dengan mulut menganga kaget.

Adik?

Sejak kapan Ayah punya adik? Mengapa selama ini aku seperti anak yang tidak tahu apa-apa terkait permasalahan keluarga di luar lingkaran keluarga kecil ini? Sebenarnya, sesuatu seperti apa yang mereka sembunyikan dariku sampai sekarang ini juga?

"Iya. Dia adek sialan yang gobloknya di luar nalar," ucap Ibu.

🐦‍⬛🐦‍⬛🐦‍⬛

Library of RavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang