🐦‍⬛ :: Bab 2 :: 🐦‍⬛

9 2 0
                                    

Aku berjalan sambil menangis.

Bahkan aku tidak tahu jalan apa yang sedang kupijak. Aku terus berjalan di atas trotoar dengan iringan deru mobil, truk dan motor yang terdengar sangat jelas di telingaku. Tak peduli debu jalanan yang terus berterbangan ke arahku, hidung merahku berusaha menarik napas yang tersendat karena tangisan. Aku berjalan dengan kepala tertunduk.

Sudah kutahan tangisku sejak berangkat sekolah ini. Pada akhirnya setelah jam istirahat makan siang selesai, aku meraih ranselku dan kabur dari sekolah. Tidak apa-apa, sebab setelah itu tidak ada mata pelajaran lagi dan yang ada hanyalah kelas bimbel.

Kelas bimbelnya wajib, tetapi tidak apa-apa.

Langkahku terhenti di depan sebuah bangunan yang terbilang cukup tua. Aku masuk ke dalam bangunan itu seperti orang yang dengan bodohnya hendak berburu hantu di siang hari.

Bangunan tersebut benar-benar kosong dalamnya. Maksudku, benar-benar tidak ada orang di dalam bangunan itu. Yang ada hanyalah rak-rak kayu yang penuh dengan susunan buku-buku. Saat aku mendekati salah satu rak kayu tersebut, aku tersadar bahwa bangunan ini semestinya ada penjaganya. Buku-buku disusun dengan rapi dan rak tempat buku itu nampak seperti baru diganti karena kayunya masih terlihat bagus. Sama sekali tidak ada bagian yang dimakan rayap.

Aku menyimpulkan bahwa bangunan ini adalah perpustakaan.

Perpustakaan, tempat favoritku sejak SD. Dulu cita-citaku adalah tinggal di perpustakaan karena dengan tinggal di sana, aku bisa membaca berbagai buku sepuasnya dari matahari terbit hingga tenggelam dan tergantikan oleh rembulan malam.

"Bab 1 kamu belum masuk ke email saya. Boleh tolong dikirimkan ulang? Terima kasih, ya, Aris. Ah, iya. Boleh saya tutup teleponnya? Ya, selamat siang juga, Aris."

Deg.

Suara bapak-bapak itu membuat jantungku berdegup. Ah, tidak. Batinku bergumul. Menduga-duga bahwa suara itu adalah suara penunggu perpustakaan ini. Namun, setelah itu aku merutuki diriku sendiri. Mana ada hantu telponan, Goblok? batinku pada diriku sendiri.

Aku memberanikan diri untuk mencari sumber suara tadi. Saat menemukannya, aku terkesiap.

Kulihat ada seorang pria, kutaksir umurnya sepantaran dengan Ayah. Dia duduk santai di atas kursi goyang, seraya membaca sebuah buku tebal yang dari judulnya saja sudah pasti aku tidak akan bisa memahami isi bukunya. Kacamata bacanya--setahuku orang seumuran Ayah sudah mulai terkena rabun dekat sehingga mereka membutuhkan kacamata saat membaca--bertengger di atas hidungnya yang mancung. Ponsel yang tadi digunakannya untuk menelpon ada di saku kemeja biru langitnya.

Mulutku menganga.

Aku sangat mengenal orang itu. Dia adalah orang yang kukagumi sejak setahun yang lalu.

Walaupun aku mengaguminya setengah mati, tetapi aku malu untuk menceritakannya kepada orang lain. Terlebih lagi kepada teman-temanku yang punya idola laki-laki K-Pop seperti Jungkook BTS, aktor Korea yang tampan seperti Lee Jong Suk atau artis-artis Western. Aku bisa mati dalam keadaan malu kalau mereka tahu bahwa idola yang kukagumi mati-matian adalah seorang bapak-bapak.

Mereka mungkin akan bilang, "ih, Mikhaila seleranya bapak-bapak, cih nggak normal banget!" atau ledekan semacam itu yang dibalut tawa bernada hinaan.

Padahal, maksudku bukan begitu.

Walaupun Ayah orang yang baik dan suka membelaku saat aku dimarahi Ibu, aku tidak begitu dekat dengan Ayah karena kami sama-sama pendiam. Apalagi setelah mendengar cerita soal Tante Sarah--aku bahkan baru tahu kalau punya tante dari pihak Ayah!--aku jadi tidak menyukai Ayah. Hanya tidak menyukainya saja, bukan membencinya.

Library of RavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang