🐦‍⬛ :: Bab 5 :: 🐦‍⬛

2 0 0
                                    

Jam pulang sekolah akhirnya tiba. Aku berjalan dengan lesu ke arah kotak telepon yang berada tak jauh dari luar gerbang sekolah. Setelah masuk ke dalam kotak itu, aku pun menelpon Tuan Gagak.

"Pak Raven terkenal gara-gara suka bawain kabar orang meninggal ke kelas-kelas. Ini yang maksudnya terkenal di OSIS?" ucapku kesal. "Terus, Ibu ternyata cegil sama Pak Raven. Tapi, kok, ujung-ujungnya bisa nikah sama Ayah?"

"Cegil? Apa itu cegil?" tanya Tuan Gagak dari seberang telepon.

Aih, dasar generasi Boomers.

"Cegil itu cewek yang istilahnya wes trabas ae kalau suka sama cowok, ya artinya cewek gila, lah," jelasku. "Tuan belum jawab saya. Kenapa Ibu ujung-ujungnya sama Ayah kalau ternyata pas muda dia malah mencintai Pak Raven secara ugal-ugalan?"

Hening sejenak.

"Lho? Justru itu misimu, 'kan, agar ibumu tidak menikah dengan ayahmu? Bapak yakin, kamu pasti tau apa yang harus kamu lakukan."

Walaupun dia Tuan Gagak, dia tetap senang memanggil dirinya sendiri 'Bapak'.

Aku keluar dari kotak telepon setelah berbicara dengan Tuan Gagak. Setelah ini, aku tidak tahu mau kemana. Aku tidak bisa tinggal di perpustakaan karena kata Tuan Gagak, perpustakaan sedang direnovasi. Kalau tinggal di rumah Tuan Gagak, aku tidak tahu di mana rumahnya. Dia juga enggan untuk memberitahu, sok misterius sekali.

Kalau begini, aku yang bingung jadinya harus tinggal di mana. Harusnya Tuan Gagak memberiku rumah, sih, selain uang.

"Lesu banget. Belum makan?"

Seorang siswa menyapaku. Sepertinya, dia sedari tadi ada di situ. Tepat di atas trotoar menuju gerbang sekolah.

"Belum, Om," jawabku pelan sambil meliriknya sedikit.

"Om?" ucapnya. "Tante manggil aku 'Om'?"

Aku mengernyitkan dahi ke arah siswa yang sedang menunjuk dirinya sendiri dengan jempolnya itu.

Apaan, sih? Banyak orang gila kayaknya di tahun ini, batinku.

"Om juga manggil saya 'Tante'," balasku.

"Tunggu." Dia menunjukkan kedua telapak tangannya ke arahku. "Anak baru, ya?" tanyanya sambil mengarahkan telunjuknya padaku.

"Iya," jawabku.

"Aku juga anak baru." Dia mengulurkan tangannya. "Kenalin, aku Gabin Hadiprasetya. Nama Tante--eh, kamu siapa?" tanyanya.

Aku menatap uluran tangannya dengan agak ragu. Akhirnya, tak lama setelah itu aku menyambut uluran tangannya. Kami pun bersalaman seperti kedua perwakilan negara yang telah selesai membuat perjanjian damai.

"Nama aku lucu, 'kan? Kayak nama makanan," kata si Gabin sambil tertawa.

Aku ikut tertawa seperti tawa korporat. Alias tertawalah atau kamu akan dipecat atasan di tempat kerja hanya karena dianggap tidak menghargai leluconnya.

"Nama kamu siapa? Masa' kita cuman salaman gini aja terus?"

Ucapannya membuatku sontak melepaskan tangannya sambil tersenyum. Dia balas tersenyum.

"Mikhaila," jawabku.

"Mikhaila aja? Nggak ada nama lengkap?" ucapnya. "Ah, masa' sih? Kayaknya nama orang-orang di zaman ini pada sepraktis dan seefisien itu, ya."

Sumpah, dia ini berisik. Bikin kepala pusing saja.

Apa pula maksudnya dengan 'praktis' dan 'efisien' itu?

"Tapi namamu itu aneh buat ukuran nama orang di tahun 1995." Dia terus berbicara sambil menaruh tangannya di pinggang sebelah kanan. Kedua alisnya menaik-naik seperti sayap gagak yang mengepak-ngepak. "Kamu belum jawab tadi. Nama lengkapmu siapa? Apa kamu beneran nggak punya nama lengkap?" tanyanya.

"Mikhaila Putri Reanna."

Aku tidak mau lagi berbasa-basi. Misi untuk menjauhkan Ibu dari Ayah harus segera kulaksanakan. Namun yang terpenting sekarang adalah menemukan tempat tinggal. Tempat tinggal yang gratis tentunya.

"Anu, kamu tau info tempat tinggal di sekitar sini? Yang gratis."

Mendengar pertanyaanku, Gabin sontak tertawa.

"Gratis? Mana ada, sih, yang gratis di dunia ini?" ucapnya sambil tertawa terbahak-bahak. Dia tertawa sampai memegangi perutnya dan nyaris terjungkal ke atas tanah.

"Siapa tau ada." Aku bergumam pelan.

"Kalau maksud kamu kos-kosan atau asrama gratis, jelas nggak ada," ucap Gabin seusai tertawa. "Aku juga kayak kamu. Sebenernya, aku juga dihitung anak baru di sini soalnya aku baru masuk sekolah ini sekitar satu bulan yang lalu. Aku juga nggak punya tempat tinggal sama sekali waktu itu," lanjutnya.

"Terus, kamu tinggal di mana sekarang?" tanyaku.

"Aku tinggal di kandang sapi."

Dia nyengir, sedangkan aku menganga.

"Beneran?" tanyaku. Aku orangnya gampang percayaan, lho, lanjutku dalam hati.

"Beneran." Kali ini raut wajahnya serius dan meyakinkan. "Temenku ada yang kerja di kandang sapi, ngurusin sapi-sapi orang. Di sana ada tempat tidur sama tempat MCK-nya buat pekerja. Aku tinggal di sana, temenku di rumahnya."

"Aku bisa tinggal di sana?" tanyaku.

"Kalau kamu cowok, bisa tinggal sama aku," jawabnya. "Masalahnya kamu cewek, sih."

Aku berpikir sejenak. Dia ada benarnya juga. Namun, aku tidak punya pilihan lain. Aku harus punya tempat tinggal di mana aku bisa terus menetap di sana sambil menunggu perpustakaan selesai direnovasi. Sebenarnya, bisa saja aku tinggal di kandang itu. Asalkan si Gabin bisa diusir keluar saja.

"Kamu betah tinggal di kandang?" tanyaku pada Gabin.

"Yah, begitulah."

Aku menyipitkan kedua mata. Maksudnya 'yah, begitulah' itu apa?

"Anu, temenmu keberatan, nggak, kalau kamu tinggal di rumahnya? Biar aku yang nanti tinggal di kandang," usulku.

Gabin terdiam sejenak.

"Kalau gitu, ayo ke kandang," ajaknya. "Nanti kamu aku kenalin sama temenku itu."

🐦‍⬛🐦‍⬛🐦‍⬛

Library of RavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang