🐦‍⬛ :: Bab 4 :: 🐦‍⬛

7 1 0
                                    

Aku duduk termenung di atas teras koridor kelas. Duduk bertopang dagu, merenungkan ekspektasi yang luntur soal Pak Raven. Ditambah lagi 'penampilan' pertamaku di tahun 1995 benar-benar meninggalkan kesan buruk. Itu karena sangking paniknya, lisanku jadi asal berucap ke anak-anak nakal itu.

Argh! batinku frustrasi sambil menunduk dan memukul-mukul kepalaku.

Gara-gara mulut sialanku, aku pasti akan digosipkan suka sama Raven si pembawa kabar duka itu!

"Heh, kamu! Cepetan berdiri!"

Aku mendongak. Kulihat ada sosok gadis yang tengah berdiri dengan posisi bersedekap. Wajahnya terlihat angkuh, dagunya menaik dan sorot matanya seakan menatapku dengan tatapan menghina. Gadis itu didampingi oleh dua temannya bak seorang putri raja bersama dayang-dayangnya.

Ini perpeloncoan, 'kah? pikirku.

Daripada jadi masalah yang membuatku semakin pusing--karena aku sudah pusing sekarang gara-gara kejadian di kelas itu, aku pun berdiri.

Plak!

Ah, apaan, sih? batinku sambil memegangi pipiku yang ditampar olehnya.

Saat aku melotot ke arahnya, dia menampar pipiku lagi. Sekarang yang sebelah kiri.

Plak!

PLAK!

Tanpa sadar, aku balas menamparnya lebih keras. Dia memegangi pipinya yang terkena tamparanku tadi sambil melotot marah.

Peduli setan pada jantungku yang berdebar-debar karena takut pada aura galak gadis ini. Salah sendiri tidak jelas, tiba-tiba main tampar saja. Dasar gadis gila. Mana wajahnya mirip denganku, lagi. Rasanya seperti menampar diri sendiri tadi.

Eh, tunggu.

Wajahnya mirip denganku? Jangan-jangan--

"Kamu yang katanya suka sama Raven itu, 'kan?!" Dia membentak.

"Anu, itu--" Aku bingung mau jawab apa. Untunglah temannya yang ada di sebelah kirinya langsung menengahi.

"Sya, apa nggak berlebihan? Dia ini anak baru di sekolah," ucap temannya itu.

Gadis yang dipanggil 'Sya' tadi langsung menoleh dengan ekspresi kaget ke arah temannya tadi.

"Lho, kok baru kasih tau sekarang, sih? Udah terlanjur aku labrak anaknya," katanya.

Aku memasang raut wajah datar.

Apaan, sih? batinku.

"Anu, aku emang suka sama Pak Raven tapi bukan suka dalam artian romantis, kok." Aku menggoyang-goyangkan kedua telapak tanganku ke arah mereka. Mencoba memberikan pengertian ke gadis-gadis gila, walaupun aku sendiri juga seperti orang aneh di sini.

"Pak Raven?" Kedua teman si 'Sya' itu menahan tawa. Sementara itu, si 'Sya' sendiri mulai berkacak pinggang dengan mata melotot penuh emosi.

"'Pak Raven' itu panggilan sayang, ya?!" Si 'Sya' kembali membentak. "Asal kamu tau aja, yang boleh suka sama Raven Banyubiru Hatta itu cuman aku, Natasya Reanna seorang!"

Jantungku berdegup kencang.

Natasya Reanna?

Itu, 'kan--

"IBU?!"

Aku meraih kedua pundaknya, kedua mataku membesar. Ibu--dalam balutan seragam SMA dan wajah mudanya--mengerjap-ngerjap, dia terlihat syok. Namun, kupikir aku jauh lebih syok lagi. Sementara itu kedua teman Ibu saling menatap satu sama lain dengan raut wajah bingung.

"Ibu pacaran sama Pak Raven? Kenapa nggak lanjut aja sampai nikah? Kenapa Ibu harus nikah sama orang yang lebih mentingin kuliah adeknya daripada karirnya sendiri? Kenapa, Bu?!"

Aku mengguncang-guncang tubuh Ibu, tak peduli pada raut wajahnya yang benar-benar syok dan bingung.

"Ah, lepasin!" Dia melepaskan kedua tanganku dengan kasar. "Pokoknya, aku maafin kamu karena kamu ternyata masih anak baru dan nggak tau soal ini. Jadi, biar aku kasih tau sesuatu."

Dia berkacak pinggang sambil menarik napas panjang. Setelah itu, dia melanjutkan kata-katanya.

"Di sekolah ini, yang boleh suka sama Raven Banyubiru Hatta itu cuman aku."

Aku mengerjap-ngerjapkan kedua mata.

"Ah, iya! Bener!" seruku dengan telunjuk yang mengarah padanya. "Harusnya Ibu cuman suka sama Raven Banyubiru Hatta, bukan Agus Atmanto!"

"Pfft." Ibu menahan tawa dan kembali bersedekap. Dia menoleh ke arah temannya, kali ini teman yang ada di sebelah kanannya. "Siapa itu Agus Atmanto?" tanyanya.

Bagus. Ibu tidak tahu siapa Ayah.

"Terus, kamu tiba-tiba manggil aku 'Ibu'," katanya sambil menatapku kesal. "Maaf, ya. Aku bukan ibu kamu."

Mendengar kalimat terakhirnya ibarat mendapatkan gemuruh dari petir yang tiba-tiba menyambar. Segalak-galaknya Ibu, dia tidak pernah sekali pun bicara seperti itu. Namun setelahnya aku tersadar, ini ibuku tahun 1995.

"Ibu, jangan pergi dulu!" Aku berusaha menggapainya yang pergi begitu saja bersama teman-temannya. Akhirnya, aku hanya bisa menatap telapak tangan yang berusaha meraihnya tadi dengan tatapan hampa.

"IBU!"

"HAH, CEWEK GILA!" Dia berteriak ke arahku saat aku mengejarnya.

Aku mengejarnya hingga meninggalkan ekspresi bingung pada kedua temannya yang hanya bisa memandang kami pada akhirnya. Setelah melihat ekspresi dua gadis itu, aku kembali fokus menatap punggung Ibu yang semakin kukejar jadi semakin menjauh. Ibu sesekali menoleh ke belakang dan raut wajahnya terlihat panik saat melihatku masih berusaha mengejarnya.

"Mau kemana ini, heh?" ucap satpam penjaga gerbang sekolah yang mencegat ibuku.

"Tolong, Pak!" Ibu meraih kedua lengan Pak Satpam. Dia sekilas menatapku dengan sorot takut, lalu kembali menoleh ke Pak Satpam. "Tolong, ada anak gila di sekolah ini," lanjutnya.

"IBU!" teriakku.

"AKU BUKAN IBU KAMU, SIALAN!" balasnya dengan teriakan sekencang mungkin.

Setelah mendengar teriakannya, aku pun berhenti.

🐦‍⬛🐦‍⬛🐦‍⬛

[A/N]

Bonus visual eomma-nya Khai 😭

Bonus visual eomma-nya Khai 😭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Library of RavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang