1. Sopir Taksi Dadakan

4.3K 647 41
                                    

"Saya bisa aja nikahin kamu untuk bantu nutup aib. Itu mudah. Tapi setelah anakmu lahir, serahkan ke saya. 1 milyar cukup? Kamu mau melanjutkan hidup, kan?"

-------

Kata orang, mengasingkan diri sementara dapat mengosongkan benak. Mendiamkan sejenak masalah yang buntu jalan keluar, membuka hati yang sempit. Hati sempit sulit menemukan hasil terbaik. Jadi, usaha Lingga ada benarnya. Agar tak berkubang berlama-lama dalam kemelut masa lalu, ia menyingkir ke negeri orang.

Terminal 3 Internasional Bandara Soekarno Hatta lenggang. Ini pukul 9 malam. Lingga melangkah ritmis. Tangannya mendorong troli dengan 2 koper tertata di atasnya. Letih menggelayuti diri usai menempuh 8 jam penerbangan. Seorang sopir telah menunggu di parkiran.

Lingga mengakhiri petualangan menghibur diri setelah perceraiannya 4 bulan lalu. Tepat ketika ia berada di Jaipur, India, pengacara keluarga mengabari jika sang papa meninggal dunia. Mau tak mau, Lingga pulang. Ini adalah penghormatan terakhirnya pada Atmaja Witjaksono. Pria yang tak pernah menganggap Lingga anak.

Pintu sliding mobil mewah itu terbuka otomatis. Kediaman Atmaja masih ramai. Tenda belum dibongkar. Rangkaian ayat suci terdengar mengalun di ruang tengah. Satpam, tetangga dan beberapa karyawan terdekat Atmaja, menyapa Lingga di pintu.

"Mas Lingga, yang sabar ya. Pak Atmaja InsyaAllah sudah tenang di sisi-Nya."

Beberapa ucapan duka berinti sama. Mereka memeluk, memberi tepukan penguatan pada punggung. Tak lupa bahu. Lingga membalasnya dengan mengangguk.

Ia mendapati mama tiri dan adik perempuannya duduk bersama jamaah lain. Beralas karpet Turki tebal nan lembut. Air mata Bu Atmaja dan Lisa menyambut. Kesedihan mencoba merayapi.

"Maafin Papamu ya, Ga? Kami banyak salah sama kamu."

Isakan Mama ditambah Lisa, gagal mengetuk ruang sedih dalam hati Lingga. Perasaan ini masih sama seperti sebelumnya. Dingin. Sedingin hawa malam berselimut hujan.

Lingga sulit menangis. Pria berpakaian serba hitam itu enggan berduka. Wajahnya datar. Menyesal pun tidak. Ia melewati malam berkabung itu layaknya hari-hari lalu. Biasa saja.

-------

Lingga menarik satu sudut bibirnya. Seringai sinis terukir. Tangannya melempar kasar satu map ke atas meja.

"Gue pikir udah dicoret dari daftar keluarga. Masih dianggap ternyata?"

"Ayolah, Bre. Jangan begitu. Selamanya mengalir darah Atmaja dalam diri lo. Nggak mungkin lo nggak dianggap. Buktinya, ini?" Rasyid menunjuk draft warisan di atas meja kerjanya. "Lo nggak perlu lagi repot-repot ngurusin aplikasi lo itu. Tinggal terusin aja bisnis besar Om Atmaja. Beres."

Lingga tertawa. Sekali. Lalu, diperbanyak beberapa kali. Seolah semua berubah jadi lucu. Tambah menggelikan ketika Rasyid menjabarkan satu per satu syarat yang wajib Lingga penuhi.

"Syaratnya istri dan anak?" Lingga mendekatkan tubuhnya ke depan meja. "Satu rahasia yang perlu lo tahu. Nanda ceraiin gue gara-gara gue mandul."

Rasyid kehabisan kata di kursi putarnya. Apakah ia harus mengucap maaf sekaligus pernyataan empati? Padahal lawan bicaranya justru tengah menertawakan nasib sendiri di seberang sana.

"Maaf, gue nggak tahu. Lo nggak ngelibatin gue dalam masalah kalian ini."

Lingga kembali menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Kaki-kaki jenjangnya menyilang santai.

"Tenang aja. Gue udah berdamai kok."

"Berdamai gimana? Putus kontak sama Nanda?"

"Hemm. Gue pikir, ini memudahkan juga. Gue jadi nggak akan mengulang kekejaman bokap ke anaknya. Gue nggak perlu belajar jadi papa yang baik, apalagi sampai mengorbankan anak demi berkumpul sama cinta pertamanya."

Jangan Biarkan Aku Mengemis Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang