18. Berhadapan Dengan Durinya

55 14 24
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

Kepulan asap rokok membumbung tinggi di warung kopi di belakang universitas Merah Putih. Suara senda gurau para pemuda yang bermain UNO adalah suara yang biasa di dengar di sini. Bukan hanya untuk bersenang-senang melepas penat tugas kuliah, beberapa orang yang berhadapan dengan laptop selalu bersanding kopi hitam penghilang kantuk. Jika di bawa mata menghitam itu artinya mereka adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi.

Candra bisa melihat beberapa jenis mahasiswa di warung itu hanya sekali lihat. Ia sama sekali tak berminat untuk melihat lebih lama. Yang ia lakukan saat ini duduk di pojok dengan kaki naik ke atas kursi panjang yang ditekuk sembari dipeluk erat olehnya. Wajahnya ia tenggelamkan dalam cela lutut.

"Minum, Can," ujar Hendery meletakkan gelas panjang berisi es cappucino, pemuda itu tahu karena ia mengintip sebentar, tetapi kembali menyembunyikan wajah.

"Kenapa temen lo?" tanya Raihan seraya menghisap batang rokok dan menghembuskan asapnya melalui dua lubang hidung.

"Biasa," jawab Hendery yang menyeruput kopi hitam di tatakan yang sudah didinginkan sebelumnya.

Hendery membawa Candra nongkrong dengan senior Mapala mereka. Beberapa calon anggota Mapala lainnya juga ikut seperti Januar dan Chiko.

"Biasa apa?" tanya Chiko, pemuda yang jarang tersenyum itu memperhatikan Candra.

"Cowok kalau dah gini alesannya cuma dua, kalau gak asmara ya tekanan orang tua. Coba pilih satu," titah Hendery malah membuat mereka berpikir keras.

"Si monyet!" celetuk Raihan melemparkan kulit kacang ke arah Hendery.

"Gue salah?" tanya Hendery.

"Nih, Can. Nyebat bareng gue, biar gak spaneng otak lo." Raihan melemparkan satu kotak rokok ke meja di depan Candra.

Candra akhirnya menurunkan kaki, ia menyandarkan punggung ke tembok dengan wajah masih lesu. Kemudian tangannya terulur ke depan hendak meraih rokok, tetapi kotak rokok itu disentil menjauh oleh Hendery.

"Gue kasih es cappucino malah milih rokok. Nih." Hendery menarik tangan Candra untuk memegang gelas berisi es itu. "Minum, lebih enak ini dari rokok, Can."

"Rokok enak anjir," debat Raihan.

"Ya elo aja yang ngerokok, Bang, jangan ajak-ajak," celetuk Hendery lalu kembali menyeruput kopinya.

Dalam perdebatan itu, Candra meminum esnya dan meletakkan kembali ke meja.

"Dih, gak ada yang ngerokok lo semua?" tanya Raihan melihat juniornya itu satu persatu.

"Gue gak ngerokok," jawab Januar.

"Sama," sahut Chiko.

"Hahahaha," kelakar Yahya senior angkatan di atas Raihan yang membanting topi ke meja. "Bersih semua lo! Gue doang yang kotor," lanjutnya masih tertawa.

"Ya gak apa-apalah, daripada kayak kita. Kebablas," balas Raihan ikut tertawa. Lalu pemuda tampan itu melirik Candra yang masih terdiam. "Udah ... lo mikirin masalah lo gak akan ada habisnya. Enjoy aja, kalau masalah itu ada di depan lo, hadapi, selesaikan. Kalau lo kebanyakan mikir berakhir jadi tekanan. Gak baik buat otak kita." Raihan mendesis, kembali mengembuskan asap dari mulutnya.

"Denger, Can," sahut Hendery setuju dengan Raihan.

Candra melirik sinis. "Lo aja yang lebay. Emang gue seputus asa itu sampai lo nyamperin gue."

"Ya elo, kenapa ngomong gitu, kayak orang putus asa. Kan, gue jadi panik," bela Hendery.

"Sebenernya lo kenapa, Can?" tanya Januar.

Hendery melirik Januar, dari tatapannya, pemuda itu seperti sedang memberikan isyarat pada Januar.

Januar mengangguk paham dan mendapatkan pandangan aneh dari Chiko yang memperhatikan. Dua orang di depannya tadi seolah melakukan telepati.

"Cewek lo kenapa?" tanya Januar to the point.

"Gak tau, ribet," jawab Candra malas menanggapi lebih panjang.

Januar menggeleng seraya berdecak. Orang patah hati ternyata semenyebalkan itu.

"Kayaknya dia gak melihat lo in romantic way deh, Can," ujar Hendery. "Dia ambis, kan, dan lo cuma bagian dari keambisannya," lanjut Hendery yang semakin membuat Candra seperti ditampar kenyataan.

"Kata temen gue, cinta itu penyakit yang susah disembuhin. Rindu, khawatir, sayang itu gejalanya. Mending sebelum lo terlalu dalam, lo naik deh ke permukaan. Jangan dulu main begitu, meskipun keliatannya emang indah," timpal Januar mengemukakan pendapatnya.

Yahya yang mendengar itu mengangguk seraya meminum kopinya. "Ah ... bener kata Januar." Tangannya meletakkan gelas di meja. "Kalau cinta ngebuat hidup lo kacau, mending dipending dulu. Fokus karir, bukan berarti lo ngelepas perasaan itu." Yahya menepuk dadanya. "Perasaan itu tetap ada, cuma lo sisihkan bentar. Di saat kehidupan lo stabil, kejar lagi perasaan lo."

Raihan menggeleng mendengar perkataan Yahya, seakan takjub pada seniornya itu. Seraya menunjuk Yahya, dia berkata, "Denger, sepuh kita dalam percintaan nih, Bos!" ledek Raihan yang kemudian tertawa keras. "Padahal punya satu ajak gak pasti!" lanjutnya semakin keras tertawa yang mengundang semua untuk tertawa kecuali Candra.

Bagian mananya anjir yang lucu.

Memang begini jika sudah terlalu dalam, pendapat mana pun tak akan masuk dengan baik ke otak. Seolah hanya lewat di kepala karena tak didengarkan baik-baik. Terlalu mudah diucapkan daripada dilakukan, dalam kata lain mereka menyuruh dirinya menjauhi Cinta.

Tidak semudah itu. Bayangkan yang tiap harinya bertemu untuk berkomunikasi, menjadi asing tiba-tiba. Seolah dirinya yang akan terlihat jahat.

Di perjalanan pulang, Hendery mengantar pemuda itu. Waktu menunjukan pukul 9 malam tadi sebelum meninggalkan warung. Jalan rumah Candra melewati kafe Cinta bekerja, saat di lampu merah pemuda itu menatap lurus tempat itu tanpa ekspresi. Meski tak terlalu jelas, eksistensi gadis di belakang kasir itu masih bisa ia temukan.

Gadis itu kemudian keluar, membawa  trash bag hitam yang di buang ke tempat sampah. Cinta terlihat baik-baik saja, pertengkaran mereka seakan tak menimbulkan efek yang ketara. Jadi benar kata Hendery, ia hanya bagian di jalan keambisan gadis itu yang bisa disingkirkan kapan saja jika mengganggu.

Ketika pemuda itu diturunkan di depan rumah, Hendery melihat dengan perihatin.

"Ini pertama kalinya lo jatuh cinta?" tanya pemuda itu. Diamnya Candra menjadi jawaban pasti baginya.

"Kata nyokap gue, perempuan itu kayak mawar—"

"Berarti lo sekarang berhadapan dengan durinya," potong Hendery. "Kata gue lo jalanin aja. Ikuti aja mau dia apa, mencintai gak harus memiliki, kan, Can. Kalau perasaan lo tulus, dampingi dia sampai dia menjadi apa yang dia mau."

Saran Hendery masuk ke otak Candra. Alih-alih menyuruhnya menjauh dari Cinta, pemuda itu menyuruhnya mendampingi gadis itu.

"Lo tau begini dari siapa?" tanya Candra pada akhirnya karena penasaran. "Lo jatuh cinta juga?"

"Kenapa harus jatuh cinta dulu buat ngasih nasihat? Gue cuma belajar dari kakak perempuan gue. Perasaan perempuan itu berlapis. Apa yang dia tunjukan hari ini gak bisa lo jadikan patokan di hari berikutnya. Kalau dia udah nunjukin sifat yang konsisten ke elo, berarti dia udah percaya sama lo." Hendery menepuk pundak Candra. "Just let it flow."

TBC



Shooting Star | Chenle [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang