Prolog

98 9 10
                                    

Hai, yang pernah menyeruku supaya berdiri di bawah panasnya bagaskara

Hai, yang pernah menganggapku tak mau bergerak, sedangkan yang lain di mode membara

Hai, yang pernah mentertawakan saat aku tak kuasa menahan lelahnya kepala

Hai, yang pernah sukses mematahkanku dengan sayatan anala maupun gula

Cuma mau bilang ... ternyata waktu itu pelukan Lupus sedang terasa mengendus. Tahu kok, kalian ada yang punya niat lurus meskipun terkadang caranya bikin hati tak terurus. Bisa dikira-kirakan, kekuatan seorang penyintas Lupus yang belum terobati tertuntut untuk bergerak sama dengan dia yang tidak dipeluk Lupus. Gimana, paham kan? Aku butuh istirahat lebih, Sayang! Bodohnya, diri ini juga belum sadar jika dipeluk Lupus!

Diary Lupus 17 merupakan kisah dari L, gadis berusia 17 tahun divonis SLE, yang mana akan diceritakan dalam bentuk puisi dan quotes

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Diary Lupus 17 merupakan kisah dari L, gadis berusia 17 tahun divonis SLE, yang mana akan diceritakan dalam bentuk puisi dan quotes. Start kisah ini nanti dimulai dari masa remaja-- bayi--sekarang. Mohon maaf, fokusnya bukan model romance perbucinan ke dia ya ... wkwkw, melainkan romance perbucinan ke diri sendiri. LOVE MY SELF.

Kenalan dulu Guys sama topik utama. Nama sakitnya SLE, Systemic Lupus Erythematosus. Berdasarkan riset, Autoimun punya banyak jenis. Runtutnya yang terjadi ke L itu begini, terkena Autoimun jenis Lupus tipe SLE. Lupus bukan penyakit menular, melainkan sakit yang berperang dengan kawannya sendiri.

Cerita singkat detik-detik divonis

Sekitar Januari/Februari 2021.
Kala itu, dunianya semakin hari seakan terasa tak karuhan. Air mata kerinduan suka merayap. Keinginan terbesarku cuma satu, pengen pulang dari pesantren untuk berkumpul bersama keluarga. Kalau harapan terbesarku di pesantren, hanya ingin bisa saling bertemu dengan keluarga, teman, dan orang baik yang tersusun manis di hatiku alias setiap saat pengen disambang.

Sakitku ini tidak terlalu kuanggap sakit, karena gejala awal yang menonjol layaknya orang kecapean saja. Nyeri sendi secara bergantian dan mulai tumbuh bercak merah di bagian jempol. Pengurus kesehatan mengantarkanku untuk berobat setelah aku diulti orang tua. Bukan karena pengurus tidak mau mengantarku berobat untuk sebelumnya, tetapi aku yang memang tidak mengatakan sedang sakit dan tidak terlihat kalau aku sedang sakit.

Dari sana sudah ada perkiraan diagnosis, kemungkinan terkena Autoimun. Momen tegang dalam sesuatu yang belum pasti pun teriring, bahkan kulihat jelas ibuku yang trending strong, wajahnya bisa juga terlihat begitu panik.

"Ibunya nggak usah terlalu panik, ini masih perkiraan. Nanti kalau sudah senggang di pesantren, pulang dulu untuk coba ke lab," kata dokter.

"I-itu bukan sejenis---" tanya Ibu terjeda.

"COVID?" lanjut Kakak dokter.

"Bukan sejenis Kanker?" tanya Ibu.

DIERRRR!

Diary Lupus 17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang