"Uang dari mana? Kamu pikir bayar kuliah pakai daun, hah?! Jangan bikin susah!" Seruku menahan emosi.
Gadis itu semakin menunduk ketakutan mendengar suaraku yang menggelegar. Sejak pindah ke rumah ini, aku bisa meluapkan emosiku padanya. Hal yang tidak bisa aku lakukan saat kami ada di rumah ibu dulu, selama beberapa hari setelah menikah.
"Aku bayar sendiri, Mas. Aku memiliki tabungan pendidikan yang bisa dipakai untuk membayar biaya kuliahku hingga selesai. Bunda dan ayah sudah menyiapkan sebelum mereka meninggal." Husniah berkata dengan suara yang begitu kecil sambil mengusap sudut matanya.
Aku menarik nafas dalam-dalam, ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku sudah membentaknya. Harusnya dia ini anak kecil saja, aku akan menjaganya seperti adikku, bukan menjaganya sebagai istriku.
Dengan cepat kuhabiskan makanan yang ada di piring dan berniat segera pergi bekerja. Sepertinya aku akan lebih nyaman tinggal di kantor daripada di rumah.
"Mas, boleh ya," pintanya sambil membuntutiku yang hendak pergi bekerja.
"Besok Minggu kita cari kampus yang cocok denganmu," sahutku dingin.
Biarlah dia melakukan apa yang dia inginkan, aku tidak ingin tahu juga seberapa banyak uang yang dia miliki. Kalau dia sampai tidak sanggup membayar dan harus putus di tengah jalan, aku juga tidak akan peduli.
"Terimakasih, Mas," ucapnya sambil membungkukkan badannya berulang-ulang.
Astaga ... Siapa yang dia ikuti dengan melakukan hal seperti itu.
***
Minggu malam.
Sebelum mencari kampus untuk Husniah, kami browsing terlebih dahulu. Aku sengaja melakukan agar tidak banyak membuang waktu. Mencari di mesin pencari itu beberapa kampus, lihat jurusan dan juga biaya kuliahnya baru survei tempat.
"Mas, aku mau lihat kampus ini, ini dan ini," ucap Husniah sambil menggeser tiga gambar dari smartphonenya padaku. Beberapa website kampus yang sudah discreenshot olehnya.
Setelah menyerahkan ponselnya padaku, gadis itu kembali duduk di sofa yang ada di depanku. Aku memang tidak mengijinkannya duduk di sampingku apalagi di dekatku.
"Mau ambil jurusan apa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari beda pintar milik Husniah.
Aku sibuk menggeser dan membaca nama kampus juga alamatnya.
"Akuntasi, sekertaris, atau apa saja yang berhubungan dengan perkantoran," sahut Husniah.
"Kenapa mau ambil jurusan itu?"
"Biar aku bisa mandiri, bisa bekerja di kota ini dan tidak menyusahkan Mas Hanan lagi. Aku bisa pergi dari sini setelah cukup mandiri dan mengerti keadaan kota ini, aku bisa menghidupi diriku sendiri saat sudah bekerja. Mas Hanan bisa bebas dariku, saat pulang kampung kita bisa pura-pura jadi suami istri agar Ibu tidak khawatir," tuturnya panjang lebar dengan mata berbinar.
Beberapa saat yang lalu aku tertarik melihatnya saat dia mengungkapkan segala keinginannya. Binar itu tak pernah kulihat selama ini, baru malam ini saja aku melihatnya. Mata kami bertemu, dadaku berdebar. Shit! Perasaan apa ini, itu hanya mata bocah ingusan.
Aku segera menguasai diri. "Kamu pikir semudah itu mendapatkan pekerjaan di kota. Setiap tahun banyak lulusan yang jadi pengangguran. Jangan terlalu tinggi berkhayal!" Seruku dengan suara kembali meninggi.
"Setidaknya aku sudah berusaha," cicitnya sambil menunduk kembali.
Aku geram pada diriku sendiri, kenapa mulutku selalu pedas padanya. Apa aku akan dimurkai Tuhan karena menyakiti hati anak yatim piatu. Ah dia bukan anak-anak lagi, bahkan status dia sudah sebagai istri.
***
Perlahan aku menjalankan kendaraan roda empat milikku keluar gerbang. Lalu menunggu Nia naik ke mobil setelah sebelumnya gadis itu mengunci gerbang dari luar.
Hidup di kompleks sangat membantuku, setidaknya tidak ada yang kepo dengan kehidupanku. Bu Mery yang bertanya siapa gadis di rumahku beberapa waktu yang lalu juga bukan orang yang rajin bergosip. Jadi aman-aman saja, tidak akan ada yang peduli dengan hubunganku dengan Nia.
Aku hanya mengatakan pada ketua RT tentang status Nia yang sebenarnya saat aku melaporkan ada warga baru yang tinggal di rumahku.
"Kita coba kampus paling dekat dulu." Aku berkata tanpa beralih padangan dari jalan.
"Iya, terimakasih ya, Mas. Mau anterin cari kampus," ucapnya dengan tulus.
"Hemmm."
Kami sampai di kampus pertama, setelah memarkirkan kendaraan, kami langsung menuju ke pusat informasi. Bertanya tentang banyak hal di sana. Meminta brosur lalu keluar lagi setelah cukup mendapatkan informasi. Sepertinya Husniah tidak tertarik dengan kampus ini.
Kami kembali ke mobil, berkendara menuju kampus ke dua. Di kampus ke dua, kami melakukan hal yang sama. Dan lagi, Husniah terlihat tidak tertarik. Aku menarik nafas dalam-dalam.
"Kalau kampus ketiga ini kamu tidak suka juga, carilah sendiri. Capek aku!" ucapku mengancamnya.
"Maaf ya, Mas."
"Minta maaf saja terus!" Seruku ketus.
Gadis itu diam, dan lagi-lagi mengigit bibir bawahnya. Bocah cupu seperti ini bagaimana mau kuliah di kota besar. Akan seperti apa dia saat di kampus nanti.
Di kampus ke tiga kami melakukan hal yang sama seperti di kampus pertama dan kedua. Sepertinya di tempat ini, Husniah tertarik.
"Anaknya mau mengambil jurusan apa, Pak?" tanya wanita yang sejak tadi memberi penjelasan kepada kami.
Mataku membulat mendengar perkataan wanita itu, dia bilang Husniah anakku dan aku bapaknya.
"Beliau bukan Bapak saya, Mbak. Saya saudara jauhnya," terang Husniah sambil tersenyum.
"Maaf, Pak," ucap wanita itu sambil menatapku tak enak.
"Apa aku setua itu?"
"Bukan bapak yang terlihat tua, tapi Mbak ini terlalu imut," tutur wanita berseragam itu sambi tersenyum.
Apa kubilang, Husniah memang bocil. Bisa-bisanya dikira anakku.
Karena tertarik dengan tempat ini, gadis itu meminta formulir lalu memintaku untuk menunggunya berkeliling kampus dulu. Baru hendak berjalan tiba-tiba ponselku berdering, panggilan dari Lita, wanita idamanku.
"Mas, aku lagi ada di mall. Bisa ke sini gak? Jalan-jalan sambil nonton yuk." Lita berbicara dari ujung telepon.
Aku menatap ke arah Husniah yang begitu antusias untuk melihat calon tempat belajarnya. Ingin menemaninya tapi aku juga lebih ingin pergi menemui Lita.
"Gimana, Mas? Mau gak? Kalau gak mau juga gak apalah, aku mendadak juga ngajakinnya." Lagi, terdengar suara dari Lita karena tidak segera mendengar jawaban dariku.
"Mau, tunggu," jawabku tanpa berpikir lagi.
Lita mematikan sambungan telepon kemudian tak lama setelahnya mengirim lokasi dimana dia berada.
"Nia, kamu pulang sendiri ya. Nanti aku kasih tahu kudu naik apa lewat pesan singkat. Atau kalau enggak kamu naik ojek aja, nanti kukirim alamat lengkap rumah."
Husniah baru beberapa hari tinggal bersamaku dan dia memang tidak tahu alamat rumah yang kami tinggali dengan lengkap.
Tanpa menunggu jawaban dari gadis itu, aku meninggalkannya begitu saja. Memilih menemani pujaan hatiku. Tidak peduli kalau gadis itu kecewa daripada aku mengecewakan hati Lita.
***
Teman, novel ini sudah terbit di PlayStore, cara menemukannya:
1. Buka PlayStore
2. Tap menu buku yang ada di sudut kanan bawah.
3. Ketik judul bukunya di kolom pencarian.
4. Cari dan temukanlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESONA ISTRI YANG KUABAIKAN
Любовные романы"Tidur di kamar sebelah, jangan tidur di sini. Aku tidak suka kamu tidur di kamarku," ucapku pada gadis berusia dua puluh tahun, yang baru saja menikah denganku. Kami menikah seminggu yang lalu, setelah itu aku harus membawanya ke kota. Tinggal ber...