Part 1

2.4K 43 1
                                    

"Tidur di kamar sebelah, jangan tidur di sini. Aku tidak suka kamu tidur di kamarku," ucapku pada gadis berusia dua puluh tahun, yang baru saja menikah denganku.

Kami menikah seminggu yang lalu, setelah itu aku harus membawanya ke kota. Tinggal bersama denganku di kota ini. Bukan tanpa sebab aku tak ingin tidur dengannya. Aku tidak begitu mengenalnya, dan juga tidak menyukainya apalagi menaruh hati padanya.

Aku menikah dengannya karena dipaksa oleh Ibu, wanita yang sudah melahirkanku itu tiba-tiba saja memintaku pulang dan menikahi gadis ingusan itu.

Bagaimana tidak ingusan, aku yang sudah berusia tiga puluh tiga masa menikah dengan wanita berusia dua puluh tahun. Dia tidak pantas menjadi istriku. Sudahlah kurus, kecil, dan tidak modis sama sekali. Bajunya semua terlihat panjang dan kedodoran di badannya yang mungil dan kurus itu. Setiap hari, kulihat dia memakai rok panjang dan kaos lengan panjang, tak lupa kerudung segi empat yang dilipat kemudian dipakai asal di kepalanya untuk menutupi rambutnya.

Husniah - nama gadis itu- menerima selimut yang aku sodorkan dengan menunduk. Dan aku pastikan matanya berkaca-kaca. Menyebalkan memang tingkahnya selama aku bersamanya beberapa hari ini.

"Jangan galak padanya, Han. Kalau kamu belum bisa mencintainya sebagai istri, sayangi dia selayaknya kamu menyayangi adik perempuan. Kasian Nia, dia sudah tidak memiliki siapapun di dunia ini," pesan Ibu terngiang di telingaku.

"Sial!" Umpatku dalam hati.

"Sini!" sentakku. Kurebut kembali selimut dari tangannya.

"Biar aku yang tidur di kamar tamu." Aku berkata sambil berlalu meninggalkannya.

Kuhemapaskan tubuh lelahku di atas tempat tidur yang berada di kamar tamu. Aku lelah jiwa raga, bisa-bisanya aku terjebak bersama gadis itu. Sampai kapan aku akan berada di situasi ini.

****

Pagi-pagi sekali, aku sudah mendengar suara berisik dari arah dapur. Kulihat gadis itu sedang sibuk di dapur, entah apa yang dilakukannya. Aku mendekat untuk melihat apa yang dilakukan. Kalau kenapa-kenapa aku juga yang nanti kena masalah.

Aku duduk di atas kursi mini bar dapur untuk mengawasi gadis itu.

"Sudah bangun, Mas? Aku buat kopi untukmu," ucap Nia sambil meletakkan secangkir kopi di hadapanku.

Dari tempatku duduk, memang sangat jelas situasi dimana Husniah berada.

"Aku mau masuk kerja hari ini, kamu tinggal saja di rumah, jangan keluar kemana-mana, jangan melakukan pekerjaan berbahaya, jangan membuka pintu untuk siapapun," pesanku panjang lebar.

"Baik, Mas," sahutnya pendek.

Dia selalu mengatakan iya, baik, atau hanya menangis. Bagaimana bisa aku menghabiskan seumur hidupku dengan wanita desa seperti ini. Penurut sih penurut, tapi tidak begini juga.

"Mau aku bikinin sarapan apa, Mas. Aku lihat di kulkas ada telur, di dalam situ juga ada mie instan," lirihnya sambil menunjuk pada Kabinet Dinding yang berada di atas kitchen sink.

"Aku sarapan di kantor saja, kamu aja yang makan itu. Aku belum belanja, makan seadanya dulu. Nanti pulang dari kantor aku bawakan bahan makanan," tuturku panjang lebar.

Husniah hanya diam dan mengangguk.

Setelah menghabiskan kopiku, aku segera kembali ke kamar. Mandi, kemudian bersiap-siap ke kantor.

"Lain kali Nia yang siapin baju buat Mas Hanan boleh?" tanya Husniah yang sudah masuk ke kamar setelah aku selesai memakai baju.

"Tidak perlu," tolakku. "Aku biasanya menyiapkan semuanya sendiri.

Aku berlalu dari hadapannya, bersiap untuk berangkat. Gadis itu mengekor langkahku, dia hendak mencium tanganku namun aku menolaknya. Malas rasanya bersentuhan kulit dengannya.

"Lebih baik kamu buka pintu gerbang," perintahku sambil berlalu masuk ke dalam mobil.

Tanpa membantah, Husniah membuka pintu gerbang untukku. Sebelum aku melajukan kendaraan roda empat itu, aku berhenti sejenak di depan gadis itu dan membuka jendela mobil.

"Tutup lagi gerbangnya dan jangan sembarang buka untuk orang asing," pesanku.

Dia biasa berada di desa, makanya aku banyak berpesan ini itu padanya. Kalau terjadi apa-apa pada gadis itu, Ibu bisa menyalahkanku.

"Pagi Mas Hanan, itu siapa? Kok ada anak gadis di rumah Mas Hanan sekarang?" tanya Bu Mery, tetangga depan rumahku.

"Pembantu saya, Bu," sahutku asal.

Bu Mery tersenyum pada Husniah lalu kembali menutup pintu gerbangnya. Sepertinya wanita itu tadi baru saja membuang sampah.

"Tutup lagi pintu gerbangnya," perintahku pada gadis kurus itu.

"Mewek lagi?!" Seruku dalam hati.

Mata gadis itu berkaca-kaca sambil mengigit bibir bawahnya. Apa dia tersinggung karena aku bilang dia pembantu. Ah bodoh amat, memang dia terlihat seperti itu.

PESONA ISTRI YANG KUABAIKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang