Pintu gerbang terbuka begitu aku hendak turun dari mobil. Tampak sosok gadis kurus mendorong pintu beroda itu dengan semangat. Aku urung turun dari kendaraan dan langsung menjalankan mobil masuk ke garasi mobil.
"Baru pulang, Mas?" tanya Husniah begitu aku turun dari mobil dan gadis itu kembali menutup pintu gerbang.
"Dah tahu nanya!" sahutku sinis.
Kenapa hanya dengan melihatnya membuat moodku rusak. Aku memang pulang cukup malam, jam sembilan. Tadi saat mampir ke rumah Lita, orang tua wanita itu malah mengajakku makan malam, lalu tak terasa waktu sudah beranjak malam. Aku pulang dari rumah Lita jam delapan, dan baru sampai rumah satu jam kemudian.
"Mas Hanan sudah makan?" tanya Husniah sambil berjalan mengikutiku masuk ke dalam rumah.
"Sudah."
Krrukkk ... terdengar suara perut gadis itu berbunyi. Bunyi perut yang belum diisi.
"Kalau kamu lapar, makan saja sana! Lain kali gak usah nungguin aku," seruku sembari berlalu menuju kamar.
Aku ingin mandi dan segera beristirahat, badanku rasanya sudah sangat lelah. Ah iya, aku sampai lupa belum membelikan bahan makan untuk gadis itu. Biarlah masih ada telur dan mie instan. Biar saja besok dia makan lagi dua makanan itu. Kalau dia pandai memasak seperti kata Ibu, pasti dia tidak hanya akan makan mie dan telur. Ada beras di dapur, dia bisa makan nasi pakai telur dadar.
Aku memindai kamar, semua terlihat rapi, tas besar milik Husniah juga sudah tidak ada di tempat ini. Mungkinkah dia sudah memindahkan isinya ke dalam lemari. Tanpa minta ijin padaku.
Segera kubuka lemari bajuku. Tidak ada baju milik gadis kurus itu.
Telingaku mendengar pintu kamar terbuka, gadis itu yang membukanya dan hendak masuk ke dalam kamar.
"Lain kali ketuk pintu jika ingin masuk. Ini kamarku bukan kamarmu. Jangan mentang-mentang Ibu sudah menikahkan kita, kamu bisa berbuat seenaknya, bertingkah seperti istriku." bentakku pada Husniah.
"Maaf, Mas," lirihnya sambil menunduk.
Pasti nangis lagi.
"Nangis lagi, nangis terus. Dasar bocah!"
Gadis itu mundur dan berbalik arah, hendak keluar lagi dari kamar ini.
"Mau kemana!" Aku bertanya dengan nada cukup keras.
"Mau ke kamar sebelah. Biar Nia yang tidur di sana. Daripada Mas Hanan bolak-balik dari kamar ini ke kamar sebelah," sahutnya dengan nada bergetar menahan tangisan.
"Bagus jika kamu mengerti, sudah bagus aku membawamu bersamaku, kamu harus tahu diri."
Husniah mengangguk lalu berpamitan untuk pergi ke kamar sebelah. Aku membuang nafas kasar, bagaimana aku akan menikah dengan Lita jika ada gadis ingusan itu bersamaku.
***
Hanya ada suara sendok beradu dengan piring, aku makan nasi goreng yang dibuat oleh Nia sebelum berangkat kerja. Meskipun di rumah tidak ada apa-apa, nyatanya gadis itu memang kreatif. Pagi ini dia tidak menawariku dengan mie instan dan telur tapi sudah memasak nasi goreng dengan aroma yang begitu menggoda indera penciumanku. Tampilannya juga menarik membuatku tak bisa menolak ajakannya untuk sarapan terlebih dahulu.
Rumahku juga terlihat jauh lebih rapi dan bersih, mungkin Husniah membersihkannya kemarin. Rumah ini biasanya hanya aku bersihkan seminggu sekali saat hari libur. Atau kalau sedang malas, aku akan memanggil jasa orang yang bisa membersihkan rumah sekali waktu. Urusan baju juga aku laundry. Kehidupanku yang sendirian di kota ini, membuatku melakukan segalanya sendiri.
Rumah bergaya minimalis dengan tipe 36/80 ini, aku beli secara angsuran. Hanya mobil saja yang aku beli cash. Gaji yang senilai sepuluh juta sebulan itu aku pakai untuk mencicil rumah sepertiganya, untuk aku kirim pada ibu, untuk aku tabung, dan juga untuk sehari-hari. Aku memang cukup berhemat untuk ukuran pria yang belum menikah.
Saat memiliki istri dan anak, aku menginginkan agar mereka hidup nyaman bersamaku. Sudah memiliki rumah dan kendaraan, agak anak dan istriku tidak harus berpindah-pindah tempat karena masih mengontrak, agar anak dan istriku tidak kehujanan dan kepanasan karena sudah ada mobil. Apa lagi wanita incaranku begitu mulus dan mempesona, aku ingin dia tetap seperti itu setelah kunikahi. Siapa sangka malah dapat istri burik seperti ini. Diajak naik angkot pun tak masalah kalau dia.
"Mas, boleh gak aku kuliah?" tanya Husniah dengan suara yang begitu lirih.
Aku mengentikan suapanku, memandang geram pada gadis kecil itu. Sudah ditampung sekarang malah minta yang aneh-aneh, dia pikir biaya kuliah itu murah. Apalagi di kota besar seperti ini.
"Uang dari mana? Kamu pikir bayar kuliah pakai daun, hah?! Jangan bikin susah!" Seruku menahan emosi.
***
Teman, novel ini sudah terbit di PlayStore, cara menemukannya:
1. Buka PlayStore
2. Tap menu buku yang ada di sudut kanan bawah.
3. Ketik judul bukunya di kolom pencarian.
4. Cari dan temukanlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESONA ISTRI YANG KUABAIKAN
Storie d'amore"Tidur di kamar sebelah, jangan tidur di sini. Aku tidak suka kamu tidur di kamarku," ucapku pada gadis berusia dua puluh tahun, yang baru saja menikah denganku. Kami menikah seminggu yang lalu, setelah itu aku harus membawanya ke kota. Tinggal ber...