"Kamu siapa?" Tanya Lita pada Husniah karena tidak mendapatkan jawaban dariku.
Gadis itu menatap padaku, entah apa maksud dari tatapan itu.
"Saya Nia, Mbak. Pembantu di rumah ini," jawab Husniah sambil tersenyum pada Lita.
Aku merasa lega mendengar jawaban dari Husniah tersebut, tapi sudut hatiku yang lain seperti merasa tidak enak. Entah bagaimana rasanya aku tidak bisa mengungkapkannya.
"Oh, kalau gitu bawa ini ke belakang. Cuci lalu bawa ke sini lagi, ya," perintah Lita pada Husniah.
"Biar aku saja, Ta," ucapku menawarkan diri.
"Kamu ini gimana sih Mas, katanya sakit. Punya pembantu kok malah mau kerjain kerjaan sendiri. Duduk dan kita tunggu saja di ruang tamu," ajak Lita sambil menggandeng tanganku setelah buah-buahan yang dibawanya berpindah tangan.
Husniah menatapku sekilas, kemudian berlalu menuju dapur.
"Dia yang sakit, bukan aku." Kalimat yang hanya aku ucapkan dalam hati saja.
Kami menunggu sambil berbincang, aku merasa Lita sekarang tampak lain. Sepertinya wanita ini memberikan sinyal kalau dia menyukaiku. Wanita itu duduk merapat padaku bahkan tadi sempat menyentuh keningku untuk memastikan aku masih sakit atau sudah sembuh.
"Besok aku sudah masuk lagi, tenang saja," ucapku sambil tersenyum.
"Kalau di kantor tidak ada kamu, rasanya gak enak, Mas."
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan wanita itu.
Husniah datang dengan membawa buah-buah yang sudah berpindah ke piring dan tentu saja sudah dicuci seperti pesan Lita tadi. Gadis itu meletakkannya di meja yang ada di depan kami.
"Sekalian bawain piring kosong dan pisau, ya," perintah Lita pada Husniah lagi.
"Baik, Mbak. Mau minum apa? biar sekalian saja buatkan.
"Air putih saja, aku kurang suka yang manis-manis karena aku dah manis. Ya kan, Mas?" tanya Lita sambil tersenyum padaku.
Aku mengangguk. Husniah menatapku sekilas, lalu kembali pergi ke dapur. Tak lama kemudian membawa semua pesanan Lita. Gadis itu kembali lagi ke dapur begitu Lita tak lagi menyuruhnya. Aku mendengar suara keributan di dapur, mungkin gadis itu beres-beres di sana. Melakukan perannya sebagai pembantu.
"Pembantu kami masih muda banget sih, Mas," ucap Lita sambil mengupas apel.
"Kasian yatim-piatu." Aku berkata jujur, Husniah yatim-piatu.
"Kamu tidak berniat untuk suka padanya, kan. Dia muda, kalau keseringan tinggal dalam satu rumah lama-lama bisa suka. Seperti romansa tuan rumah dengan pembantunya," tutur Lita, dia berkata tanpa mengalihkan fokusnya dari buah dan pisau yang ada di tangannya.
"Aku tidak suka anak kecil," bisikku sambil tertawa.
Aku melakukannya agar tidak terdengar oleh Husniah. Entah kenapa aku tidak tega menyakitinya lagi. Mungkin karena barusan dia menceritakannya tentang Bundanya yang sudah tiada.
Kami terus berbincang-bincang hingga Maghrib menjelang. Husniah masuk ke kamar begitu terdengar suara adzan, gadis itu memang rajin melakukan ibadah. Jauh berbeda denganku yang melakukannya seingatnya dan sesempatnya saja.
Setelah Maghrib berlalu, Lita berpamitan. Wanita itu tadi datang dengan menaiki kendaraan roda dua.
"Sampai ketemu besok, Mas," pamitnya sambil mencium pipiku.
Aku cukup kaget dengan apa yang dilakukannya. Selama ini, tak sekalipun wanita itu melakukan hal-hal seperti itu. Namun kini dia melakukannya.
Ah, Lita. Sepertinya kamu memang sedang memberiku lampu hijau.
***
Waktu berlalu, Husniah sudah mulai aktif kuliah. Disela-sela kuliahnya, dia tetap mengerjakan urusan rumah tangga. Rumahku selalu rapi, bajuku tak pernah masuk ke laundry lagi. Setiap keranjang baju kotor mulai menggunung, saat aku pulang kerja sudah kosong. Lalu esok harinya berpindah di atas tempat tidur dengan keadaan sudah rapi dan wangi.
Aku benar-benar seperti memiliki pembantu rumah tangga, gratis. Tak pernah kukeluarkan uang untuknya. Sekali waktu aku pernah memberinya uang bulanan, tapi gadis itu menolaknya dengan alasan tidak memerlukan karena semua sudah tersedia. Aku memang masih seperti dulu, berbelanja sendiri semua kebutuhan dapur dalam jumlah yang banyak dan menyimpannya.
Husniah sangat mandiri, sejak pertama kali masuk kuliah, dia tidak meminta diantar atau dijemput. Aku yang memang bekerja, membiarkannya pergi dan pulang sendiri. Dia ke kampus saat aku sudah berangkat kerja, dan akan sudah berada di rumah saat aku pulang dari kerja. Dia tidak menyia-nyiakan waktunya di luar rumah. Apa dia tidak bergaul juga dengan teman-teman sebayanya di kampus sana. Entahlah, aku juga tidak pernah berniat untuk tahu.
Hubunganku dengannya juga masih sama seperti dulu kami tetap tidur terpisah, aku tidak menganggapnya Istriku. Entahlah kalau Husniah, dia menganggap aku suaminya atau tidak. Tapi dia benar-benar mengurus semua kebutuhanku.
Hubunganku dengan Lita tidak ada kemajuan selain berubah dari teman kerja menjadi teman tapi mesra. Kami mulai bermain melakukan kemesraan meskipun masih dalam batasan. Wanita itu lagi-lagi menunda keinginannya untuk menikah meskipun adiknya sudah lulus kuliah. Dengan alasan, menikah dengan pria satu kantor akan membuatnya kehilangan pekerjaan. Tentu saja, jika kami memang menikah, maka salah satu dari kami harus rela berhenti berkerja. Kantor kami termasuk perusahaan yang melarang karyawannya adalah pasangan suami-istri.
***
Setelah hampir satu tahun bersama Husniah, hari ini aku mulai penasaran dengan apa yang dilakukan oleh gadis itu saat libur kuliah. Biasanya aku memilih untuk pergi keluar bersama Lita jika libur bekerja, tapi hari ini aku sedang tidak ingin melakukannya.
Kukelilingi rumah yang selalu bersih di rapi untuk mencari gadis itu. Namun tak kutemukan di manapun. Saat sampai di bagian belakang rumah, aku mendengar suara-suara dari tempat menjemur baju. Di bagian belakang rumah ini memang sengaja kubuat tangga untuk menuju ke atas.
Bagian belakang yang awal beli belum dibangun, aku bangun dengan dicor. Kalau keren mungkin bisa disebut rooftop, di sana aku letakkan mesin cuci dan tempat menyetrika, dulu juga kutanami berbagai jenis bunga. Tapi karena kesibukanku akhirnya bunga-bunga itu tidak terawat dan mati. Bahkan mesin cuci dan setrika juga terabaikan di atas sana karena aku memilih untuk membawa baju kotor ke laundry.
Kuayunkan langkah menaiki anak tangga satu persatu, aku yakin orang yang aku cari ada di atas sana. Pemandangan indah menyapa indera penglihatanku saat kakiku hampir berada di anak tangga paling atas.
Bunga-bunga bermekaran dan tumbuh dengan subur di pot-pot yang dulu aku abaikan. Bahkan ada juga pohon sayuran seperti tomat dan cabai yang sudah mulai menguning buahnya. Di bagian sudut lain, tempat di mana ada mesin cuci dan tempat setrikaan, berdiri gadis yang aku cari, Husniah.
Gadis itu berdiri membelakangiku, tampak fokus dengan setrikaan sambil mendengarkan ceramah dari aplikasi merah. Rambutnya hitam dan tergerai panjang, sepertinya dia habis keramas jadi tidak memakai kerudung. Aku memang tak memiliki mesin pengering rambut. Untuk apa? Aku tidak membutuhkannya.
Husniah memakai baju terusan panjang tanpa lengan, memperlihatkan hampir seluruh tangannya yang berkulit kuning langsat. Tubuhnya tak lagi kurus seperti dulu, lebih sedikit berisi hingga bajunya tak lagi terlihat kedodoran.
Gadis yang kuhina dengan kata kurus dan dekil itu, kini berubah menjadi sosok wanita dewasa dan aku tidak menyadarinya. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri dan juga wanita yang tidak pernah ingin kunikahi.
Tidak bosan aku memandang sosok itu, yang masih asyik dengan setumpuk pakaian di dekatnya. Dia istriku, aku menelan ludah saat kosa kata itu berkelebat di kepalaku.
Entah keberanian dari mana, aku mendekat padanya dan memeluk tubuhnya. Mencium aroma shampo yang menguar dari rambutnya.
Teman, novel ini sudah terbit di PlayStore, cara menemukannya:
1. Buka PlayStore
2. Tap menu buku yang ada di sudut kanan bawah.
3. Ketik judul bukunya di kolom pencarian.
4. Cari dan temukanlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESONA ISTRI YANG KUABAIKAN
Romansa"Tidur di kamar sebelah, jangan tidur di sini. Aku tidak suka kamu tidur di kamarku," ucapku pada gadis berusia dua puluh tahun, yang baru saja menikah denganku. Kami menikah seminggu yang lalu, setelah itu aku harus membawanya ke kota. Tinggal ber...