7 hari, setelah perceraian.
Jika hidup sebagai seorang ternama dalam jepret kamera, mungkin Sasuke atau Sakura sedikit kesulitan perihal mengurus formulir cerai mereka. Keduanya mengajukan perceraian hasil kesepakatan, pengajuan yang paling sederhana. Datang ke catatan sipil setempat lengkap dengan masker, menghindari siapa saja yang mungkin mengenal. Sasuke, rupanya menggunakan cara liciknya. Dia meminta seorang kenalan untuk bisa membawa pulang formulir perceraiannya dengan Sakura. Dengan begitu, ada alasan agar gadis itu tidak pergi sesuka hati. Mau dibawa ke mana muka Sasuke jika Sakura ketahuan pergi darinya?
Pagi itu, mungkin hari yang telah direncanakan Sakura. Ia seperti telah mengosongkan jadwal operasi, sementara Sasuke harus tetap datang ke departemen pada pukul sebelas siang nanti. Mereka menunggu di sebuah taman, duduk berdua membisu. Hanya suara-suara bocah yang bermain-main di taman itu mengisi keheningan antara mereka. Dulu sekali, ketika Sasuke menyadari Sakura begitu gencar mengejar hatinya, terbersit pikiran akan seperti apa anaknya dengan Sakura kelak. Penuh semangat seperti gadis itu, atau pendiam seperti dirinya. Bagaimanapun juga, kini hanya sebuah angan-angan.
Dia pria yang bisa merasakan rasa menyerah. Dia juga manusia biasa. Dalam situasi seperti ini, rasanya harus ada seseorang yang bisa membuatnya berpikir jernih. Di kejauhan sana, Sasuke tahu seseorang yang mereka tunggu sedang berjalan mendekat. Herannya, mengapa yang datang bukan seperti bayangannya. Itu bukanlah seorang pria.
"Permisi, selamat pagi."
Seorang wanita, dengan pakaian serba lavender, bersurai pendek.
"Ah, selamat pagi. Ada yang bisa kami bantu?"
Kami. Hanya mendengar Sakura bicara begitu, Sasuke semakin yakin perceraian ini bukan sepenuhnya kehendak dokter itu.
"Tidak. Justru aku yang akan membantu kalian."
Perempuan itu mengangkat map di tangannya. Hal yang sudah Sasuke duga. Dia meminta seseorang, yang jelas-jelas kenalannya, untuk membawa formulir perceraiannya keluar dari catatan sipil. Anehnya, justru perempuan ini yang datang. Meski begitu, dia bukan sosok yang asing bagi Sasuke. Sakura mungkin lupa saking banyaknya tamu yang hadir di perta pernikahan mereka. Ditambah orang yang ada di hadapan mereka muncul hanya sekejap saat itu.
"Ini formulir cerai yang dua jam lalu kalian isi. Tugasku hanya mengantarnya pada kalian."
"Te-terima kasih," jawab Sakura sedikit bingung saat ia menerima map.
Wanita itu tersenyum. Surai lavendernya yang memiliki sanggul kecil tertiup angin. Belum sempat bicara lagi, tiba-tiba Sakura menerima panggilan telepon dan dia menjauh beberapa langkah, setelah menyerahkan benda di tangannya pada Sasuke.
"Kau utusan Nagato?"
Bukannya dijawab, wanita itu justru bertanya balik.
"Uchiha Sasuke? Hmm ..., Yahiko memintamu menemuinya malam nanti. Ke alamat bar yang nanti dikirimnya melalui pesan. Tugasku selesai."
Tinggallah Sasuke sendiri, sementara Sakura masih berada beberapa meter darinya, memunggungi. Sasuke mengumpat. Dia bersumpah, tak sampai setahun pasti berita perceraiannya akan didengar orang rumah. Sampai hari itu tiba, Sasuke berharap sudah lama memahami penyebab perceraian dini ini. Bahkan jika harus, dia akan menemukan solusi ketika berhadapan dengan keluarga ketika harus menjelaskan segalanya.
"Hei, mana perempuan yang tadi?" tanya Sakura, saat dia berbalik dan berjalan mendekat. Mata teduhnya tertuju pada map di tangan Sasuke.
"Dia pergi."
"Kenapa tak memanggilku untuk sekadar berpamit? Kita belum berterima kasih padanya."
Sasuke hanya diam, menatap balik istri-mantan istrinya. Sakura membuang napas pendek. Tidak juga. Sakura masih menjadi istrinya sampai surat cerai di tangan pria itu belum disimpan di ruang arsip pemerintahan. Benar, perempuan itu masih istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day [SasuSaku]
FanfictionSakura menceraikan Uchiha Sasuke, setelah satu hari secara resmi mereka menjadi suami-istri. * * * Sasuke tak pernah mengira bahwa gadis yang sejak masa pelajar selalu mengejarnya malah benar-benar menjadi istrinya. Walau cara mereka disatukan melal...