Prolog

264 18 2
                                    

"Esa, dengerin papa. Kalo kamu punya adek, nanti kamu enggak akan kesepian. Kamu bakal punya temen main, apalagi kalo temennya banyak. Pasti kamu bahagia terus," ujar pria muda pada anaknya yang sedari pagi diam tak banyak bicara.

Biasanya putra tampannya itu selalu aktif dalam segala hal, tiap hari sukanya merengek pada ibunya. Namun hari ini nampak berbeda, mungkin ada kaitannya mengenai ibunya sedang hamil yang dimana anak itu tidak terima akan kenyataan tersebut.

"Heii, jagoan papa jangan murung dong. Nanti kita pergi ke ke taman papa akan ajarin kamu naik sepeda, gimana?"

Mahesa Maheswari atau kerap disapa Esa itu menatap sang ayah, matanya berembun siap untuk ditumpahkan.

"Loh, kok jagoan papa mau nangis?" Doni mendadak panik melihat putranya yang sudah berkaca-kaca, padahal tadi anaknya itu hanya diam rupanya sedang menahan air yang sebentar lagi meluncur menggenang di permukaan pipi.

"Esa nggak mau punya adik! Esa enggak mau papa! Esa enggak mau! Huhuhuhu..."

"Eh kok gitu, enak loh kalo punya adik."

"ENGGAK MAU! HUAAAAA MAMAAA ESA ENGGAK MAU PUNYA ADIK!"

"HUHUHUHU, ESA ENGGAK MAU PUNYA ADIK TITIK!!"

Setelah menangis sambil teriak-teriak Mahesa berlari menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Membuat Doni kepalang khawatir, karena anaknya itu sangat tergesa-gesa menaiki tangganya.

"Kok jadi gini sih?!" ucap Doni frustasi. Setelahnya menyusul ke atas.

Beberapa jam kemudian Doni beserta istrinya--- Revi keluar dari kamar sang putra. Keduanya menghela napas berat. Ternyata menjadi orang tua itu tidak gampang, apalagi jika keadaan seperti ini harus banyak-banyak sabar.

Setelah menenangkan Mahesa yang tertidur pulas karena kelelahan nangis sampai dua jam lamanya, kedua pasangan suami istri itu memilih untuk duduk di ruang tamu.

"Mas, akutuh enggak espect banget bakal jadi kaya gini. Jujur aku belum bisa handle semuanya, aku bingung," ungkap Revi sambil sesekali mengelus perutnya yang lumayan besar karena usia kandungannya sudah memasuki bulan ke lima.

"Sayang, kamu tenang aja. Jangan terlalu dipikirkan, serahin semuanya sama aku. Tugas kamu satu, istirahat yang banyak ya, jaga tiga calon bayi-bayi kita. Aku enggak mau kamu stress." Doni memeluk istrinya dari samping, mencoba menenangkan.

"Tapi aku harus gimana supaya Mahesa mau nerima kehadiran adik-adiknya?" lirih Revi.

"Suttt, kamu tenang aja. Itu biar jadi urusan, Mas. Mungkin saat ini jagoan kita belum bisa menerima karena masih kaget aja, tapi pelan-pelan juga anak kita itu mengerti dengan semuanya."

"Iya mas, semoga."

Kemarin Mahesa terus bertanya perihal mengapa perut sang ibu membesar dari hari ke hari, karena mungkin sudah saatnya anaknya itu tahu akhirnya Doni dan Revi memutuskan memberitahu, jika yang berada di dalam perut Revi ada tiga adik Mahesa. Setelah mendengar penjelasan tersebut anak itu nangis brutal, tidak ingin memiliki adik apalagi ada tiga adik. Sampai pada esok harinya, lebih tepatnya hari ini anak itu mendiamkan Doni dan Revi. Dan puncaknya tadi, menangis dua jam lamanya.

Memang, menjalani kisah menjadi orang tua saat muda itu tidaklah mudah. Apa yang di rasakan Doni dan Revi memang hal wajar, mereka masih dibilang muda. Masih banyak yang harus dipelajari, untuk itu sebisa mungkin keduanya harus saling memahami dan mengerti. Orang-orang bilang, menikah diusia muda itu sangat sulit. Apalagi jika keduanya memiliki ego yang sangat tinggi, namun sebisa mungkin Doni dan Revi bertahan demi keutuhan. Ujian-ujian pasti akan datang silih berganti, contohnya saat ini. Ujian keduanya agar mampu menaklukkan hati sang buah hati untuk menerima buah hati mereka yang lain.

We are SiblingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang