8. Abang

133 16 3
                                    

Mahesa tersenyum cerah kala melihat tiga adiknya sedang berbaring di kasur Revi. Dengan segera ia menghampiri mereka, memandangnya dengan sorot berbinar. Walau adik-adiknya sering menangis dan membuat telinga Mahesa panas yang berujung tidak bisa tidur, tapi ketiganya begitu menggemaskan dimata Mahesa.

Anak sekecil Mahesa saja sudah merasa gemas dengan bayi. Setelah berada di tepi kasur, Mahesa menatap tiga adiknya lebih dekat.

"Haii, adek-adek Esa ganteng-ganteng banget!"

"Nanti kalo udah gede, kita main bola, yuk?"

Senyum Mahesa luntur ketika salah satu adiknya menangis hanya karena usapan lembut yang ia berikan pada pipinya. Niatnya ingin memperlihatkan kasih sayangnya pada mereka, namun balasan yang Mahesa dapat adalah tangisan.

Namanya bayi, apalagi kembar, menangis satu jadi menangis semua membuat Mahesa panik.

"Lohh, kok adek-adek nangis? Esa enggak nakal kok, enggak."

"Oeekk ... oeeekkk ... Oeeekkkk!"

"Mama! Dede-dede bayinya nangis," seru Mahesa semakin panik.

Tak lama Revi datang. Wanita itu habis membereskan dapur yang berantakan, kini Revi dengan stelan daster andalannya tergopoh-gopoh menghampiri bayi-bayinya.

"Ya ampun, sayang-sayangnya Mama kok pada nangis?"

"Ooekkk ... Oekk...."

"Kenapa adek-adek nangis, hm?" tanya Revi pada Mahesa yang hanya diam. "Mama tanya loh, bang. Jangan diem aja," lanjutnya.

"Tadi Esa cuma ngelus pipinya liki, telus langsung nangis." Yang di maksud Mahesa itu Rionald. Bayi yang di elusnya, namun salah sebut. Karena di kepala Mahesa hanya nama Riki yang dia hafal.

Revi menggeleng saja. "Yaudah, sekarang Esa panggil papa ya, di ruang kerja. Bilang, di suruh mama makan malam."

"Iya ma."

Kini fokus Revi pada tiga bayinya. Tangisan ketiganya pun sudah mereda setelah ditenangkan oleh mamanya.

***

Revi dibuat pusing sepusingnya karena keempat anaknya menangis bersamaan. Membuat rumahnya terdengar ramai hanya karena suara tangisan. Mahesa menangis karena terpeleset di kamar mandi. Tidak ada cedera serius, namun rasa terkejut menguasai hati dan pikiran Mahesa. Sedangkan bayi Rio, Reza, dan Riki menangis karena memang sudah waktunya.

Namanya juga bayi, setiap saat bisa saja terus menangis. Contohnya si kembar tiga, mereka menangis tanpa alasan karena memang menginginkan ASI. Atau karena memang sudah ada jadwalnya.

"Sayang, udah sana kamu urusin Rio, Reza, sama Riki. Biar Mahesa yang aku jaga," pinta Doni.

"Yaudah, titip Esa ya. Kasih nasihat juga," pesan Revi. Kemudian melanjutkan menenangkan si kembar. Mungkin menginginkan ASI.

"Iya, yang."

Mahesa guling-guling di kasurnya. Anak itu menangis kencang sambil memegangi tumitnya. "Papa ... huhuhu ... sakitttt, huaaa!"

"Kaki Esa sakiiittt!"

Dengan sabar Doni mengelus kepala Mahesa. "Sttt, Esa, diem yah, jangan nangis terus."

"Sakit papa!! huhuhuhu...."

"Iya, kalo sakit sini kasih liat papa. Biar papa sembuhin," ucap Doni lembut.

Mahesa menggeleng, ia terus menyeru kata sakit. Membuat Doni bingung harus bertindak seperti apa.

"Sini kakinya, mau papa obatin biar enggak sakit." Dengan perlahan Doni menarik kaki kiri Mahesa yang terus di pegangi. Kini kaki mungil itu sudah lurus menghadap Mahesa.

Pria itu melihat luka kecil di area tumit Mahesa, seperti luka gores. Mungkin tumit putranya ke gores sesuatu di sana. Pantas saja sakit, ternyata lukanya cukup dalam.

Salep ditangannya, Doni oleskan pada luka tersebut. Mahesa histeris karena rasanya sangat sakit, "papa sakit huaaaa! Papa sakit, huhuhu..."

"Sabar, yah. Nanti juga cepet sembuh, Esa kan udah gede jangan cengeng terus nanti malu loh sama adek-adek."

"Esa nangis kan kalena sakit, gimana sih!"

"Iya iya, sini kakinya papa tiupin."

Doni meniupkan tumit Mahesa yang sudah dilumuri salep. Setelah itu keadaan semakin membaik, walau masih sakit Mahesa sudah berhenti menangis. Anak itu hanya diam saja, tidak merengek lagi.

"Sekarang Esa tidur, ya?"

"Tidul?"

"Iya tidur. Udah malem, lhoo."

"Tapi masih sakit papa," lirih Mahesa.

Doni menghela napasnya. "Tidur yah, sini deketan sama papa. Peluk papa, nanti papa kasih dongeng buat Esa."

Mahesa mengangguk pelan. Kini anak se-bapak itu berbaring dengan dada Mahesa sebagai bantalan putranya. Pria beranak empat itu bersiap untuk bercerita.

"Esa, Esa seneng enggak adek-adek udah lahir." Doni memancing pembicaraan.

"Seneng, Pah."

"Bagus. Oh iya, nanti Esa bakal dipanggil Abang, lhoo."

"Abang?" Doni mengangguk. "Abang itu apa?" tanya Mahesa tak mengerti.

"Panggilan adek-adek buat kamu. Karena kamu kakak si kembar, maka ke depannya kamu akan dipanggil, Abang."

"Oh ya? Jadi adek-adek panggil Esa itu Abang? Abang Esa, ya?"

"Iya." Doni terkekeh melihat wajah imut yang sesekali meringis itu.

"Terus, kan Esa udah jadi Abang. Kalo udah jadi Abang, jangan cengeng, harus kuat."

"Halus kuat?"

"Iya. Kan seorang Abang itu akan jadi contoh buat adek-adeknya. Kalo kamu baik, nanti adek-adek juga baik. Pun sebaliknya," papar Doni.

"Gitu ya, papa?"

Doni mengangguk. "Satu lagi, bentar lagi Esa masuk sekolah!"

Mahesa terkejut. "Sekolah???"

"Iya, sekolah TK. Biar kaya upin-ipin, kamu nonton, kan?" Mahesa mengangguk cepat.

"Iya! Upin-ipin telus sekolah. Jadi ental Esa juga gitu, pah?"

"Iya."

"Asiiikkk! Akhilnya aku sekolah! Kalo sekolah kan nanti temannya banyak," ucap Mahesa sambil berandai. Membayangkan betapa banyaknya teman.

"Kalo mau sekolah, harus berubah. Jangan ngompol lagi, jangan cengeng, jangan terlalu manja, sama jangan malas belajar. Ngerti kan apa yang papa bilang?"

"Iya."

Setelah berbincang-bincang Mahesa terlelap. Sedangkan Doni sendiri masih terjaga. Pria itu perlahan bangkit dari rebahan, lalu sebelum berlalu ia menyempatkan mengecup dahi Mahesa.

"Sweet dream, jagoan papa."

***

We are SiblingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang