Doni berpamitan pada istrinya untuk berangkat ke kantor, seperti biasa Revi mengantarkannya ke depan sampai pintu gerbang. Doni tersenyum menatap sang istri yang sepertinya tak rela jika dirinya harus berangkat kantor.
"Sayang, jaga diri baik-baik ya. Aku usahain pulang cepet, kok." Revi mengangguk saja, lalu mencium punggung suami dengan takzim.
"Kalo ada apa-apa kabarin, nanti siang mama mau ke sini, mau coba bujuk Mahesa." Lagi, Revi hanya mengangguk. Doni menghela napasnya berat, "hati-hati di rumah ya. Aku berangkat."
Setelah menciumi seluruh wajah sang istri, Doni bergegas melajukan mobil Alphard Vellfire miliknya meninggalkan pekarangan rumahnya.
Revi menghampiri sang putra yang sedang berdiam diri di kamar.
"Sayang?" Revi memasuki kamar anaknya yang rapih. Biasanya walaupun sedang dalam mode ngambek atau ingin di dalam kamar terus, ruangan dengan motif ala-ala dunia Spongebob itu akan berantakan.
Saat ini benar-benar berbeda. Revi pun heran, apakah putranya akan berlarut-larut dalam mode ngambeknya ini?
"Esa?"
"Stop ma! Aku mau sendili," seru Mahesa dengan gaya cadelnya. Usianya baru empat tahun, maklum jika belum bisa mengucapkan huruf 'R'.
Walau Mahesa menyuruhnya berhenti, Revi tetap saja melangkah masuk. Rupanya putranya sedang berbaring menatap robot yang berdiri tegak di atas nakas samping kasur mininya.
"Esa, sarapan yuk. Mama tadi sama bibi buatin ayam suwir sama nugget kesukaan kamu. Yuk!"
Tak ada respon, pandangan anak itu masih tak mau lepas dari robot Ultraman miliknya.
"Eh, oh ya mama lupa. Nanti jam sembilan kita ke taman, yuk? Katanya ada yang mau bagi-bagi balon gratis loh," ungkap Revi. Wanita itu tak berbohong, karena hari ini benar-benar ada yang akan membagikan balon untuk anak-anak yang sedang bermain di taman hiburan depan komplek.
Tetap hening, Mahesa benar-benar membungkam mulutnya.
"Esa, mama capek kalo kamu diem kayak gini terus. Mama capek sayang." Gumaman lirih Revi mampu mengalihkan atensi Mahesa dari robot ke ibunya. Anak itu mengerjap melihat wajah Revi yang terlihat murung.
"Mama sedih?"
Pertanyaan tersebut membuat Revi mendongak menatap putranya yang sudah terduduk di atas kasurnya.
"Iya, Mama sedih soalnya Esa enggak mau dengerin mama." Revi duduk di sebelah putranya, jika berlama-lama berdiri dia tak tahan.
"Tapi, sedihan Mahesa. Soalnya mama jahat!" Anak itu bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu kamar.
"Sayang, kok gitu?"
"Mama jahat! Papa juga jahat!"
"Sayang, hei mama sama papa enggak jahat. Kalo jahat, kamu mama usir soalnya enggak nurut."
Detik berikutnya Mahesa menangis kencang membuat Revi panik bukan main. Wanita itu menghampiri putranya, mencoba memeluk tapi Mahesa menghindar.
"Mama jahat! Mama mau usil aku?!" Tangisannya semakin menjadi. Revi merutuki diri karena sudah berbicara sedikit ketus tadi. Ya gimana ya, sedang hamil tapi ada aja bahan untuk membuatnya frustasi.
"Mama enggak usir kamu, Esa dengerin mama. Mama enggak jahat, mama baik. Jadi, ayo kita sarapan kasian perut kamu pasti udah bunyi."
"Yuk sayang yuk." Tangannya sudah berhasil memegang pundak sang putra, namun Mahesa menyentaknya dan menjauhi Revi.
"Enggak! Mama jahat! Aku enggak mau punya adik, tapi kenapa sih mama halus hamil??? Aku enggak mau mama! Jangan paksa aku huhuhuhu!!!"
Pangkal hidung Revi pijat, kepalanya pusing mendengar teriakan dan tangisan putranya. "Iya Esa enggak punya adik kok, jadi yuk sarapan. Mama suapin kayak biasa."
"Esa pundung! Esa enggak mau makan!" anak itu kembali berteriak.
"Ahhhh! Iya ya! Terserah deh, mama enggak peduli. Mau kamu enggak makan, mau kelaperan, sakit, mama enggak peduli lagi! Terserah, capek tau enggak!!" Revi membentak putranya untuk pertama kali, lalu dengan sisa tenaganya ia berlalu meninggalkan Mahesa yang semakin mengencangkan suara tangisnya.
"Mama jahat! Huaaaa jahat!" pekik Mahesa. Lalu goleran dilantai sambil meraung-raung.
Bi yaya---asisten rumah tangga yang mendengar bentakan sang nyonya dan suara tangisan tuan mudanya langsung berlari ke atas. Wanita paruh baya itu berpapasan dengan Revi yang mengusap air mata, dia memandang bi Yaya dengan tatapan lelah.
"Nyonya--"
"Bi, tolong urus Mahesa. Saya capek, kalo mama ke sini bilang kalo aku di kamar ya."
"Iya nyonya."
Setelah naik ke lantai dua, bi Yaya menghampiri Mahesa yang sudah mengangis hebat. Dia panik bukan main.
"Ya Allah, den den. Cupcupcup, jangan nangis yah. Katanya jagoan," ucap bi Yaya lembut. Lalu menggendong anak majikannya, "den Esa enggak boleh nangis. Nanti jelek," katanya berusaha menghibur.
Namun yang dilakukan Mahesa adalah menangis sambil menepuk -nepuk wajah keriput bi Yaya.
"Mama jahat! Huhuhu mama bentak Esa, mama mau usil aku huaaaa!"
"Enggak den enggak, mama enggak jahat. Yuk ke bawah bibi ada masak nugget kesukaan aden."
***
Mama yang dimaksud Doni itu mamanya Revi, namanya Widuri. Wanita berumur itu menghubungi sang menantu jika dia akan datang menemui putrinya sekaligus cucunya.
"Loh, kok sepi?"
"Revi, Mahesa??"
Tak lama bi Yaya datang. "Eh nyonya Widuri, nyonya muda sedang istirahat. Kalau den Mahesa sedang nonton tv. Mari saya antar." Mama Revi mengangguk, wanita itu menghela napasnya ketika mendapati sang cucu sedang menonton televisi dalam diam.
"Esa?" panggilnya.
Anak itu menoleh, matanya membulat ketika mendapati sang Oma tersenyum ke arahnya. Dengan gerakan cepat, anak itu berhambur memeluk Omanya.
"Omaa! Esa kangen Oma!"
Mama Revi mengernyit ketika baju depannya sedikit basah, ternyata cucunya menangis. "Loh kok nangis?"
"Oma, Oma! Mama sama papa jahat! Huaaa!"
"Loh?" Cucunya kembali memeluk sambil menangis, dalam dekapannya anak itu berkata, "mama sama papa tega mau beli esa adik! Padahal Esa enggak mau adik!"
Diusapnya punggung Mahesa. "Kok Esa bilang gitu? Bagus dong kalo mama sama papa mau beri Esa adik." Anak itu mendongak menatap Omanya. "Kenapa bagus?!"
Pelukan hangatnya terlepas, tatapan anak itu tajam pada Oma. "Kalo Esa punya adik, ental mama sama papa enggak sayang Esa lagi!" katanya lalu lanjut menangis.
Cengeng sekali.
Dengan sabar Oma mengelus kepala Mahesa, "kata siapa enggak sayang? Mama sama papa akan tetap sayang Esa. Bahkan lebih sayang Esa, soalnya udah mau terima keadaan."
"Jadi kakak itu enak loh, enggak kesepian lagi. Esa kalo main sendirian pasti cepet bosan kan? Kalo ada adek-adek pasti enggak cepat bosan."
"Enggak huaaa!! Oma juga jahat!!"
"Astaghfirullah..." Widuri mengelus dadanya, ternyata cucunya ini sangat keras kepala. Mirip dengan tingkah Revi dulu ketika masih gadis.
****

KAMU SEDANG MEMBACA
We are Siblings
Novela Juvenil[17+] Mahesa tidak ingin memiliki adik, apalagi adiknya ada tiga. Mahesa enggak mau! Menjadi seorang kakak itu tidaklah mudah, akan ada banyak rintangan yang menghampiri, pun dengan segala konsekuensi. Awalnya berat, tapi mau bagaimanapun garis tak...