6. Ibu vs Mertua

92 14 1
                                    

Suara tangisan tiga bayi menggema di ruang bersalin. Doni menghapus air matanya yang meluruh, menatap bayi-bayinya yang menangis saling bersahutan. Pun dengan dokter yang menangani proses lahiran Revi, dokter cantik itu ikut terharu melihat pemandangan yang indah itu.

"Selamat pak Doni, putra-putra bapak lahir dengan baik," ucap Dokter muda yang sering disebut Dokter Vina.

Doni mengangguk lemah, tangannya gemetar saat suster memberikan salah satu bayinya yang sudah di bersihkan itu padanya. Senyumannya terukir, apalagi saat bayinya terus menangis.

Doni melirik Revi yang masih tertidur akibat kelelahan. Ia mendekati sang kekasih hatinya itu, lalu mengecup keningnya cukup lama.

"Kamu hebat banget, sayang. Makasih," bisiknya. Setelahnya Doni kembali fokus pada bayi-bayinya. Bersiap untuk di adzan-kan.

Selesai mengadzani tiga bayinya, Doni izin untuk mengurus administrasi. Ia lupa tidak menyuruh bi Yaya untuk menangani soal administrasi, ia terlalu panik juga excited.

"Suster, tolong jaga istri dan anak-anak saya sebentar. Saya mau mengurus administrasi," pesan Doni pada satu-satunya suster yang masih berada di sini.

Suster itu mengangguk patuh. "Baik, pak. Dengan senang hati saya akan menjaga istri serta buah hati anda," balasnya.

"Terima kasih."

Sedangkan di sisi lain Mahesa sudah di periksa oleh dokter, anak itu diberi makan serta obat. Kata dokter, Mahesa hanya demam biasa serta sifatnya sesaat. Dan benar saja, walau sedang terlelap bi Yaya merasakan jika suhu panas tubuh anak majikannya itu mulai menurun, itu artinya ada kemajuan cepat.

"Den, cepet sembuh ya. Adik-adik aden pastinya udah lahir," ucap Bi Yaya sambil mengelus-elus pucuk kepalanya.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Cepat-cepat bi Yaya bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu, melihat siapa yang datang. Apakah tuan Doni?

"Bi, bagaimana dengan Esa?" Orang itu Doni. Suami dari Revi itu masuk ke dalam untuk mengecek keadaan sang putra.

"Esa udah makan, bi?"

"Sudah, tuan. Setelah minum obat aden langsung meminum obat dari dokter."

Doni mengangguk. Senyum tipis terulas, ia mengelus dahi Mahesa lalu mengecupnya singkat. Rasa bahagia terus menjalar di hatinya, Doni ingin cepat-cepat pulang dari rumah sakit dan merawat para putranya sendiri. Ia menginginkan momen di mana, dengan gagahnya ia merawat tiga putra sekaligus. Ah, jangan lupakan sosok Mahesa si putra sulungnya. Ia ingin bermain dengan keempat putranya nanti. Hahaha, sepertinya sangat membahagiakan.

"Bi, titip Mahesa, ya. Saya akan mengurus Revi dan bayi-bayi kami. Setelah istri saya dipindahkan ke ruang inap, bibi bisa membawa Esa kesana," pesan Doni. Bi Yaya mengangguk. "Baik, tuan."

"Kalau begitu, saya pergi dulu."

***

Doni mengerutkan dahinya ketika melihat dua orang yang sangat ia kenali sedang berdebat di depan ruang inap Revi. Mengapa dengan mereka? Padahal jika ingin melihat cucu-cucunya atau menjenguk Revi tidak seharusnya berdebat dulu, tinggal masuk, apa susahnya?

Omong-omong, Revi sudah di pindahkan di ruang inap beberapa menit lalu. Istrinya sudah siuman, dan saatnya menciumi seluruh wajahnya. Rasanya ia sangat merindukan wanitanya. Namun, rupanya ada dua pengacau sekaligus. Siapa lagi kalau bukan Mayang dan Widuri---mertuanya.

"Ibu, Mama, kenapa kalian debat? Masuk aja, sih." Mereka sontak menoleh pada Doni. Dengan segera Mayang menghampiri putranya itu, "Don, ibu mau jenguk Revi sama cucu-cucu ibu, tapi enggak boleh sama mertuamu."

Mendengar itu Widuri melotot tak terima, segera ikut mendekati sang menantu. "Bukan enggak boleh, Don. Mama cuma minta buat gantian, orang baru melahirkan kan masih lemes, kalo masuk semua entar sesek napas!"

"Lah, cuma saya sama kamu, toh wid. Mana ada sesek?" ucap Mayang mengelak.

"Ibumu kenapa sih Don, kayaknya sekolah nya enggak bener, deh."

"Heh, saya denger loh, wid. Saya lulusan UI. Jangan remehkan saya ya!"

"Lulusan UI kok enggak tahu aturan rumah sakit?" sindir Widuri dengan senyum miring.

"Kamu--"

"Bu, apa yang di ucapkan mama itu bener. Jenguknya gantian, ya." Akhirnya Doni bersuara juga. Telinganya panas mendengar perdebatan antara ibu dan mertuanya. Mereka tuh tak pernah berubah, dulu saat awal-awal pengantin baru mereka juga berdebat tentang di mana Doni dan Revi akan tinggal.

Ibunya menginginkan dirinya tinggal di rumah sendiri, sedangkan mama mertua pun menyuruh tinggal di rumahnya. Alhasil, ia dan Revi memilih untuk tinggal sendiri.

"Kok kamu belain dia?" Mayang tak terima, apalagi tatapan mengejek Widuri sangat menganggunya.

"Bukan belain, bu. Tapi emang ketentuannya gitu, lebih baik Ibu ke ruang inap Esa. Dia sedang tidur," usul Doni.

"Kenapa dengan cucuku?" tanya Widuri panik. Pun dengan Mayang yang baru mengetahui jika cucu kesayangannya itu di rawat.

"Esa kenapa, Don? Dia kenapa bisa dirawat."

"Bu, Ma, yang tenang. Esa enggak di rawat, tadi cuma di periksa soalnya demam dari malam. Dia lagi tidur, ditemani bi Yaya juga, kok."

Mayang dan Widuri menghela napas lega, ternyata bukan hal yang serius.

"Yaudah, ibu mau liat cucu kesayanganku dulu." Mayang memilih untuk melihat Mahesa, sembari menunggu Widuri selesai menjenguk.

"Esa juga cucu kesayanganku," celetuk Widuri. Membuat terpaksa Mayang menoleh ke arah besannya itu. "Yang jelas saya nenek kesayangan Esa!"

"Wah, kamu lupa? Dulu Esa pernah di suruh pilih, antar aku sama kamu. Dan jawaban dia pilih akulah! Jadi aku oma kesayangannya," jelas Widuri kekanan. Usia boleh setengah abad, tetapi sifat tidak ingin mengalah masih melekat.

Mayang berdesis. "Terserah! Sesama janda enggak usah rebutan. Saya enggak butuh validasi, toh kebenarannya saya yang jadi nenek kesayangan Esa." Setelah mengatakan itu, Mayang berlalu menuju ruangan yang menampung Mahesa. Ruangan tersebut terletak di ujung koridor.

Widuri menjatuhkan rahangnya, tak percaya dengan gaya bicara besannya itu. "Don, ibumu tuh, kenapa sih? Enggak nyambung amat."

Widuri langsung masuk ruangan, wanita itu sangat merindukan sang putri. Sementara Doni hanya bisa mengacak rambutnya frustasi. Dua orang tua yang sama-sama kekanan. Berdebat di depan ruang inap istrinya, apa tidak ada tempat lain? Kalau saja yang di dalam mendengar dan merasa terganggu, terpaksa Doni menyeret para orang tua itu pergi.

Fyuhh, ada-ada saja.

***

Saatnya para tetua tampil, gak sih? Sebelum memfokuskan pada keluarga kecil Doni. Awokssksk

We are SiblingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang