"Bi, tolong jaga Revi, ya. Saya mau ke apotek." Doni berpesan pada bi Yaya yang sedang menyetrika.
"Baik, tuan." Suami Revi itu mengangguk, lalu berlalu menuju garasi. Tujuannya pergi ke apotek untuk membeli obat penurun panas, Mahesa tiba-tiba demam. Semalam, anak itu terus merengek tidak jelas.
Sementara Revi tengah membujuk Mahesa untuk mau disuapi bubur. Kata Mahesa buburnya sangat hambar, dan anak itu enggan untuk menghabiskannya. Dengan sabar Revi merayu putranya itu agar mau memakan buburnya.
"Sayang, sarapan dulu, ya. Nanti papa pulang bawa obat, loh. Kamu harus udah selesai makannya," bujuk Revi sabar.
Mahesa menggeleng. "Enggak mau! Esa enggak suka obat," tolaknya mentah. Posisi anak itu yang tadinya terlentang menjadi membelakangi Revi yang duduk di sebelahnya.
"Kalau begitu ayo makan buburnya, nanti keburu dingin, loh."
"Esa juga enggak suka bubul! Hambal, enggak suka."
Revi menghela napasnya, membujuk Mahesa yang keras kepala itu kadang melelahkan. Perutnya semakin besar, dan pergerakannya semakin sulit.
Ditaruhnya mangkuk berisi bubur tersebut ke meja nakas samping ranjang Mahesa. Revi melirik putranya yang terus memunggunginya. Padahal sedang sakit, tapi tingkah keras kepalanya masih ada.
"Kalo kamu enggak mau sarapan, mending ke rumah sakit, ya. Kamu harus di periksa," ujar Revi. Tangannya mengecek suhu tubuh putranya di bagian leher. Masih panas, tapi agak mendingan. Helaan napas Revi kembali terdengar ketika gelengan keras yang ia dapat. Sudah pasti Mahesa menolaknya. Anaknya itu seperti alergi rumah sakit, padahal tempatnya Mahesa di lahirkan.
Saat hendak bangun dari duduknya, Revi merasakan nyeri luar biasa alhasil terduduk kembali. Tangannya mengusap perutnya yang terasa melilit itu, dan satu tangan yang lain memegang area pinggul yang terasa sakit juga.
Napasnya tertahan ketika air ketubannya mulai pecah, peluh membasahi wajah dan dengan sisa tenaganya Revi mencoba bangkit.
"Akhhh!" pekik Revi kesakitan. Ia terduduk kembali, rasanya tak kuat untuk bangkit. Bibirnya gemetar menahan sakit, rasanya ingin pingsan saja.
"Bi, bi Yaya!" teriaknya lemah.
Merasa pergerakan kasurnya sangat menganggu, Mahesa membalikkan diri dan tatapannya mengarah pada mamanya yang tengah kesakitan.
"Mama?" panggilnya lirih.
"Mama kenapa," ujarnya nyaris tidak terdengar.
"M-mama, m-mau m-melahirkan, s-sayang...."
"Shhhh..."
Mahesa sangat lemas, jujur saja anak itu belum sarapan belum lagi demamnya tak kunjung reda. Namun demi keselamatan mamanya, anak itu bangkit dari ranjang dengan pelan.
"Mama...." Raut wajahnya bersiap untuk menumpahkan tangisan. Melihat Revi kesakitan membuatnya sedih tak karuan.
"Mama, mau lahilan?"
Revi mengangguk lemah. Ia tak kuasa menjawabnya. Mahesa segera keluar dari kamar, mencari keberadaan sang papa. Namun, anak itu hanya menemukan bi Yaya yang masih berkutat dengan kegiatan menyetrika baju.
"Bibi!" panggil samar.
Bi Yaya menoleh, mata tua itu membulat ketika mendapati putra majikannya menangis sesenggukan.
"Den, Aden kenapa?" tanyanya panik.
"Mama," adu Mahesa di sela tangisnya.
"Nyonya kenapa, den?" Bi Yaya mengusap air mata Mahesa yang bercucuran.
"Mama mau lahilan," adunya.
"Astaghfirullah, yang bener, den?"
"Mama sakit pelutnya, bi. Ayo tolong mama "
Bi Yaya mengangguk cepat, dengan segera ia menelpon Doni menggunakan telepon rumah. Belum ada tanda-tanda diangkat. Dengan cepat bi Yaya menyerahkan telepon rumah tersebut pada Mahesa, wanita tua itu lebih memilih ke luar rumah. Memanggil satpam rumah untuk membawa Revi ke rumah sakit.
Telepon tersambung, suara Doni terdengar membuat Mahesa lebih mengeraskan suara tangisnya.
"Esa, ada apa, sayang? Kok jagoan papa nangis?" tanya Doni di seberang sana.
"Papa...."
"Iya?"
"Huhuhuhu...."
"Esa, ada apa, nak?" Tentu saja Doni panik apalagi suara tangisan putranya begitu keras.
"Papa! Mama mau lahilan...."
Sambungan telepon terputus. Mahesa berlalu menuju kamar ketika pak satpam dan bi Yaya berlarian menuju kamarnya.
Netra bulatnya menatap bagaimana mamanya di bopong oleh dua orang dewasa itu. Ya, pak satpam dan bi Yaya dengan susah payah membopong Revi menuju mobil.
Setelah Revi masuk ke dalam mobil dan dibantu juga oleh sang supir pribadi, Mahesa ikut masuk juga.
"Den Esa, Aden kan masih sakit. Sama bibi aja sini," ujar bi Yaya menyuruh Mahesa duduk di depan. Membiarkan jok belakang di kuasai Revi, sebab wanita itu butuh ruang.
"Mama..." cicit Mahesa lirih. Anak itu sedih melihat betapa kesakitannya Revi. Meski dirinya sedang sakit juga, melihat keadaan Revi sekarang jauh lebih sakit. Hatinya lebih tepatnya. Rasa khawatir bocah empat tahun itu tinggi, membuatnya tanpa sadar membayangkan bagaiman Revi di detik-detik akan melahirkan dirinya kala itu.
"Den, berdoa aja, ya supaya nyonya Revi baik-baik aja." Mahesa mengangguk samar dalam pangkuan bi Yaya.
"Pak Rizal, jalan pak. Cepat," titah bi Yaya khawatir.
***
Doni berlarian dengan tergesa-gesa, dari parkiran sampai masuk ke dalam tak ada jeda untuk berhenti dari lariannya. Akhirnya sampai juga di depan ruang bersalin. Di dalam istrinya sedang di urus oleh dokter, bolehkah dirinya masuk untuk menemaninya seperti saat Revi melahirkan Mahesa.
"Tuan, akhirnya sampai juga." Bi Yaya bangkit dari duduknya, dan mempersilahkan sang majikan untuk duduk. Namun, rupanya Doni menggeleng pelan.
"Bi, Revi belum melahirkan kan? Saya mau temani dia, kasian dia berjuang mengeluarkan tiga bayi," ujar Doni lemah.
"Oh iya tuan, tadi dokternya juga menanyakan keberadaan tuan Doni. Mungkin di suruh masuk ke dalam," kata pak Rizal yang berdiri tak jauh dari tempat duduknya bi Yaya dengan Mahesa.
Doni mengangguk, tatapannya mengarah pada sang putra yang terlelap. Pria itu mengelus pucuk kepalanya lembut, putranya itu pasti sangat terguncang.
"Bi, tolong tangani Mahesa. Dia butuh diperiksa, tolong antarkan dia periksa, ya? Mumpung di rumah sakit." Bi Yaya mengangguk cepat.
"Baik tuan. Maaf saya tidak langsung membawa den Esa periksa, kalau sudah periksa kan den Esa bisa tidur di ruangan, tapi saya takut den Esa menolaknya, tuan."
Doni mengangguk singkat. "Saya mengerti. Kalau begitu saya masuk," pamitnya.
"Baik tuan."
Doni memejamkan matanya sejenak, kembali berada di ruangan ini membuatnya sedikit dejavu. Kegiatan melahirkan adalah hal yang sakral menurutnya. Istrinya akan kembali mengejan untuk mengeluarkan anak-anaknya dari dalam perut, istrinya akan mempertaruhkan nyawanya demi tiga putranya nanti.
Sebelum masuk lebih dalam dan bertemu dokter, hal yang Doni lakukan adalah berdoa. Menghela napasnya berkali-kali, mencoba kuat dengan semuanya. Karena jujur saja, kakinya mulai lemas, jantungnya berdetak tidak tenang. Dan jangan lupakan, tangannya sangat dingin.
"Sayang, aku yakin kamu bisa. Tolong, kuat ya, aku akan selalu berada di sisi kamu," ucapnya dalam hati.
****
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
We are Siblings
Fiksi Remaja[17+] Mahesa tidak ingin memiliki adik, apalagi adiknya ada tiga. Mahesa enggak mau! Menjadi seorang kakak itu tidaklah mudah, akan ada banyak rintangan yang menghampiri, pun dengan segala konsekuensi. Awalnya berat, tapi mau bagaimanapun garis tak...