Weekend kali ini Doni mengajak istri dan putranya jalan-jalan, tempat tujuannya adalah alun-alun kota. Niatnya ingin membawa keluarga kecilnya mengunjungi puncak Bogor, melihat pemandangan hijau nan asri. Mengelilingi kebun teh dan memetik buah strawberry kesukaan Revi. Namun, melihat kondisi perut Revi yang kian membesar membuatnya urung untuk mengunjungi tempat tersebut. Mengingat, jalanan puncak begitu menguji adrenalin. Membawa wanita hamil bukanlah hal yang tepat.
"Papa! Esa mau beli kelak telol." Mahesa menatap Doni dengan penuh harap, binar matanya terpancar. Bahkan raut sedih kemarin dan hari-hari yang lalu sirna. Sekarang anak itu lebih segar dan hidup, sepertinya Mahesa Maheswari kembali di stelan awal.
"Beli sendiri," balas Doni iseng. Pria itu lebih memfokuskan diri untuk mengelus perut Revi, menyapa calon anak-anaknya.
"Mama, papa jahat!" pekik Mahesa kencang.
Revi panik, wanita itu penepis tangan Doni. "Mas, beliin sana. Kalo Esa nangis, gimana? Kamu tega banget deh," omel Revi.
"Tapi aku mager," jawab Doni.
"Mas!" Suaminya itu cuma nyengir.
"Sayang, nanti papa beliin jangan nangis yah," pinta Revi. Mahesa siap menumpahkan air mata, namun dengan cepat Doni menggendong putra sulungnya.
Dikecupnya pipi Mahesa dengan gemas, membuat si empu kegelian. "Papa, geli, ih!" Raut mendung anak itu berganti dengan raut kegelian, sesekali memekik dan tertawa.
"Papa ayo beli kelak telol!"
"Kerak telor," ralat Doni, mencoba mengajari anaknya itu supaya fasih mengucap huruf 'R'.
"Kelak telol!"
"Hadehh, iyadeh. Yuk kita beli kelak telol."
"Yeayy!"
Revi tersenyum melihat pemandangan di depannya. Setelah berhari-hari menghadapi sikap berontak Mahesa tentang ketidaksukaan anak itu dengan kenyataan akan memiliki tiga adik, kini pelan-pelan Mahesa kembali dengan kepribadian cerianya. Buktinya, pagi tadi sebelum berangkat jalan-jalan Mahesa mengajaknya berbicara, keluar dari tempat hibernasinya---kamar. Dan ikut sarapan, tak lupa dengan senyuman manisnya yang terpancar.
"Sayang, aku tinggal dulu ke sana ya," tunjuk Doni pada pedagang kerak telor menggunakan dagunya. "Kamu di sini enggak apa-apa?" lanjutnya memastikan bahwa istrinya tidak keberatan ditinggal.
"Santai aja, udah sana, nanti keburu banyak pembeli."
"Oke, ke sana dulu, ya yang. Sarangheo!"
"Ck, mulai deh," decak Revi.
***
Setelah puas duduk santai dan mengelilingi alun-alun, mereka memutuskan untuk mengisi perut di warung sate blengong dekat komplek. Tiba-tiba Revi menginginkan sop iga sapi, untuk itu Doni selaku kepala keluarga mengiring istri dan putranya ke sini---tempat langganannya.
"Sop iga sapinya satu, satenya satu kodi plus nasi dan untuk minuman air putih aja."
"Baik, pak. Tunggu sebentar," balas waiters ramah.
Mahesa sendiri masih sibuk dengan kerak telornya yang tak habis-habis. Raut wajah serius anak itu membuat siapa saja merasa gemas, buktinya tangan Revi sedari tadi mencubit tipis-tipis pipi gembul Mahesa.
"Kok enggak habis-habis, kenyang, ya?" Mahesa menggeleng. "Belum kenyang, ma. Esa cuma makan sedikit-dikit, bial awet."
"Kok gitu?" tanya Revi penasaran.
"Iya, soalnya kata papa bial ilit. Bial enggak beli-beli lagi, soalnya Esa suka banget sama kelak telol." Revi mendengkus mendengarnya. Doni itu sangat iseng sekali, pikirnya.
Tak lama pesanan datang, waiters mengucapkan kalimat selamat makan pada keluarga kecil itu lalu pergi. Revi sendiri sangat menikmati sop iganya, berbeda dengan Doni yang lebih memakan sate blengong. Sesekali menyodorkan satu tusuk pada Mahesa dan dibalas gelengan dari sang putra. Anak itu lebih tertarik pada kerak telor yang sudah dingin itu.
"Uhuk uhuk!" Di tengah-tengah menyeruput kuah sop Revi tersedak. Akibat terlalu semangat menikmati menu tersebut.
Mahesa dengan sigap menyodorkan satu gelas berisi air putih penuh pada mamanya. "Mama ayo, minum!" titahnya.
"Uhuk!"
Pelan-pelan Revi meneguk air putih dibantu oleh Doni. Perlahan-lahan keadaan normal kembali, rasa sakit tenggorokan akibat tersedak menghilang bertahap.
"Udah mendingan?" tanya Doni panik. Pasalnya, ia kepalang khawatir melihat sang istri terbatuk.
"Mendingan kok mas."
"Mau udah makannya?" Revi mengangguk. Doni tanpa jijik menghabiskan setengah piring nasi serta kuah sop iga bekas Revi.
"Ini mama." Mahesa menyodorkan kotak tisu membuat alis Revi terangkat satu. "Elap wajah, elap mulut, elap-elap deh."
"Perhatian banget sih," gumam Revi.
Tatapan Mahesa mengarah pada perut buncit Revi. Terdiam cukup lama sambil memandanginya sampai tak sadar jika tangan mungilnya bergerak mendekati perut sang mama. Revi menoleh, senyumnya tertahan ketika tangan putranya mulai mengelus perut buncitnya.
"Sayangnya mama?"
Doni yang sibuk makan menjadi tertarik untuk melihat tingkah sang putra. Sejauh mana interaksi putra dan ibunya itu
"Mah, dede bayinya kapan kelual?"
"Tiga bulan lagi, sayang, sabar yah."
"Mama, Esa boleh cium, peluk-peluk dede bayinya kan?" Revi mengangguk cepat. "Bolehlah!" sahutnya.
"Bilangin dede bayi mah, suluh kelual dali pelut mama bial mama enggak susah jalan," katanya. Ternyata anak itu mengamati gaya jalan Revi yang semakin hari semakin lambat dan sedikit mengkhawatirkan. Apalagi telapak kakinya yang mulai membengkak.
"Enggak bisa dong, kan belum waktunya."
"Enggak bisa sekalang? Padahal Esa enggak sabal main sama tiga adek Esa," ujar Mahesa santai.
Bibir Doni berkedut, "ah, yang bener?" godanya.
"Ish! Papa, Esa mau kok punya adek, buktinya Esa udah enggak sabal ketemu adek-adek Esa!"
"Bohong deh, siapa yang kemarin nangis-nangis enggak mau punya adek? Mogok makan, ngurung di kamar, sama marah-marah, ayo siapakah itu?" goda Doni. Padahal makanan di depannya belum habis.
"Siapa sih! Bukan Esa! Mama, papa nakal," adu Mahesa lucu. Anak itu tidak terima digoda papanya sendiri.
"Iya ya, papa emang nakal banget. Cubit enggak sih biar sakit?" Revi menyeringai, melirik Doni yang sudah geleng-geleng kepala.
"Iya cubit, ma. Papa nakal!"
"Aduhh, tiba-tiba kebelet pipis. Papa ke toilet dulu ya, dadah sayang-sayangnya papa!" Doni berlalu begitu saja. Menghindari niat licik Revi untuk mencubiti suaminya itu. Siapa suruh jail.
"Kok papa pelgi sih," dengkus Mahesa.
"Udah biarin aja, sini mama suapin makan kerak telornya." Mahesa menggeleng, "Esa mau elus-elus pelut mama ajalah. Esa kepo sama adek-adek Esa."
Tangan mungil itu bergerak ke kanan-kiri, mengusap perut buncit Revi dengan lembut. Senyum Revi mengembang lagi. "Sayang, kamu enggak apa-apa punya adek?" tanyanya ingin tahu. Memastikan jika putra sulungnya itu benar-benar menerima keberadaan adik-adiknya nanti.
"Enggak apa-apa, ma. Esa ingin punya teman! Katanya, kalo punya adek, nanti Esa enggak sendili lagi." Revi mengangguk membenarkan.
"Tapi mama halus telus sayang Esa, titik."
***
Tbc...
Satu kata untuk Mahesa?
KAMU SEDANG MEMBACA
We are Siblings
Teen Fiction[17+] Mahesa tidak ingin memiliki adik, apalagi adiknya ada tiga. Mahesa enggak mau! Menjadi seorang kakak itu tidaklah mudah, akan ada banyak rintangan yang menghampiri, pun dengan segala konsekuensi. Awalnya berat, tapi mau bagaimanapun garis tak...