Kantin

119 2 0
                                    

"Pokoknya lo berdua harus bantu gue kabur pas pulang sekolah." Alana tak mau tahu. Dia ingin menikmati waktunya bersama teman-temannya tanpa diganggu oleh dua pria tak diundang yang sedang duduk di tempat duduk paling belakang di kelasnya itu.

Seketika Aura dan Vanessa menoleh ke belakang tepat ke arah dua pria muda yang duduk di belakang kelas dengan tatapan tajam ke arah mereka itu. Alhasil mereka kompak memasang wajah miris.

"Gak deh. Gue masih mau hidup untuk waktu yang lebih lama," ucap Aura sambil membenarkan dasi kupu-kupunya.

Vanessa mengangguk setuju dengan ucapan Aura. "Gila aja lawan om-om bertubuh kekar dan gede kayak gitu. Gak, gak, gue sangat menyayangi diri gue sendiri."

Alana kesal dibuatnya. "Lo berdua cuma bantu gue untuk kabur doang. Gak akan ada masalah. Biar gue yang menghadapi mereka."

"Bener, ya? Gue mempertaruhkan kelangsungan hidup gue buat menolong lo agar bisa kabur nih." Vanessa masih tak yakin.

Aura melipat kedua tangan di dada. "Lagian ribet amat jadi anaknya presiden. Perasaan waktu ayah lo masih Panglima, kayaknya gak gini-gini banget kan pengawalan buat lo? Sampai masuk sekolah segala. Emang lo narapidana apa?"

Alana cemberut. "Itu dia yang gak gue pahami, apalagi sama om-om yang duduk di samping kanan itu. Masa dia ngejawab dan ngelawan gue. Emang dia pikir dia siapa?"

Sontak Aura dan Vanessa kembali menoleh ke belakang untuk memastikan siapa sosok om-om menyebalkan di samping kanan yang dimaksud oleh Alana. Kali ini keduanya kompak melongo saat mengamati lebih lama.

"Astaga ... dia bukan om-om, dia cowok cakep." Aura memindahkan anakan rambutnya ke belakang telinga sebelum tersenyum sopan ke arah pria yang dimaksud, tapi Harits tetap saja memandang mereka dengan ekspresi super datar dan tatapan tajam. "Dia gak bales senyuman gue dong. Udah punya pacar kali, ya?"

"Dia buka jasa pengawal di luar tugasnya sebagai anggota paspampres gak sih? Kalau iya, daddy gue bakal bayar berapa pun biar dia jadi pengawal gue."

Alana memutar bola mata malas melihat kelakuan dua sahabatnya. Dia berdiri dan menarik paksa tangan dua gadis yang sedang terlena pada ketampanan Harits itu. "Udah ah, kita makan aja di kafetaria. Males banget sama lo berdua. Emang gak ngerti perasaan gue!"

Mereka berjalan menuju kafetaria sekolah dan lagi-lagi, Harits dan Edwin mengekor di belakang. Seperti tak ingin kehilangan sosok Alana yang membuat gadis itu risih.

"Mereka ngikutin kita, Al," bisik Vanessa. "Emang harus lo dikawal terus?"

Alana menghela napas jengah. "Itu yang buat gue bete banget."

Tiba-tiba Alana mendadak berhenti dan menoleh ke belakang tepat ke arah Edwin dan Harits. "Kalian pergi aja lah! Emangnya ancaman apa yang serius banget di sekolah ini sampai gue harus dikawal segala?! Gue udah bilang, gue gak suka!"

"Nona? Kami bertindak sesuai arahan," ucap Edwin memberikan pengertian.

"Ya, gue bete diikutin kayak gini. Gue bakal dikatain super norak sama musuh gue kalau kalian ngikutin gue mulu!"

Alana kembali berjalan dan sesekali menoleh, tapi dua orang pria muda itu masih saja mengikutinya membuatnya semakin kesal.

Begitu sampai di pintu masuk kafetaria, bertepatan dengan masuknya Tiara dan teman-temannya. Musuhnya sejak SMP.

Tiara berpura-pura menutup mulut sejenak seolah terkejut. "Ups ... ada anak presiden di kafetaria sekolah kita. Ada yang mau minta foto?" tanyanya pada gerombolannya yang disambut gelak tawa.

Alana, Aura, dan Vanessa langsung memandanginya dengan tatapan tak bersahabat.

"Lo sebaiknya kunci mulut keji lo itu!" sela Aura.

Tiara melipat tangan di dada sambil tersenyum merendahkan. "Kenapa? Lo belain temen lo yang anak presiden ini biar bisnis bokap lo tetap lancar dan dilindungi? Emang anak yang berbhakti ya."

"Hahahahahahahaha ...." Para pengikut Tiara kembali tertawa.

Sisi salah satu teman terdekat Tiara maju. "Oh iya, Alana, emang tabungan dan aset bokap lo cukup ya buat biayain kampanye besar-besaran yang kemarin-kemarin itu? Kenapa lo gak nanya, apa bokap-bokap kita bantu biayain kampanye bokap lo juga atau gak?"

"Jaga ya mulut lo!" Vanessa melotot ke arah Sisi.

Alana menghela napas malas. "Gue gak tahu, ya. Tapi kenapa bukan bokap lo pada aja yang naik sebagai presiden kalau emang lebih banyak duitnya? Oh ... gak dipercaya sama rakyat, ya? Muka-muka korup dan serakah sih!"

"HEH .... BERANI BANGET LO HINA BOKAP GUE!" Tiara murka.

Sontak kafetaria yang tak terlalu ramai menjadi sangat gaduh dengan aksi jambak-jambakan rambut. Entah bagaimana, Harits dan Edwin secepat kilat menarik Alana dengan paksa agar tak disentuh siapa pun yang ingin menjambak rambutnya. Meskipun tetap saja, mereka berakhir di ruang BK.

Begitu keluar, Alana langsung melihat dua pria itu dengan sengit.

"Gue gak paham kenapa kalian harus banget ikut campur urusan cewek!"

"Kami tidak mencampuri urusan perempuan, kami hanya bertugas melindungi Anda," balas Harits dengan ekspresi datarnya yang tampak sangat menyebalkan bagi Alana.

"Kalau kalian melindungi gue, harusnya kalian gak biarin si Tiara ngejek gue dari awal. Bul**hit!" Dia hendak pergi tapi panggilan Harits menghentikannya.

"Nona?"

Alana berhenti dan menoleh dengan kesal. "Apa?!"

"Nona sebaiknya menyaring semua kata yang ingin Nona ucapkan. Kami tidak seumuran dengan Nona. Hanya karena kami menjaga Nona, bukan berarti Nona bebas bersikap kurang ajar pada kami. Apa Nona paham?" ucap Harits memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya.

Alana menatapnya dengan nyalang. "I don't care! I hate you!" balasnya dengan ketus.

Mengejar Tuan PaspampresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang