Curiga

114 3 0
                                    

April berjalan dengan tenang keluar dari perpustakaan diikuti oleh Harits dan Edwin. Meskipun jantungnya tengah berdebar kencang lantaran takut ketahuan, tapi dia berusaha menjalankan perannya dengan baik.

Keberadaan masker putih yang menutupi setengah wajahnya ditambah poni yang menutupi dahi pun sangat membantu. Dalam hati, dia berharap tugas penyamaran ini cepat selesai.

Harits dan Edwin yang tengah berjalan di belakang pun tak menaruh curiga sama sekali. Terlebih April sama sekali tak berbicara apa pun sesuai arahan Alana, karena suara mereka sedikit berbeda.

Namun, entah kenapa Harits melihat gelagat tak beres, apalagi saat melihat April mengambil tas dari loker menggunakan tangan kiri. Dia tahu Alana bukan orang kidal. Hanya dengan gerakan kecil itu saja, Harits bisa memasang sikap lebih waspada.

Sontak pria itu mendekat membuat April salah tingkah. Dia bertanya, "Di mana kamu membuang tisu tadi siang?"

April semakin salah tingkah lantaran jarak Harits yang dekat seolah mengintimidasinya. Spontan dia menjawab, "Di tempat sampah toilet cewek." Dia memegang mulutnya karena telah berbicara.

"Nona Alana tidak pernah membawa tisu." Secepat kilat dia berbalik menghampiri Edwin. "Periksa! Dia bukan Nona Alana." Harits menekan headset kecil di telinganya yang menghubungkannya dengan rekan-rekannya yang berjaga di luar. "Elang di sini, lapor mutiara kabur. Diulangi, mutiara kabur."

Sontak enam paspampres yang berjaga di luar langsung menyisir wilayah sekolah.

Edwin mendekat ke arah April yang sudah gemetar. "Buka maskermu!" titahnya dengan suara tegas.

Perlahan April membuka masker dengan tangan bergetar. Dia sudah hampir menangis lantaran ketakutan.

"Di mana Alana?" tanyanya dengan suara dingin membuat April lebih ketakutan.

"A-aku gak tahu, Pak. A-aku gak tahu. Aku cuma disuruh nyamar jadi dia biar dia bisa pergi sama temen-temennya."

"Ke mana?"

"G-gak tahu, Pak. Aku g-gak tahu." April gelagapan.

Edwin sedikit kesal. "Kalau terjadi apa-apa dengan dia, kau mau tanggung jawab?! Uang yang dia bayarkan ke kau tidak seharga keselamatannya! Hari ini juga, kau sebaiknya ditahan di kantor polisi! Mau kau?!"

Seketika April menangis heboh. "Jangan, Pak. Aku mohon, jangan penjarakan aku ...."

"Di mana Alana?!"

April tetap menggeleng tak tahu.

"Bilang apa pun yang kau tahu!"

"Dia pergi dengan Aura sama Vanessa. Katanya mau ke balapannya Dava nanti malam."

Suara Harits terdengar di headset. "Elang di sini. Lapor, mutiara pergi bersama kedua temannya yang biasa. Terpantau dari CCTV sudah meninggalkan wilayah sekolah. Diulangi ...."

"Si*al!"

****

Aura, Vanessa, dan Alana baru saja keluar dari mobil dengan senyum cerah di wajah. Menandakan mereka sangat gembira sore itu.

Kali ini mereka berhenti di apartemen milik Vanessa, bukan di rumah orang tuanya. Menjaga agar keberadaan Alana tak diketahui.

"Tinggal dandan cantik, ganti baju, udah deh. Siap happy malam ini," ucap Alana tanpa beban.

Tiba-tiba ponsel Aura bergetar menandakan panggilan masuk. Saat dilihatnya, ternyata panggilan dari ayahnya. Tumben, pikirnya.

"Halo, Yah?"

"Kamu di mana?" tanya pria di seberang telepon dengan suara tegas tanpa basa-basi sedikit pun. Perasaan Aura mendadak tak enak yang membuatnya saling pandang dengan kedua sahabatnya.

"A-aku di restoran. Lagi pengen makan sesuatu. Ada apa, Yah?"

"Gak usah bohong! Kamu di mana? Bawa kembali Alana ke istana, karena Ayah barusan ditelepon sama komandan paspampres tentang perbuatanmu menculik putri presiden. Kalau kamu tetap gak mau kembaliin Alana, ayah gak bisa bantu kalau kamu nginap hari ini di penjara!"

Sontak Aura ketar-ketir. "Ayah ... Ayah ... Ayah jangan gitu. Aku gak mau dipenjara, Yah. Aku gak culik Alana. Kami pergi karena sama-sama pengen pergi kok."

Alana dan Vanessa melihat Aura dengan wajah bingung.

"Ada apaan sih?"

Sejenak Aura menjauhkan ponselnya dari telinga. "Maafkan gue, Al. Maafkan gue." Aura menaruh kembali ponsel di telinganya. "Aku, Alana, dan Vanessa lagi di apartemen ...." Aura melaporkan lokasinya dengan jelas membuat Alana dan Vanessa melongo.

"Lo apa-apaan sih?! Kita udah susah-susah kabur lho!" Alana kesal.

Aura menggeleng pelan. "Please maafkan gue, tapi gue gak mau dipenjara dengan tuduhan nyulik lo."

"Maksud lo?!" Vanessa heran.

"Komandan paspampres telepon ayah gue, karena lo kabur naik mobil gue."

"Aish ...." Alana kesal setengah mati. "Terus lo beritahu gitu aja?!"

Aura mengangguk dengan wajah bersalah.

Belum selesai perdebatan mereka, tiga mobil hitam sudah muncul dan berhenti tepat di hadapan mereka.

Para pasukan paspampres berseragam serba hitam keluar. Harits mendekat ke arah Alana dengan ekspresi dingin, dan tanpa permisi langsung mengangkat Alana dengan paksa di punggungnya bak sedang mengangkat karung beras.  Kepala di belakang dan kaki di depan.

"AAAAAAAAAAAAAA ...." Alana merasakan mimpi buruk untuk kedua kalinya. Dia meronta-ronta dan memukul punggung Harits pun tak berdampak apa pun bagi pria itu.

Harits dengan gesit memasukannya ke dalam mobil tak peduli pada teriakannya.

"GUE GAK MAU PULANG! GUE GAK MAU PULANG ...." teriak Alana dengan frustasi dan air mata yang memenuhi pipi.

Harits menoleh ke kursi belakang dengan wajah dingin. "Diam kamu! Apa kamu tahu tindakanmu bisa saja membuat beberapa orang kehilangan pekerjaannya?! Gadis manja sepertimu memang hanya memikirkan dirimu sendiri!" Nadanya terdengar tajam membuat Alana ketakutan. Tak berani membantah. Hanya sanggup menangis dalam diam.

"Hiks ...."

Mengejar Tuan PaspampresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang