Rutinitas Pagi

93 4 1
                                    

Semakin hari, Alana merasa hidupnya semakin dikekang. Lihat saja, hari ini dia menerima sejumlah daftar kegiatan hariannya dari Edwin. Rutinitas pribadinya pun akan diatur mulai besok.

Sontak dia menelepon Hilal. Kakak kelimanya yang bekerja di sebuah perusahaan teknologi ternama.

"Apa kegiatan harian Kakak juga diatur?"

"Gak dong."

"Apa Kakak juga dijaga ketat sama paspampres sampai di dalam kantor?"

Hilal tertawa di seberang telepon. "Hahahahahaha ... gak lah. Ngapain sampai di dalam kantor segala? Dikawal sama paspampres sih hampir gak bisa nolak, ya, karena itu udah prosedur bagi keluarga presiden. Semua anak presiden memang dikawal meskipun ada yang gak suka. Tapi tetap sewajarnya kok. Paspampres juga bersikap humanis. Jadi gak menakutkan bagi kita maupun bagi masyarakat, karena bisa berbaur meskipun mereka dipilih dari pasukan elit. Emang kenapa, Al?"

Alana memasang wajah sebal. "Ini gak adil buat aku, Kak. Masa aku dikawal paspampres sampai di dalam kelas. Bahkan ke kantin dan ke toilet pun aku dikawal. Sekarang rutinitas harian aku juga diatur. Aneh banget, kan?"

Hilal terdiam sejenak sembari berpikir. "Mm ... Kakak rasa sih kayaknya itu perintah langsung dari ayah deh. Soalnya pas kampanye, salah satu permasalahan yang disorot untuk menjatuhkan pamor ayah itu tentang kamu. Kamu tahu sendiri pemberitaan media milik pesaing ayah itu salah satunya menyasar ke kamu terus. Mereka ingin membangun kesan, bahwa ayah gak becus ngurusin keluarga dengan melihat dari kelakuan kamu. Jadi ayah berusaha agar kamu gak membuat pamor ayah rusak lagi. Maaf Kakak harus jujur sama kamu."

Meskipun Hilal sudah mengatakan maaf, tetap saja Alana kecewa sekaligus sakit hati mendengar penjelasan itu. Kesannya dia seperti pembuat masalah yang harus selalu dipantau agar tak membuat kesalahan yang menarik perhatian kamera wartawan. Alhasil dia protes saat makan malam bersama kedua orang tuanya.

"Ayah gak bisa lakuin ini. Aku juga warga negara yang butuh kebebasan. Status aku bukan hanya anak presiden, Yah. Aku warga negara Indonesia yang punya hak atas diri aku sendiri."

Sejenak Suprapto menghentikan acara makannya. "Ayah tahu, tapi kamu gak mempergunakan statusmu sebagai warga negara dengan sebaik-baiknya. Kamu memberikan teladan buruk untuk lingkungan sekitar dengan kebiasaan mabuk-mabukan, balapan liar, gak berprestasi di sekolah, pacaran dengan gaya yang mengerikan, dan lainnya. Lucunya, media akan memberitakan kamu dan kelakuanmu dengan status bukan warga negara, tapi anak dari Ayah. Itu masalahnya."

"Ayah gak berhak! Ini gak adil buat aku!" Alana semakin kesal, tapi Widya hanya sanggup geleng-geleng melihat pemandangan yang sudah sangat biasa baginya itu.

Suprapto tak mau kalah. "Oh jelas, Ayah berhak dong. Ayah gak akan membiarkan kamu membuat kasus-kasus yang bisa merusak karier Ayah. Ayah mau berbhakti kepada negara ini dengan terpilih pada periode kedua. Jadi Ayah harus mengondisikan kamu sejak dini."

"Ayah cuma pikir diri ayah sendiri!"

Prak

Alana menggebrak meja dengan keras di hadapan kedua orang tuanya sebelum berlalu begitu saja meninggalkan meja makan.

Suprapto hanya sanggup geleng-geleng. "Emang kurang ajar kelakuan dia. Kayak gak pernah dididik. Begini hasilnya kalau Bunda terlalu manjain anak."

Widya berhenti mengunyah sebelum menatap ke arah suaminya. "Kok jadi salah Bunda semua? Ayah gimana? Ayah kan sibuk terus dan Bunda harus dampingi Ayah. Kapan Bunda bisa full di rumah buat jagain Alana? Lagian dia jarak lahirnya jauh banget sama anak-anak yang lain. Dia lahir pas Ayah udah dapat posisi-posisi bagus di kerjaan yang emang sibuk banget. Gak ada waktu buat kita ngurusin dia."

Mengejar Tuan PaspampresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang