Chapter 9 - Bad Ways

1.1K 131 12
                                    

Auryn ingin sekali mencoba bermalas-malas, bergelung dalam selimut dan tidur hingga siang hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Auryn ingin sekali mencoba bermalas-malas, bergelung dalam selimut dan tidur hingga siang hari. Alarmnya terus berbunyi, gadis itu membuka selimut yang menutupi wajahnya. Meraih jam weker yang terus berbunyi lalu mematikannya. Ia mendudukkan dirinya perlahan turun dari kasurnya, berjalan keluar menuju kamar mandi.

Auryn mengambil air meraupkan pada wajahnya agar segera terjaga dari rasa kantuknya. Ia menatap dirinya pada pantulan cermin. Wajahnya terlihat menyedihkan, tubuhnya semakin kurus. Entah harus sekeras apalagi ia bekerja. Segala pikirannya melayang pada malam kemarin.

"Paman! Sudah tidak ada lagi, gajiku bulan ini sudah keberikan semua,". Ocehanannya bahkan tidak dianggap. Rony, paman Auryn terus mengancam akan menghentikan pengobatan neneknya jika tidak ia berikan.

"Iya-iya, aku tahu akan segera ku kirim ,". Gadis itu mematikan ponselnya mengacak rambutnya frustasi. Dia bukan Bank berjalan, memang benar gajinya bertambah tapi itu juga tidak cukup jika harus menuruti semua kebutuhan pamannya, belum lagi biaya neneknya di rumah sakit. Selain gaji bahkan uang sampingannya dari mengerjakan tugas-tugas milik teman sekolahnya yang kaya itu juga harus ia relakan, mengapa sulit sekali untuk menabung. Jangankan menabung untuk membeli keperluan dirinya sendiri saja ia harus sangat berhati-hati.

Segera mengembalilan kesadarannya, ini bukan waktunya merenung ia harus segera bergegas atau dia akan telat.

"Aku tidak telat kan?,". Auryn berdiri disamping Rowena yang sudah berbaris dengan dua pelayan lain didepan pintu kamar Elano. "Tidak, belum ada perintah dari tuan muda. Bahkan bel belum berbunyi,". Auryn mengangguk.

"Bukankah hari ini kau sekolah?,". Auryn  tersenyum mengangguk, lalu menunjukkan seragam sekolahnya yang ia kenakan dibalik seragam pelayan. Rowena terkekeh memberi jempol pada Auryn yang 4 tahun lebih muda darinya itu. "Ikut lah Paman Tio, dia kan mengantar belanja bibi Sen,". Sarannya pada Auryn. Rowena merasa kasihan dengan Auryn. Setelah rolling ia menjadi selalu terburu-buru bahkan sering telat ketika pergi ke sekolah.

"Tenang saja, aku ada sepeda baru,". Auryn tersenyum menenangkan Rowena agar tidak terlalu khawatir. Lagipula kemarin akhirnya ia bisa beli sepeda bekas. Setelah menimbang-nimbang akhirnya ia memutuskan membeli sepeda dari uang darurat yang ia punya. Meskipun sekarang sudah ludes akibat sang paman yang terus meminta uang sejak kemarin.

Suara bel berbunyi, salah satu dari mereka masuk ke dalam kamar Elano.

"Aku akan sarapan di kamar dan beri tahu Velo kita akan berangkat lebih awal,". Elano sudah rapi dengan seragam sekolahnya.
"Baik tuan,". Pelayan itu undur diri,

"Tunggu, siapa yang bertanggungjawab atas pakaian milikku?,". Pelayan itu terhenti, sejenak ia mengingat pembagian tugas. "Auryn tuan,". Elano menoleh mendengar nama yang tidak asing itu.

"Suruh dia yang bawa sarapanku kesini". Pelayan itu kembali undur diri, Elano tersenyum miring. "Jackpot,".

Suara pintu diketuk memberinya izin masuk, "Permisi tuan, saya membawa sarapan anda,". Elano mengamati Auryn yang masuk dengan trolly makan itu. Gadis itu menata makanan pada meja, Elano mendekat untuk duduk pada kursi. Matanya melirik pada jam yang tergantung pada kamarnya, yang menunjukkan pukul 06.30.

The Red Slave - JENRINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang