Setelah pencarian satu hari penuh bahkan sampai dia tak beristirahat sejenakpun itu, akhirnya mereka menemukan Ranggita yang bersembunyi di sebuah desa kecil.
Begitu dia menemukan Ranggita, Dwi Prapaja ingin menayakan bagaimana dan apa tindakan yang akan dilakukan Gajah Mada pada orang ini, tapi dia belum menemukan Gajah Mada, akhirnya dia memnbuat keputusan untuk mengintrogasi Ranggita terlebih dahulu.
Apa apa yang dia dapatkan dari introgasi itu adalah sesuatu yang menakutkan.
“Racun apa yang aku taruh? Kalian bertanya karena tidak bisa mendeteksinya? Bagaimana kalian, seorang yang memiliki segalanya bahkan tidak tahu apa yang terkandung di dalam minuman itu? ha.. ha.. Baiklah. Aku akan mengatakannya, karena aku lebih memilih menikmati ketidakberdayaan Gajah Mada dari pada apapun. Racun itu adalah racun yang aku beli dari seorang pandai besi yang ku kenal. Dia membuat racun itu bertahun-tahun lalu dengan mencampurkan hal-hal paling berbahaya. Dia hanya membuat satu racun dan hanya dia yang tahu obat penawarnya. Tapi apakah kalian tahu, kalau orang itu sekarang telah meninggal, sehingga tidak ada yang tahu jelas obat penawarnya. Gajah Mada, dia.. tidak akan bisa menyembuhkan istrinya sama sekali.”
Mendengarnya saja sudah membuat Dwi Prapaja merinding. Dia merasakan bulu halus di badannya berdiri kala dia mengingat ucapan orang itu.
Sebenarnya, Dwi Prapaja tak sampai hati untuk menyampaikan ini pada Gajah Mada, namun apa daya, ini adalah hal yang paling penting untuk dia ketahui.
Sampai..
“Tuan, Mahapatih Gajah Mada telah pulang. Dia berada di pendopo selatan.” Ucap seorang prajurit yang ia perintahkan untuk mencari Gajah Mada.
Dwi Prapaja lega sekaligus gugup. Menarik nafas, dia berjalan cepat menuju ke pendopo selatan yang di sebutkan.
Dan disanalah ia, melihat Gajah Mada yang sedang duduk seorang diri dan melamunkan sesuatu. Tidak ada yang dia lakukan selain hanya menatap kosong ke depan dengan lurus.
“Kang Mas,” Panggilnya.
Gajah Mada hanya menoleh sekilas tanpa menjawab. Dia tidak menggerakkan badannya dan hanya memberikan pandangan ‘ada apa’ sekilas.
Dari hanya dengan gestur itu saja, sudah membuat Dwi Prapaja ragu-ragu.
Dwi Prapaja berlutut untuk melaporkan apa yang ingin dia laporkan. “Kang Mas, aku telah menemukan orang yang telah meracuni Mbakyu Sekar. Dia adalah Ranggita, ibu dari mendiang permaisuri Paduka Sori. Dia bilang, racun itu adalah racun yan--”
“Kutukan.” Gajah Mada menyela dengan cepat.
“—Hah?” Dwi Prapaj terkejut dengan Gajah mada yang memotong kalimatnya. Perasaan bingungnya bertambah karena Gajah Mada tidak menjelaskannya lagi. Bingung dan tidak mendengar dengan jelas ucapan Gajah Mada, di kembali bertanya, “Ap-apa maksud panjengan, Kang Mas?” tanyanya tergagap.
Gajah Mada mengghela nafas pelan. Dirinya yang memungkuri Dwi Prapaja akhirnya berbalik dan menahan tangannya di meja samping. Dia menjeaslakan,
“Dwi, itu bukan racun ataupun pengaruh hal-hal luar, itu adalah kutukan. Kutukan yang di lontarkan padaku dan Sekar. itu adalah KUTUKAN MEREKA PADAKU!!!” Kata Gajah Mada marah pada kalimat terakhirnya. Tiba-tiba saja tangannya menggenggam gelas dan melemparnya ke arah Dwi Prapaja.
Dadanya naik dan matanya nyalang berwarna merah. Dia tahu Dwi Prapaja tidak tahu apa-apa, tapi dia melemparkan salah satu gelas yang ada di sekitarnya ke arah dwi Prapa walau tidak mengenainya. Gajah Mada bahkan tidak sadar refelks yang telah dia lakukan.
Setelah melampiaskan amarahnya kepada dwi Prapaja, Gajah Mada menatap Dwi Prapaja dengan pandangan putus asa. “Itu Kutukan.” Katanya sekali lagi dengan menahan perih dimatanya yang ingin sekali meneteskan air mata.
Dwi Prapaja tidak terkejut dengan galas yang hampir saja mengenai kepalanya, tapi ia sungguh terkejut dengan apa yang Gajah Mada katakan kepadanya ini. Kutukan?
.
.
.
***
Sehari yang lalu, Gajah Mada.“Kau bilang, kau mendepatkan mimpi yang aneh?” tanya Abinaya menyingkirkan beberapa kotoran di tangannya.
Gajah Mada mengangguk. Setelah kembali mengingat mimpi itu, dia kembali ke kegelisahannya seperti saat dia mendapatkan mimpi itu.
“Benar, Guru.” Jawab Gajah Mada sekilas.
“Mimpi apa itu?” tanya Abinaya.
Gajah Mada terdiam. Mengingatnya saja membuat dirinya gelisah, Gajah Mada ragu untuk sesaat. Rasa-rasanya, dia tidak bisa mengucapkan sepatah katapun untuk mendeskeripsikan mimpinya itu. maka dari itu, butuh waktu lama untuk mengatakannya.
Abinaya mengangkat alisnya menunggu. Sekali lagi, dia bertanya, “Mimpi seperti apa?” tanyanya sabar.
Gajah Mada mengerutkan alisnya tak nyaman. “Mimpi itu terasa nyata tapi juga tak nyata dalam waktu yang bersamaan. Dalam mimpi yang pertama, saya melihat Sekar yang tengah terengah-engah kesakitan dan meminta bantuan saya. Saya tidak bisa menjangkaunya dan atau bahkan mendekatinya. Yang saya bisa dengar hanyalah suara tangis Sekar meminta pertolongan.”
“Lalu,” tangih Abinaya begitu Gajah Mada terdiam kembali. “Itu mimpi yang pertama? Hanya itu saja atau masih ada lagi?” tanyanya.
“Dalam mimpi yang kedua, Sekar tertidur koma seperti didunia nyata di depan saya. Hanya saja tubuhnya melayang dan entah saya atau dia yang megitari, saya merasa kami berdua berputar pada pusat yang sama. Lalu suara itu…” Gajah Mada lagi-lagi terdiam. Dia sama sekali tidak bisa mngetakannya.
Hatinya berdebar-debar mengingat kalimat itu, lalu bagaimana dia harus mengucapkannya?
“Suara itu..”
“Ya?” sanggah Abinaya.
Dengan putus asa dan rasa kaku pada mulutnya, dia mengatakan, “Suara itu menyuruh saya untuk membunuh Sekar jika saya ingin membebaskannya. Selama saya tidak membunuhnya, maka jiwa Sekar hanya bisa tersiksa. Setelah suara itu hilang, suara kutukan mendiang permaisuri terdengar menggema di telinga saya, diamana dia mengatakan kalau saya akan kehilangan Sekar karena saya sendiri..”
Gajah Mada melihat Abinaya, mungkin Abinaya tidak maksud dengan ucapannya tentang mendiang permaisuri, namun begitu dia melihatnya, dia melihat mata tenang Abinaya seolah dia mengatakn, ‘Aku tahu itu.’
“… kemudian saya kembali melihat Sekar yang menangis kesakitan, pedang muncul di tangan saya, dan tanpa berpikir lagi, saya menamcapkan pedang itu ke dada Sekar, barulah dia diam dan tenang dengan mata tertutup selamanya.”
Gajah Mada melanjutkan, “Saya tentu merasa sangat hancur dan putus asa saat itu. saya menangis dan menncakar tanah. Saya juga tidak ingin hidup tanpa Sekar, saya sudah pernah mengataknnya, bahwa lebih baik mati bersama dari pada hidup sendirian. Jadi, saya menancapkan pedang berlumuran darah Sekar ke diri saya sendiri.”
“Tapi pedang itu tidak bisa menembus ataupun melukai kulit saya sejengkalpun. Berapa kalipun saya mencoba, itu tidak akan pernah membunuh saya. Kemudian, suara itu bergema lagi, berkata bahwa saya telah melakukan dosa bersar sepanjang hidup saya, hukuman kematian tidak akan cukup, sehingga saya akan diganjar keabadian tanpa cinta dan kasih sayang, dan jiwa Sekar tidak akan bereinkarnasi selama saya tidak mati. Kematian, rasa sakit, itu tidak akan begitu menyakitkan bagi saya, tapi hidup sendirian di atas kesepian tanpa Sekar, itu adalah hukuman terberat yang tidak akan bisa saya lewati.”
Dia menatap Abinaya dengan putus asa. Tak sadar, air matanya merembes tak karuan. Abinaya sendiri tidak menyangka mendapatkan pemandangan ini dari Gajah Mada.
Dengan nelangsanya, dia berkata, “Jadi Guru.. apa yang harus saya lakukan?” “Saya tahu betul arti mimpi itu, tapi saya tidak berani menyakini dengan yakin, karena saya memang tidak berharap itu benar-benar nyata. Guru.. Apa yang harus saya lakukan. Mimpi neraka macam apakah ini?”
KAMU SEDANG MEMBACA
[BOOK 2] GAJAH MADA ; Megat Roso
Historical FictionBUKU KEDUA [Karena yang pertama ga bisa di buka] **** Menikah dengan Mahapatih Gajah Mada karena dhawuh Hayam Wuruk yang mutlak, boyong ke kerajaan terbesar di masa nya yang terkenal dan maha agung, dan memiliki suami yang sangat 'Perfect'. Sekar ti...