L'appel du vide

86 14 0
                                    

"Kamu gendutan, bagusan dulu deh."

"Kurang-kurangin makan. Cewek nggak bagus kalo gendut. Apalagi masih muda."

"Itu juga kantung matanya, item banget. Jadi susah nih bedain antara kamu sama gambar panda."

Kirana memandang timbangan digital dibawah kakinya. Matanya memicing. Timbangan berat badannya memang sedang naik, tidak banyak sih hanya empat ons. Tapi, kenapa orang-orang mengatakan kalau dia sudah kelihatan gendut dengan timbangan yang hanya bertambah empat ons. Perempuan bermata sipit itu kini melirik pada cermin yang termpampang di sebelah kanan lemari, memegang pipinya.

Ah, sekarang dia tahu kenapa orang orang mengatainya gendut. Pipinya kelihatan menonjol, gemuk, penuh lemak. Terlihat menggemaskan memang, tapi sangat tidak cocok dengan tubuh langsingnya. Kirana menghembuskan napas sedikit kesal ketika menyadari juga kantung matanya yang kian menebal dan menghitam. Pantas kalau mereka bilang susah membedakan mana Kirana dan gambar panda.

Kulit wajahnya juga kelihatan berminyak, pori-porinya seolah menganga, jerawat muncul dimana-dimana. Kenapa Kirana terlihat jelek sekali sih? Rasanya dia tidak mengenal sosok yang terefleksi di cermin sekarang. Itu bukan Kirana yang jelita.

"Kenapa jelek banget sih? Jijik!"

Dia mendecih kasar. Kemudian duduk di tepian kasur seraya menggaruk kepala. Banyak hal yang berenang di kepalanya saat ini, terlebih soal penampilannya yang berangsur-angsur berubah, kenapa sih standar kecantikan itu sulit sekali? Putih, tinggi, kulit mulus, rambut panjang, bening, lesung pipi,gigi gingsul, tangan lentik, akhh Kirana tidak memiliki semuanya, ya mungkin beberapa tapi dia sangat ingin menjadi sempurna , dia ingin terlihat cantik dan menawan ketika dipandang semua mata. Tanpa terkecuali.

Dia juga ingin dicintai sebagaimana remaja perempuan kebanyakan. Punya pacar dan dating bersama. Mungkin karena wajah jelek dan body nya ini yang membuatnya tidak memiliki kekasih sampai detik ini. Kenapa semua orang terlihat lebih cantik dan bagus? Memikirkannya saja membuat Kirana sesak napas.

"Kirana! Kirana!!! Kirana oh Kirana!"

Suara teriakan Bian sudah bisa Kirana dengar bahkan sebelum dia membuka pintu. Perempuan itu menarik napas berat dan menghembuskannya tak kalah dramatis saat dia memandang pintu kayu cokelat yang selanjutnya menampilkan Bian dengan aroma parfum mahal yang dia bawa di sekujur tubuhnya.

Laki-laki itu tersenyum lebar. Kontras dengan mimik muram Kirana.

Berbeda dengan Kirana, Bian selalu kelihatan sempurna dan nyentrik. Hari ini misalnya, dia menggunakan setelan kemeja dan celana panjang berwarna dusty pink, kacamata berbingkai kotak lebar dan rambut caramel yang di-styling seadanya, sialnya semakin memberikan efek paripurna untuk penampilannya. Bian sama sekali tidak menggunakan barang mahal, tetapi aura yang dia bawa selalu terasa mahal dan elegan, mungkin karena sudah ganteng sejak lahir.

"Jalan-jalan yuk." adalah kalimat pertama yang dia lontarkan setelah melemparkan tas selempangnya ke kasur Kirana, dan mendudukkan dirinya di samping Kirana.

Dengan gerak lambat Kirana menggeleng,"Nggak dulu,deh. Mager." Jawabnya kemudian merebahkan diri ke kasur sambil menatap plafon. Dipikir pikir memang paling bener jadi plafon aja, diam tapi selalu mendapatkan perhatian tanpa penghakiman atau apapun. Perempuan itu lantas menertawakan pikiran absurd-nya. Ya, mana ada coba manusia yang diciptakan sebagai mahkluk paling sempurna dibandingkan dengan plafon yang mesra berkawan dengan cicak dan sebagainya? Sungguh kurang bersyukur, batin Kirana di sela kekehan garingnya.

Hingga tanpa sadar kini Bian turut berbaring disampingnya, ikut memandang plafon yang seperti memiliki magis hingga mampu mengeyahkan sorot muram Kirana. Laki-laki itu menatap, lebih tepatnya memelototi plafon, berharap melihat apa yang perempuan disampingnya itu lihat, namun nihil. Bian cuma menangkap eksistensi seekor cicak yang menggoyangkan ekornya sambil mengeluarkan bunyi khas.

SAUDADE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang